Wednesday, January 30, 2008

Ketika Kawan Bertanya


Pagi ini Cak Imam aku sms, "Cak, kapan mangkat nyang kampus? aku melu." Sejurus kemudian HP-ku bergetar penanda sebuah pesan baru telah nangkring dalam ponselku. Oh ternyata sebuah sms dari Cak Imam yang mengabari, "Lagi bikin teks buat besok Pak, ntar saya kabari ya!". Satu jam, dua jam, dan hampir tiga jam tak ada berita. Akhirnya ponselku bergetar lagi. Kali ini getarnya semakin panjang. Getar panjang berarti ada seseorang yang sedang memanggilku. Oh, ternyata Cak Imam yang mengabarkan kalau dia akan mandi dulu sebelum bisa berangkat ke kampus bersama-sama. Cak Imam bilang kalau dia baru saja selesai menulis naskah khutbah untuk shalat Jum'at besok. Dia meminta aku untuk membacanya dan berdiskusi tentang isi yang ingin dia sampaikan besok. Aku bilang, "Luar biasa Cak. Jadi khathib di masjid Indonesia!". Yang dipuji cuma ngakak tak jelas apa maksudnya. "OK, kalau begitu kita langsung ke kantor saja yah. Aku mau baca bagaimana isi khutbahnya."

Jam 11.30 pagi, Cak Imam sampai ke rumah kostku. Suasana pagi itu masih dihiasi siraman air hujan dan awan kelam yang menyelimuti Melbourne. Suasana musim panas yang aneh yang menyalahi kebiasaan summer. Summer biasanya dihiasi terik matahari dan dengungan lalat yang selalu berusaha nampak akrab dengan manusia. Aku pernah berseloroh bahwa lalat di Australia memiliki watak dan karakter yang berbeda dengan lalat di Indonesia. Kalau lalat Australia seringkali nekat untuk memasuki area privat semisal lubang hidung, lubang telinga, dan mulut yang terbuka. Setiap kali kita mengusirnya, mereka langsung terbang menjauh. dan begitu tangan kita kembali pada posisi normal, maka lalat pun kembali usil menerjang wajah kita dengan penuh keriangan tanpa perasaan bersalah sekalipun. Kalau lalat Indonesia, menurut perasaanku, masih menampakkan adat ketimuran dan unggah-ungguh hewan di tanah timur. Mereka tak pernah nakal masuk ke telinga, hidung, atau mulut (kecuali mungkin di Bantar Gebang. Itupun karena kita memasuki kerajaan lalat). Lalat Indonesia lebih sopan karena sekali diusir akan tahu diri dan menjauh. Tak kembali untuk menyapa muka kita.

Namun, aku merasakan hikmah yang luar biasa ketika lalat begitu senang merubungiku. Bukan aku merasa bak superstar atau selebritis yang dirubung wartawan infotainment. Tapi aku lebih bisa merenung bahwa lalat yang merubungku seolah berbicara kepadaku dengan mengatakan, "Manusia, aku sengaja menyapamu agar kau ingat bahwa sesungguhnya tubuhmu adalah calon bangkai yang busuk. Aku mengingatkanmu bahwa sesungguhnya secantik dan segagah apapun kau, kau adalah wadah najis yang berjalan. Tak perlulah kau tampakkan kecongkakan di muka bumi ini." Darahku tersirap demi menghayal tranlasi bahasa lalat yang berdengung semakin mendekat. Alangkah bijaknya Allah menciptakan makhluk-Nya. semua penuh hikmah dan semua penuh makna.

****

Kami menyusuri jalan North Rd yang basah diguyur hujan. Lalu lintas pagi itu agak ramai dengan berbagai macam kendaraan. Keramaian di sini jangan dibandingkan dengan kesemrawutan lalu lintas di Jakarta. Semua patuh terhadap rambu dan patuh terhadap aturan. Hukum bagai palu godam yang siap memukul dan menghajar siapa saja yang melanggar. Cak Imam bercerita kalau kemarin dia mendapatkan 'surat cinta' dari Council gara-gara dia lupa menggeser mobilnya dari area parkir yang hanya dibatasi waktu dua jam parkir. Cak Imam terlambat memindah mobil sekitar satu jam. Tak ayal, maka surat cinta yang berisi denda sekitar $50 tertempel di kaca depan mobil merahnya itu. Ah, coba deh Cak andai duit itu bisa digunakan untuk ikut trip ke danau Eildon kemarin, pasti tak harus disumbangkan ke City Council. Kayaknya lebih marak deh andai ikutan. Itu respon nakalku. Tapi aku tahu Cak Imam sedang menunggu sang jabang bayi sebentar lagi yang akan due di bulan Maret, sehingga dia memutuskan untuk tak ikut. Takut kalau sang istri harus menderita mual dan pusing selama perjalanan yang menempuh jarak 150km ke arah Barat Laut dari kota Melbourne. Sepanjang perjalananku dengan Cak Imam, kami banyak bercerita tentang Pak Harto yang terlalu banyak dihujat oleh orang banyak. Tak sedikit pula orang yang mencintainya. Begitulah kehidupan yang selalu menampilkan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Ada cinta dan benci, ada bahagia dan susah, ada suka dan duka, ada senyum dan tangis, dan sebagainya. Fenomena hidup yang harus kita hadapi. Kami sepakat agar Pak Harto ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya di sisi Ilahi Rabb.

Sesampai di kampus, Cak Imam langsung menemukan titik parkir yang bagus. Tak lupa diliriknya papan aturan waktu parkir. Di sana terpampang simbol "2P" yang artinya dua jam parkir. Nah, harus diingat kalau dua jam lagi harus memindah mobil dari area itu. Saat itu jam menunjukkan pukul 12.00. Cak Imam harus menggeser mobil pada pukul 14.00. Kami berjalan menuju kantorku yang berada di gedung H lantai lima kampus Caulfield. Kupersilahkan Cak Imam menggunakan komputer yang terletak dalam kantorku itu. Komputer di on-kan, kemudian tongkat memori dipasang untuk merambah file yang akan dilihat. Tak lama kemudian, di layar monitor terpampang naskah khutbah yang bercerita tentang syahadat yang ditulis oleh Cak Imam. Wuah, Cak Imam mau jadi khathib rupanya. Ini kali adalah kali pertama Cak Imam mau manggung di masjid Westall. Tema syahadat menjadi relevan sebagai tema yang ingin disampaikannya. Baginya syahadat bukan saja pengakuan verbal, namun lebih dari itu adalah perilaku dan watak keseharian kita yang mencerminkan ketundukkan dan kepatuhan kita kepada Allah. dia meminta saranku tentang isi khutbahnya itu. Aku jawab, "Cak, naskahnya sudah bagus. Bagus sekali untuk disampaikan besok. Cuma perlu diberi tambahan tentang dua pilar deklarasi syahadat itu. Yakni syahadat tauhid sebagai nilai yang harus tertanam dan menghujam dalam sanubari kita. Tauhid menjadi "the driving force" yang mengatur semua motif kehidupan. Sedangkan syahadat Rasul adalah refleksi dari ketauhidan kita. Ia diejawantahkan melalui perilaku yang meniru jiwa dan nilai yang terkandung dalam sunnah Rasul-Nya, Muhammad sang mushthofa."

Ketika aku menengok kotak emailku, sebuah email pemberitahuan tentang khutbah telah tersebar di milis MIIS (Monash Indonesian Islamic Society) yang mengabarkan:

Assalamu'alaikum warahmatullah,
Berikut kami samapaikan petugas Jumat di Masjid Westall tanggal 01-Feb-2008 sbb:
Khatib: Ust Imam Baihaqi
Jam 13.15pm
Tempat Masjid Westall
Dan untuk Jumat mendatang yang bertugas insyaAllah Br. Fadhil Fahmi. Semoga Allah senantiasa meringankan langkah kita utk mendatangi masjid kita.
Wassalamu'alaikum,
Urai Salam

Selamat Cak, sekali manggung Sampean langsung menjadi ustadz. Jangan surut untuk berdakwah. Senyum bahagia menghias sore yang berhias mendung pekat ini. Aku yakin bahwa Islam tak akan mati manakala kita memiliki gairah menyampaikan Islam dengan keindahan. Islam ibarat oase di tengah gurun yang sesiapapun boleh menikmati segarnya air Ilahi untuk menghilangkan segala dahaga jiwa.

Melbourne, 31 Januari, 2008.

Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Bapak


Tutut: Bapak, Selamat Jalan Bapak ...


Senin, 28 Januari 2008 | 13:09 WIB

KARANG ANYAR, SENIN - "Bapak, selamat jalan Bapak. Doa kami selalu menyertai Bapak." Sambil terus terisak, putri sulung mantan Presiden Soeharto Siti Hardiyanti mengungkapkan kalimat terakhir itu di depan makam ayahnya di Astana Giribangun, Karang Anyar.

Dalam kesempatan itu, Tutut demikian ia biasa disapa, menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Pemerintahan, dan seluruh pihak yang telah memberikan perhatian sejak ayahnya dirawat pada awal Januari lalu, hingga pemakaman siang ini.

"Seusai dengan pesan dan keinginan Beliau, jenazah almarhum dikebumikan di tempat ini, di Astana Giribangun, berdampingan dengan istri tercinta," kata Tutut. "Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan ampunannya kepada Almarhum dan diterima amal ibadahnya," sambungnya.

"Bagi kami, keluarga besar Haji Muhammad Soeharto, Beliau adalah Ayah, Eyang, Uyut dan Orang Tua yang bijak, yang sangat kami kagumi, dan kami sayangi. Beliau adalah contoh dan teladan kami yang amat kami hormati. Salah seorang yang terlibat langsung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan mengisi kemerdekaan melalai pembangunan," katanya.

Dalam kesempatan ini pula, Tutut menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan yang dilakukan ayahnya selama hidup, dan memimpin bangsa Indonesia. "Kami sadar bahwa bagaimanapun Almarhum adalah manusia biasa, yang memiliki kelebihan dan kekurangan dan tidak luput dari kesalahan. Oleh kerena itu, harapan kami, jika Almarhum telah melakukan kebaikan kiranya Allah menambahkan kebaikannya. Dan, apabila berbuat salah dan dosa diampuni. Kami mohon Bapak dan Ibu berkenan memaafkan segala kesalahan dan kekhilafan Almarhum," ujar Tutut.

Soeharto berpulang pada hari Ahad, 27 Januari 2008, bertepatan dengan tanggal 18 Muharam 1428 hijriyah, pada pukul 13.10 wib, setelah menjalani perawatan intensif selama 24 hari di RS Pusat Pertamina.

"Akhirnya perkenankan kami atas nama keluarga besar Almarhum menghaturkan terima kasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan. Semua pihak sejak masa perawatan, hingga pemakaman pada hari ini. Semoga Allah akan membalas kebaikan," ujar Tutut. (GLO)



---

Keterangan gambar: "Suasana haru menyelimuti keluarga Cendana. Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung mantan Presiden Soeharto, melihat wajah ayahnya saat disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Minggu (27/1)".

Source: http://www.kompas.com/read.php?cnt=.xml.2008.01.28.13090021&channel=1&mn=1&idx=1

Melbourne, 28 Januari 2008


Sunday, January 27, 2008

Selamat Jalan Pak Harto

Senyum Menawan

MINGGU, 27 Januari 2008, Jenderal Besar (Hor) H Muhammad Soeharto wafat dalam usia 87 tahun 8 bulan. Upaya terbaik puluhan dokter ahli dari tim dokter kepresidenan dengan peralatan kedokteran mutakhir, akhirnya menyerah. Pria kelahiran 8 Juni 1921 itu kembali ke haribaan Tuhan setelah berulang kali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan.

Sejak lengser dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998, kondisi kesehatan Soeharto memang semakin memburuk. Tercatat ia telah berulang kali kali bolak-balik masuk RSPP untuk menjalani perawatan. Pertama pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan, kedua pada 14 Agustus 1999 setelah mengalami pendarahan di usus. Mantan penguasa Orde Baru itu kembali dirawat di RSPP guna menjalani operasi usus buntu pada 24 Februari 2001.

Pada 13 Juni 2001 Soeharto menjalani operasi pemasangan alat pacu jantung permanen di RSPP. Setengah tahun kemudian (17 Desember 2001) Soeharto kembali dibawa ke RSPP karena tensi darahnya hanya 180/70 dan suhu tubuhnya 38-39 derajat Celsius. Setelah itu kondisi Soeharto terbilang sehat.

Namun, pada 29 April 2003 ia kembali harus menjalani perawatan di RSPP karena mengalami pendarahan saluran pencernaan yang sudah merembet ke jantung. Hal ini terulang pada 29 April 2003.

Soeharto kembali masuk RSPP pada 5 Mei 2005 karena mengalami pendarahan serius yang mengganggu fungsi otak, jantung dan paru sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal serupa juga terjadi pada 5 November 2005.

Pada 4 Mei 2006 untuk kesepuluh kalinya Soeharto harus dirawat di RSPP. Kali ini ia harus menjalani operasi usus. Saat itu kondisi Soeharto juga sempat dikabarkan kritis. Dua bulan berikutnya (Juli 2006) ia masuk lagi ke RSPP untuk pengambilan selang di lambung.

Januari 2008 kondisi kesehatan Soeharto kembali memburuk. Setelah selama seminggu dirawat di rumah, Jumat, 4 Januari 2008 Soeharto dibawa ke RSPP karena mengalami gangguan jantung, paru-paru, dan ginjal, serta penumpukan cairan dalam tubuh. Dalam perawatan kali ini sang jenderal besar itu harus rela tubuhnya dipasangi ventilator untuk membatu fungsi pernafasan, alat pacu jantung untuk membantu fungsi jantung, dan alat cuci darah untuk membantu fungsi ginjal.

Sayang, takdir berkata lain. Soeharto mengembuskan nafas 27 Januari 2008, pukul 13.10, setelah 24 hari menjalani perawatan.

Ya, kini kita tak lagi mempunyai Pak Harto. Sang jenderal besar itu telah pergi. Tiada lagi Bapak Pembangunan, tiada lagi The Smiling General. Anak petani yang pernah menjadi presiden itu telah berpulang. Rakyat Indonesia kehilangan. Kini yang tertinggal hanya kenangan tentang dirinya.

Soeharto mungkin tak pernah menyangka dirinya akan menjadi orang nomor satu Indonesia. Pria kelahiran Dusun Kemusuk Desa Argomulyo Kecamatan Godean Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini bukan berasal dari keluarga berada.

Ayahnya, Kertosudiro hanyalah seorang petugas ulu-ulu atau pembantu kepala desa yang bertugas mengatur pengairan persawahan di desa itu, sementara ibunya Sukirah hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Pendidikan umum yang dienyamnya hanya sampai jenjang SMA (C) yang diselesaikan di Semarang (1956). Sebelumnya ia menuntaskan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (Ongko Loro) di Kemusuk (1929-1931), Sekolah Rakyat di Wuryantoro (1931-1935), dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta 1935-1939.

Setamat sekolah di SMP Muhammadiyah, Soeharto bekerja beberapa saat sebagai klerk bank desa di Wuryantoro (1940). Ia lalu pindah menjadi anggota kepolisian di Yogyakarta pada 1942.

Pemuda Cerdas

Rasa cinta dan ingin menyaksikan bagian lain dari tanah air menjadi salah satu motivasi yang menggugah Soeharto untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger (KNIL). Atas penampilan fisik yang sehat dan tegap yang disertai kecerdasan otak, Soeharto belia, sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, dia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.

Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara, juga berada di Gombong. Karena sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat dia mendapat kenaikan pangkat. Ia berturut-turut menjabat menjadi komandan kompi, komendan batalyon, komandan brigade, hingga komandan WK (Wehr Kreise) di Yogyakarta.

Pada 26 Desember 1947 Soeharto menikah dengan putri wedana Surakarta bernama Siti Hartinah (24 tahun) di Surakarta. Pasangan tersebut dikaruniai enam anak yakni Siti Hardijanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harjadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hetami Endang Adiningsih (Mamiek).

Pada 1950, Soeharto menjabat Komandan Brigade Mataram yang pernah bertugas memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Pada 1951-1953 ia menjabat Komandan Brigade Pragola, Surakarta dan Komandan Resimen 15 pada tahun 1953-1956.

Pada 1956 Soeharto menjabat Perwira Menengah yang diperbantukan kepala staf untuk mengikuti Planning SUAD sebelum ditunjuk sebagai Kepala Staf Teritorial IV, Semarang, pada tahun yang sama, dan menjadi Panglima Teritorial IV 1956-1959 merangkap Dewan Kurator Akademi Militer Nasional.

Soeharto menjabat Deputi I Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 1960-1961 merangkap Ketua Adhoc Retolong Depad, merangkap Panglima Korps Tentara I Tjaduad, merangkap Panglima Konud AD.

Pada 1962-1963, Soeharto menjadi Panglima Mandala merangkap Dejanid, Panglima Kostrad 1963-1965, Menteri Pangad/Kastaf KOTI tahun 1966.

Saat terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan 30 September 1965 berupa aksi penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, Soeharto tampil menumpas pemberontakan itu. PKI dibubarkan, pimpinan, pengurus, anggota dan simpatisan PKI banyak yang ditangkap dan dibunuh.

Melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto ditunjuk sebagai pengambil segala tindakan untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.

Pada 27 Maret 1966, Soeharto merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri ad interim Hankam, kemudian menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Menteri Utama Hankam. Ia juga menjadi Menteri Panglima AD pada 1 Juli 1966.

Pada 22 Juli 1966, Soeharto dipercaya MPRS sebagai Penjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soekarno sampai 28 Maret 1968. Ia tampil sebagai pemimpin Orde Baru yang mengoreksi total Orde Lama era Soekarno. Soeharto kemudian dipercaya menjadi Presiden RI periode 1968-1973, 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998.

Dalam memimpin Soeharto menerapkan sistem sentralistik yang terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas dan kesinambungan pembangunan dan demokrasi. Pemerintahannya berciri militeristik. Mereka yang bersuara berbeda dengan pemerintah dikebiri, dicap sebagai penghambat pembangunan, kekiri-kirian atau antek PKI dan anti Pancasila.

Hak-hak politik rakyat pun sangat dibatasi secara ketat. Partai politik dikurangi menjadi hanya dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara eksplisit dinyatakan bukan sebagai partai politik tetapi menjadi organisasi peserta pemilu bersama kedua partai politik itu.

Politikus Cerdik

Tokoh yang dijuluki sebagai The Smiling General oleh salah satu penulis biografinya ini ini memang diakui sebagai politikus cerdik. Soeharto membuat iklim politik sedemikian rupa sehingga masyarakat mau tidak mau harus menerima apa yang disebut "massa mengambang".

Banyak orang di luar negeri terheran-heran bagaimana rakyat Indonesia bisa menerima pandangan Golkar - selalu menang pemilu sejak awal 1970-an- bukanlah partai politik. Banyak orang asing juga tidak habis pikir bagaimana Soeharto mampu "mensterilkan" para aparat pemerintah dari peluang untuk memilih selain Golkar.

PPP dan PDI, dua partai yang dibentuk dari hasil fusi pada 1970-an, diperlakukan sedemikian rupa sehingga tidak pernah bisa tumbuh besar. Aparat pemerintah dari tingkat desa hingga pusat mendiskriminasi kedua partai itu dan para pendukungnya. Dan entah bagaimana caranya, sehingga menyebabkan para pemimpin kedua partai itu sering tidak akur.

Terakhir, Ketua Umum PDI hasil Munas 1993, Megawati Soekarnoputri, digusur dari kepemimpinannya, dan para pendukungnya disingkirkan dari markas besarnya di Jakarta pada 27 Juli 1996. Sebagai gantinya, Drs Soerjadi diakui sebagai pengganti Megawati melalui kongres yang direkayasa oleh pemerintah, upaya yang akhirnya terbukti sia-sia.

Melalui sistem demikian -ditambah iklim pers yang dibayang-bayangi ancaman breidel- Soeharto dapat selalu terpilih tanpa hambatan selama tujuh kali masa jabatan oleh MPR.

Pada April 1996, Soeharto menghadapi guncangan keluarga akibat meninggalnya sang istri, yang sangat setia dan dipandang banyak kalangan sebagai penasihat kepercayanya. Tetapi Soeharto kemudian kembali sibuk dengan tugas-tugas kenegaraan, dan tampak pulih dari penderitaan akibat kepergian istrinya itu. Apalagi Sidang Umum MPR pada Maret 1998 kembali memilihnya sebagai presiden periode 1998-2003.

Soeharto kembali menerima kepercayaan yang dimandatkan, meskipun sempat "miris" apakah rakyat memang benar-benar menginginkan dia untuk terus memimpin. Pun saat itu gelombang gerakan reformasi pascakrisis moneter sejak Juli 1997 kian deras mendera.

Selang dua bulan menjabat Presiden pada periode ketujuh kepemimpinan lima tahunannya, ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 lantaran didesak mundur bahkan oleh Ketua MPR Harmoko yang mantan Menteri Penerangan dan dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, berbagai kerusuhan massa yang tak terkendali, dan kegagalan Soeharto dalam membentuk Komite Reformasi karena tidak mendapatkan tanggapan dari tokoh-tokoh lain. Wapres BJ Habibie kemudian menggantikan tugasnya sebagai presiden.

Pasca-Soeharto lengser keprabon, berbagai tuntutan hukum terhadap dirinya atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) gencar dilakukan. Ironisnya banyak orang yang sebelumnya sangat dekat dengannya, justru berbalik mengecam dan ikut menghakiminya.

Meski demikian pengadilan terhadap Soeharto tak pernah membawa Soeharto ke balik terali besi. Setidaknya hanya anaknya, Tommy Soeharto, yang pernah dijebloskan ke penjara karena kepemilikan senjata ilegal, selain kroninya, Bob Hasan, dan adiknya, Probosutedjo yang pernah pula dipenjarakan.

Faktor gangguan kesehatan menjadi alasan penyebab Soeharto tak bisa diadili bahkan pihak Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Pengusutan (SP3) atas Soeharto. Aparat penegak hukum dan pemerintahan pasca Soeharto cenderung pada aspek kemanusiaan mengingat jasa-jasa Soeharto pada negeri ini.

Jasa dan Cela


Sebagai seorang pemimpin, Soeharto memang manusia biasa yang tak luput dari kecaman dan pujian. Dari masa awal kepemimpinannya, Soeharto telah menghadapi kritik-kritik. Banyak orang, misalnya, menyesalkan perlakuan pemerintahnya terhadap Soekarno, "Bapak Bangsa" dan presiden pertama RI. Meskipun pada akhirnya nama Soekarno direhabilitasi dan makamnya pun dipugar, Soekarno meninggal dalam keadaan menyedihkan pada 1970 dalam tahanan rumah.

Pemerintahan Soeharto juga sering dituduh melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk di Timor Timur. Ini umumnya disuarakan negara-negara Barat tertentu, yang umumnya munafik dan memiliki kepentingan di wilayah tersebut.

Soeharto juga dikritik karena tidak mampu mengendalikan anak-anaknya dalam kaitan bisnis. Adalah hal ini pula yang kemudian melahirkan berbagai laporan atau tuduhan -terutama di media Barat- bahwa keluarganya adalah keluarga paling kaya nomor empat di dunia dengan kekayaan hampir 40 miliar dolar AS. Sebagian kekayaan itu kabarnya disimpan di bank-bank Swiss. Sebuah laporan Majalah Time edisi 24 Mei 1999 tentang kekayaan keluarga Soeharto mendapat hadiah jurnalistik Overseas Press Club Award. Tapi Soeharto membantah berbagai tuduhan itu tentang kekayaannya itu dan menyebutnya sebagai fitnah.

Terlepas dari segala fitnah dan hujatan yang mendera, pujian terhadap Soeharto pun tidak sedikit. Berbagai negara mengakui prestasi Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Lembaga-lembaga internasional seperti FAO dan Bank Dunia memberikan pujian tinggi atas keberhasilan Soeharto mengentas kemiskinan dan meningkatkan tingkat melek huruf jutaan rakyat Indonesia. Tingkat GNP penduduk Indonesia yang hanya sekitar 60 dolar/tahun pada pertengahan 1960-an berhasil dipacu hingga lebih dari 1.000 dolar.

Soeharto juga dipuji dunia internasional karena berperan besar dalam menciptakan stabilitas keamanan di dalam negeri maupun di kawasan ASEAN. Hal ini merupakan faktor kunci pertumbuhan ekonomi di kawasan ini selama tiga dasawarsa terakhir. (Maratun Nashihah-77).

http://suaramerdeka.com/harian/0801/28/nas04.htm

Melbourne, 28 Januari 2008

Thursday, January 24, 2008

Pancing



Pancing, pancingan, dan memancing adalah kata yang berkaitan dengan kegiatan mencari ikan. Namun, aku tak ingin bercerita hobiku yang paling kusenangi ini; hobi yang pernah menyita waktuku berjam-jam hingga shubuh menjelang. Aku ingin bercerita mengenai ikan kakap merah yang membuatku senewen.

Suatu hari aku ingin pergi ke pantai hanya untuk menikmati semilir angin pantai yang berdesir halus dan berjalan di atas taburan karpet pasir berwarna putih bersih. Aku ingin melihat anak-anak kecil berlarian menendang dan mengejar bola atau sekedar membangun menara pasir dan membiarkannya dilumat ombak yang tanpa henti mengelus bibir pantai. Aku pun ingin melihat burung-burung camar berkumpul sekedar berharap belas kasih manusia yang membuagn remah-remah makanan.

Perjalanan siang memang terik. Mentari seolah berhenti tepat di atas ubun-ubunku. Lupa, aku tak membawa topi penutup kepala. Tak ambil pusing aku pun berjalan menyusuri bibir pantai yang dingin. Pasir yang kuinjak meninggalkan bekas telapak kakiku. Tapi itu tak lama, karena bekas telapak kaki itu langsung disapa belai ombak yang menghapus jejakku. Aku hanya membayangkan anda pasir yang kuinjak akan ditanya Tuhan, pastilah mereka tak akan berbohong bahwa aku pernah melewatinya dan menginjaknya. Mungkin itulah cara alam memanja manusia untuk menghapus jejak masa lalunya.

Siang itu banyak orang yang sekedar bersantai di pantai. Langkahku kulanjutkan menyusuri lembutnya pasir pantai. Tiba di sebuah pier (jembatan panjang bagi pengunjung pantai), aku melihat banyak manusia berjejer untuk memancing. Mereka berharap seekor ikan melahap umpannya. Tiba-tiba kudengar teriakkan salah seorang tukang pancing. Ternyata seorang perempuan tua terkejut ketika menyadari tangkai pancingnya bergetar. Segera pria tua di sampingnya mencoba menggapai gagang pancing dan memutar reel-nya. Dengan cemas perempuan tua itu melihat arah benang pancing yang ujungnya tenggelam tak terlihat. Laki-laki tua itu terus memutar tuas reel dengan semangat. Kudengar laki-laki tua itu memaki-maki diringi derai tawa si perempuan tua itu. Kailnya nyangkut pada sebuah rumbai rumput laut. Ikan rumput laut! Masih kudengar suara terkekeh-kekeh mereka sehingga menarik perhatian para pemancing yang lain.

Kutelusuri jembatan pancing itu, kalau boleh aku menamakannya demikian. Kuberdiri mematung sambil tanganku aku sandarkan pada besi pembatas jembatan. Pandanganku menerawang mengagumi garis datar air di hadapanku. Debur ombak dan liukan air laut seolah tanpa henti sepanjang masa. Di saat aku melamun, tiba-tiba seekor ikan besar meloncat dari dalam air dan tepat tersungkur di samping kaki kananku. Aku terkaget-kaget dengan 'kenekatan' atau justru 'ketololan' sang ikan yang mau meloncat dan menjatuhkan diri di atas jembatan. Wah, seekor kakap merah rupanya. Orang-orang di sekitarku terheran-heran bukan kepalang melihat aku menangkap ikan tanpa bersusah payah dmenggunakan umpan apalagi melempar pancing. Untunglah aku membawa sebuah tas plastik. Ikan nekat itu langsung aku masukkan ke dalam tas plastik hitam. Aku membawa pulang ikan 'geblek' ini dan menjadi santapan lezat di malam hari.

Aku pun terus bertanya tentang mengapa ada seekor ikan yang tanpa dipancing, namun mau meloncat dan menggelepar di pinggir kakiku. Ah, mungkin Tuhan memang terlalu Kasih untuk memberiku seekor ikan. Aku jinjing tas plastik berisi ikan merah itu menuju rumah sambil terus kepalaku dijejali keheranan yang tak berujung. Peristiwa aneh terjadi, ikan merah itu kembali hidup ketika akan aku kuliti. Ikan itu meloncat dan jatuh ke tempat sampah. Mata ikan itu melotot tajam, "Semua ini gara-gara kamu!!!". Aku terperanjat, mendengar suara geram dari mulut ikan yang kupikir sudah sekarat. Dalam kebingunganku, aku balas kata-katanya, "Gara-gara apa yang kau maksud?". Sambil memelotot benci, ikan kakap merah berteriak, "Semua itu karena ulahmu, aku menggelepar di luar alamku karena kau!!. Kau memancingku manusia!!". Aku tak bisa terima tuduhan dia kalau akulah yang memancingnya.

"Dengar yah, aku tidak pernah memancingmu. Kau sendiri yang tiba-tiba meloncat dari air dan menggelepar di samping kakiku. Aku bisa bawa saksi kalau aku tak pernah memancingmu!!", kata-kataku semakin berhamburan menatap tajam ikan yang sudah tersudut dalam tong sampah. "Hai manusia, mana mungkin ikan meloncat sendiri dan meninggalkan alam hidupnya. Ikan gila namanya!", ikan merah mulai merepet lagi. Aku menjadi jengkel dan muak mendengarnya. Aku ambil sampah-sampah yang menumpuk di atas meja dapur dan kutumpahkan semua sampah ke dalam tong sampah. Kujejalkan sampah manapun ke dalam tong sampah untuk menyumpal mulut kakap yang mulai bungkam. Diam...

Melbourne, 25 Januari 2008

bersambung

Wednesday, January 23, 2008

Somewhere Over the Rainbow

Sebuah lagu lama yang masih saja terngiang di telinga zaman sekarang. Lagu yang dipopulerkan oleh Judy Garlan dalam film "The Wizard of OZ" (1939)



-----

"Somewhere Over the Rainbow"

music by Harold Arlen and lyrics by E.Y. Harburg


Somewhere over the rainbow
Way up high,
There's a land that I heard of
Once in a lullaby.

Somewhere over the rainbow
Skies are blue,
And the dreams that you dare to dream
Really do come true.

Someday I'll wish upon a star
And wake up where the clouds are far
Behind me.
Where troubles melt like lemon drops
Away above the chimney tops
That's where you'll find me.

Somewhere over the rainbow
Bluebirds fly.
Birds fly over the rainbow.
Why then, oh why can't I?

If happy little bluebirds fly
Beyond the rainbow
Why, oh why can't I?

Sunday, January 20, 2008

Jazman Karim (2)

Aku suruh Jazz membaca satu halaman dari surat al-Baqarah. Bacaanya bagus, bahkan dia membawa sebuah cassette player yang dia setel berulang-ulang. Setiap kali dia mendengarkannya dia mengikuti ritme dan melodi bacaan yang mengalun dari kaset tersebut. Sering dia mendengarkan suara salah seorang ustadznya yang pernah mengajar dia membaca al-Qur'an. Dia bilang bahwa suara yang terngiang dari pita kaset tersebut adalah suara Pak Urai Salam. Lagi-lagi, aku harus berkata, "bagus...bagus...bagus". Malam itu adalah pertemuan kali kedua dengan Jazz di rumah kostku. Pertemuan pertama aku suruh dia membaca surat al-Fatihah dan enam ayat dari surat al-Baqarah. Dibandingkan dengan bacaan di minggu lalu, bacaan Jazz pada pertemuan malam itu lebih bagus dan melodi bacanya lebih variatif, meskipun dia masih belum bisa lepas dari model OZ style-nya. Warna lagunya sudah menampakkan melodi naik-turun, meski belum serasi benar. Bentuk lagunya sudah terasa. Jazz senang sekali dengan komentarku bahwa dia sudah melakukan bacaan yang bagus dan telah mencapai 'such a good progress'. Saat membaca ayat-ayat tersebut, sekali-kali Jazz bertanya tentang makhraj dan panjang serta melodi bacaan al-Qur’an. Daya kuriositasnya memang patut diacungi jempol.


Di sela program pengajian 'dua-an' ini, aku tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang perjalanan spiritual Jazz yang mengantarnya menuju pangkuan Islam. Jazz pun berkisah. Saat itu seingat dia awal tahun 2001-an, dia berkunjung ke Hongkong untuk liburan beberapa minggu sembari menyambangi ayahnya yang kebetulan sedang bertugas di Hongkong. Jazz sering mengunjungi ayahnya yang pernah ditugaskan di Amerika dan Singapura. Nah, saat dia berkunjung ke Hongkong inilah dia bertemu Eti. Awal pertemuan di sebuah kafe internet di sebuah pojok kota Hongkong adalah momen yang tak terlupakan. Ceritanya, di pagi yang cerah di sebuah hari Minggu, Jazz bertandang ke sebuah Communication Café. Di sanalah dia bertemu dengan Eti. Perkenalan pertama dengan dara lajang asli Indonesia yang bekerja di Hongkong. Saat itu, Jazz mengenal Eti sebagai seorang pramuswisma di sebuah keluarga Cina. Hampir setiap Minggu Jazz pasti bertemu dengan Eti yang kebetulan sedang berinternet-ria di Cafe itu. Sebuah kebetulan ataukah sebuah skenario Tuhan untuk mempertemukan mereka tak ada orang yang tahu. Agaknya Jazz dan Eti memang sengaja untuk selalu menyempatkan waktunya bersua di internet cafe. Di sanalah cinta mereka mulai berkerlip terang. Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan dan senyuman pertama. Cinta pun bersemi melalui sapaan dan senyuman. In Hongkong with Love!

Liburan di Hongkong sangat berkesan bagi Jazz karena dia bertemu dengan seorang gadis Indonesia yang lugu. Hubungan mereka tidak berhenti di situ. Jazz masih berusaha untuk mengontak Eti melalui telepon atau email. Jazz janji bahwa dia ingin berkunjung ke Indonesia dan mampir ke rumah Eti di daerah Nganjuk. Di tahun 2002, Jazz bersama seorang kawannya berkunjung ke Bali untuk memuaskan hobi berselancarnya. Mereka menyewa sebuah rumah di dekat pantai Kuta. Hal yang tak terlupakan bagi Jazz adalah suara azan yang selalu dia dengar dari corong pengeras suara di sebuah Musholla yang terletak dekat dengan rumah sewaan yang dia tempati. Hampir setiap isya dan Shubuh, telinganya menangkap suara azan. Dia menceritakan betapa kawannya itu merasa terganggu dan sulit tidur gara-gara suara alunan itu. Namun bagi Jazz, suara itu memiliki kesan dan goresan tersendiri. Ada daya tarik yang tak terlupakan. Di situlah dia ingin memahami Islam lebih jauh lagi.

****

Beberapa hari berlibur di Bali, kemudian Jazz memutuskan untuk melanjutkan kunjungannya ke Nganjuk untuk menemui keluarga Eti. Lagi-lagi ada hal yang membuatnya tertarik tentang Islam. Masyarakat di desa tersebut begitu bersahaja. Bahkan dia melihat tradisi sinkretis yang anggun dan eksotik dalam jiwa masyarakat Jawa. Meski keislaman mereka tidaklah bagus bagi golongan tertentu, namun moralitas dan akhlak masyarakat pedesaan begitu berkesan. Tokoh sentral ulama menjadi ikon tersendiri dalam memori Jazz. Sebuah hal yang pernah dia ingat adalah ketika paman Eti akan membuat kandang sapi. Paman Eti harus pergi ke seorang ulama tarekat hanya untuk menanyakan dimana letak terbaik untuk membangun kandang sapi. Hal lainnya yang masih berkesan adalah adanya budaya gotong-royong yang sangat tinggi, misalnya, anak-anak dari keluarga miskin disokong sekolahnya oleh anggota masyarakat lain yang mampu. Dia melihat ketika ada hajatan perkawinan salah seorang tetangga Eti, orang-orang miskin, pengemis, dan orang buta diberi santunan dan makanan. Sungguh kehidupan yang sangat kental nilai sosialnya. Ada lagi yang membuatnya terinspirasi dengan model Islam ini adalah tradisi ziarah kubur tahunan di makam-makam para wali. Dia menemukan bahwa tradisi tersebut sangat elegan untuk membangun keimanan dan keikhlasan seseorang. Jazz kenal salah seorang paman Eti yang biasa melakukan ziarah tahunan tersebut. Konon dulunya, sang paman adalah orang yang tak mau beribadah dan berhati keras, namun karena mengikuti tradisi ziarah ini, dia menjadi orang yang taat dan berhati lembut. Jazz berkesimpulan bahwa hidayah bagi seseorang ada di mana-mana. Baginya, inilah Islam! Dia mengutarakan keingannya untuk melamar Eti. Namun keluarga Eti mengajukan satu syarat yang harus dilaluinya, yakni dia mau menjadi seorang Muslim. Bukannya dia surut, bahkan hal ini semakin memacu Jazz untuk memahami Islam lebih dalam sebelum memutuskan untuk memeluk Islam sebagai agamanya.

****

Pulang lagi ke Australia membawa semangat baru bagi Jazz untuk lebih mempelajari Islam. Suatu pagi dia menyetop sebuah taksi untuk mengantarnya berangkat kerja di kota Melbourne. Entah bagaimana sebabnya, ketika dia hendak turun dari taksi, sang supir taksi memberinya sebuah al-Qur’an terjemah bahasa Inggris kepadanya. Si supir taksi yang seingatnya berpenampilan seperti orang India atau Pakistan menyuruhnya untuk membaca dan mempelajarinya. Yang lebih mengherankan dia adalah, selama perjalanan tidak ada satupun percakapan yang menyinggung masalah Islam bahkan lebih banyak diam dalam perjalanan dibanding ngobrol dengan si supir taksi. Jazz masih menyimpan kenang-kenangan al-Qur’an itu di rumah. Mungkin Allah telah mengirim banyak malaikat pembawa pintu hidayah. Sejak saat itu Jazz berusaha membaca dan menonton banyak informasi tentang Islam. Dia pun selalu tertarik bila ada film dokumenter tentang Islam. Kebetulan saat itu Islam sedang digambarkan negatif oleh berbagai media Barat. Jazz bilang bahwa dia sering menonton film dokumenter Islam di chanel SBS. Jazz mengakui bahwa dia sudah banyak belajar tentang Hindu dan Budha sebelum dia tertarik memahami Islam. Di keluarga Eti, paman Etilah yang sangat berperan dalam meyakinkan keislaman Jazz, namanya Pak Mansur.


Desember 2002, akhirnya Jazz memutuskan untuk mengikrarkan keimanannya sebelum akad nikah. Sejak saat itu Jazz menjadi seorang Muslim. Belajar baginya adalah proses seumur hidup. Jazz yakin bahwa, ”Islam is behaviours, the way we behave to others. It is not only based on knowledge. Piety must be reflected through our daily lives.” Dia bahkan berkesimpulan bahwa keimanan baginya adalah proses. Tradisi manapun yang bisa menggenjot derajat iman adalah sah, meski itu berbentuk ziarah, tahlilan, dan berbagai tradisi lokal. Islam adalah jiwa. Demikian penggal pengalaman yang diceritakan oleh Jazz Cooper yang bernama Muslim Jazman Karim. Semoga Allah selalu memberkahi hidupnya dan keluarganya.


Melblourne, 21-Januari-2008

Thursday, January 17, 2008

Hikmah melalui Seni


Hikmah ternyata bisa berserak di mana saja. Hikmah ternyata bisa bersemayam dalam seni. Sebagai sebuah karya manusia, seni musik ternyata bisa menyelipkan hidayah bagi yang menggemari. Akankah kita kecam dan kutuk para insan seni yang berusaha memakai dawai seni sebagai alat untuk menabur akidah dan keimanan kepada penggemar musik? Rasul pernah mengatakan, "Hikmah adalah barang hilang milik seorang mukmin. Ke mana dia berjalan, dia akan mampu menemukan hikmah itu." Sungguh bijak Rasul kita ini.

Salah satu insan seni yang memiliki dedikasi dalam meramu musik dan lagu menjadi media dakwah adalah Chrisye. Simak pengalaman rohani yang dituturkan oleh Taufiq Isma'il. Cukup menyentuh.


Krismansyah Rahadi (1949-2007): KETIKA MULUT, TAK LAGI BERKATA
TaUFIQ ISMAIL

Di tahun 1997 saya bertemu Chrisye sehabis sebuah acara, dan dia berkata, "Bang, saya punya sebuah lagu. Saya sudah coba menuliskan kata-katanya, tapi saya tidak puas. Bisakah Abang
tolong tuliskan liriknya?" Karena saya suka lagu-lagu Chrisye, saya katakan bisa. Saya tanyakan kapan mesti selesai. Dia bilang sebulan.

Menilik kegiatan saya yang lain, deadline sebulan itu bolehlah. Kaset lagu itu dikirimkannya, berikut keterangan berapa baris lirik diperlukan, dan untuk setiap larik berapa jumlah ketukannya, yang akan diisi dengan suku kata. Chrisye menginginkan puisi relijius.

Kemudian saya dengarkan lagu itu. Indah sekali. Saya suka betul. Sesudah seminggu, tidak ada ide. Dua minggu begitu juga. Minggu ketiga inspirasi masih tertutup. Saya mulai gelisah. Di ujung minggu keempat tetap buntu. Saya heran. Padahal lagu itu cantik jelita. Tapi kalau ide memang macet, apa mau dikatakan. Tampaknya saya akan telepon Chrisye keesokan harinya dan saya mau bilang, " Chris, maaf ya, macet. Sori." Saya akan kembalikan pita rekaman itu. Saya punya kebiasaan rutin baca Surah Yasin.

Malam itu, ketika sampai ayat 65 yang berbunyi, A'udzubillahi minasy syaithonirrojim. "Alyauma nakhtimu 'alaa afwahihim, wa tukallimuna aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun" saya berhenti. Maknanya, "Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan." Saya tergugah. Makna ayat tentang Hari Pengadilan Akhir ini luar biasa!

Saya hidupkan lagi pita rekaman dan saya bergegas memindahkan makna itu ke larik-larik lagi tersebut. Pada mulanya saya ragu apakah makna yang sangat berbobot itu akan bisa masuk pas ke dalamnya. Bismillah. Keragu-raguan teratasi dan alhamdulillah penulisan lirik itu selesai. Lagu itu saya beri judul Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Keesokannya dengan lega saya berkata di telepon," Chris, alhamdulillah selesai". Chrisye sangat gembira. Saya belum beritahu padanya asal-usul inspirasi lirik tersebut. Berikutnya hal tidak biasa terjadilah. Ketika berlatih di kamar menyanyikannya baru dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi, menangis lagi, berkali-kali.

Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthiene Endah, Chrisye ? Sebuah Memoar Musikal, 2007 (halaman 308-309), bertutur Chrisye: Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satunya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetarkan sekujur tubuh saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-benar mencekam dan menggetarkan. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-kali menyanyikan lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir. Saya coba lagi. Menangis lagi.Yanti sampai syok! Dia kaget melihat respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu. Taufiq memberi judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata.

Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelepon Taufiq dan menceritakan kesulitan saya. "Saya mendapatkan ilham lirik itu dari Surat Yasin ayat 65..." kata Taufiq. Ia menyarankan saya untuk tenang saat menyanyikannya. Karena sebagaimana bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya. Walau sudah ditenangkan Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-kali saya menangis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umur, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Dilumpuhkan oleh lagu sendiri!

Butuh kekuatan untuk bisa menyanyikan lagu itu. Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, langsung mengingatkan saya, bahwa keberangkatan ke Australia sudah tak bisa ditunda lagi. Hari terakhir menjelang ke Australia , saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti sholat khusus untuk mendoakan saya. Dengan susah payah, akhirnya saya bisa menyanyikan lagu itu hingga selesai. Dan tidak ada take ulang!

Tidak mungkin. Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyikannya lagi. Jadi jika sekarang Anda mendengarkan lagu itu, itulah suara saya dengan getaran yang paling autentik, dan tak terulang! Jangankan menyanyikannya lagi, bila saya mendengarkan lagu itu saja, rasanya ingin berlari!

Lagu itu menjadi salah satu lagu paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan. Kekuatan spiritual di dalamnya benar-benarbenar meluluhkan perasaan. Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi.

Penuturan Chrisye dalam memoarnya itu mengejutkan saya. Penghayatannya terhadap Pengadilan Hari Akhir sedemikian sensitif dan luarbiasanya, dengan saksi tetesan air matanya. Bukan main. Saya tidak menyangka sedemikian mendalam penghayatannya terhadap makna Pengadilan Hari Akhir di hari kiamat kelak.

Mengenai menangis menangis ketika menyanyi, hal yang serupa terjadi dengan Iin Parlina dengan lagu Rindu Rasul. Di dalam konser atau pertunjukan, Iin biasanya cuma kuat menyanyikannya dua baris, dan pada baris ketiga Iin akan menunduk dan membelakangi penonton menahan sedu sedannya. Demikian sensitif dia pada shalawat Rasul dalam lagu tersebut.

* * *
Setelah rekaman Ketika Tangan dan Kaki Berkata selesai, dalam peluncuran album yang saya hadiri, Chrisye meneruskan titipan honorarium dari produser untuk lagu tersebut. Saya enggan menerimanya.

Chrisye terkejut. "Kenapa Bang, kurang?" Saya jelaskan bahwa saya tidak orisinil menuliskan lirik lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata itu. Saya cuma jadi tempat lewat, jadi saluran saja. Jadi saya tak berhak menerimanya. Bukankah itu dari Surah Yasin ayat 65, firman Tuhan? Saya akan bersalah menerima sesuatu yang bukan hak saya.

Kami jadi berdebat. Chrisye mengatakan bahwa dia menghargai pendirian saya, tetapi itu merepotkan administrasi. Akhirnya Chrisye menemukan jalan keluar. "Begini saja Bang, Abang tetap terima fee ini, agar administrasi rapi. Kalau Abang merasa bersalah, atau berdosa, nah, mohonlah ampun kepada Allah. Tuhan Maha Pengampun ' kan ?"

Saya pikir jalan yang ditawarkan Chrisye betul juga. Kalau saya berkeras menolak, akan kelihatan kaku, dan bisa ditafsirkan berlebihan. Akhirnya solusi Chrisye saya terima. Chrisye senang, saya pun senang.

* * *
Pada subuh hari Jum'at, 30 Maret 2007, pukul 04.08, penyanyi legendaris Chrisye wafat dalam usia 58 tahun, setelah tiga tahun lebih keluar masuk rumah sakit, termasuk berobat di Singapura. Diagnosis yang mengejutkan adalah kanker paru-paru stadium empat. Dia meninggalkan isteri, Yanti, dan empat anak, Risty, Nissa, Pasha dan Masha, 9 album proyek, 4 album sountrack, 20 album solo dan 2 filem. Semoga penyanyi yang lembut hati dan pengunjung masjid setia ini, tangan dan kakinya kelak akan bersaksi tentang amal salehnya serta menuntunnya memasuki Gerbang Hari Akhir yang semoga terbuka lebar baginya. Amin.
---
Artikel Taufik Ismail tentang Krismansyah Rahadi (chrisye) Penyair Taufiq Ismail menulis sebuah artikel tentang Krismansyah Rahadi (1949-2007) di majalah sastra HORISON.
===

===

Ketika Tangan dan Kaki Berkata
Lirik : Taufiq Ismail
Lagu : Chrisye
Akan datang hari mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya.... sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina
1997

Wednesday, January 16, 2008

Masjid kaum pendatang (2)

Sejak saat itu masjid baru dinamakan "Masjid Lis Saajiddin". Warga mempercayakan perawatan masjid kepada Rustam, seorang pemuda desa yang pemalu. Warga hanya berfikir daripada Rustam tak memiliki pekerjaan, lebih baik dia disuruh kerja di masjid sebagai marbout. Rustam yang lugu dengan penuh dedikasi tinggi menjalankan banyak tugas. Mulai dari membersihkan halaman masjid, mengepel lantai masjid, hingga melantunkan azan dalam lima kali shalat. Rustam dibayar atas sumbangan umat dan tambahan beberapa lembar rupiah dari Pak Maryono.

Tahun berganti tahun. tak terasa masjid Lis Saajidiin telah berusia lima tahun. Untuk sementara yang sering didaulat menjadi imam adalah Pak Maryono. Semua warga tahu meskipun Pak Maryono itu memiliki semangat menggebu tentang Islam, namun Pak Maryono hanya hafal dua surat pendek, yakni Surah Al-Naas dan Surah al-Ikhlash. Setiap kali dia harus berdiri di depan, maka semua jamaah langsung bisa menebak bahwa sehabis al-Fatihah di rakaat pertama dan kedua adalah Qulnas dan Qullah. Pada awalnya warga merasa bosan dengan bacaan Pak Maryono yang terus meneruskan melantunkan dua ayat andalannya.

Beberapa orang warga sebenarnya sudah pernah usul kepada pengurus masjid agar Pak Maryono diganti dengan yang lainnya mengingat bacaannya tak pernah berlari dari dua surat tersebut. Namun karena ewuh-pakewuh dengan jasa Pak Maryono, maka para warga pun sudah merasa nyaman dengan tradisi shalat yang diimami oleh Pak Maryono alias Mas Raden itu. Kegiatan masjid pun semarak karena Pak Maryono mengundang beberapa anak muda lulusan Aliyah untuk menjadi pengajar di masjid tersebut. Seluruh biaya Taman Pendidikan Al-Qur'an ditangani oleh Pak Maryono. Sering kali Pak Maryono ikut nimbrung melihat-lihat anak-anak kecil di desanya berduyun-duyun memeluk al-Qur'an dan buku Iqra untuk belajar ngaji di masjid yang pernah dirintisnya itu. Usianya semakin tua. Ada sebersit penyesalan dalam hati Pak Maryono, yakni dia tak pernah tertarik untuk mengaji ketika dia masih berusia muda. Usia mudanya hanya dipergunakan untuk mengurusi ternak dan kebun. Sehingga, Pak Maryono buta al-Qur'an dan hanya ingat dua surat tersebut. Sesungguhnya dia malu, namun semua penduduk desa memintanya untuk menjadi imam shalat wajib. Kehadiran Pak Maryono dirasakan sebagai pendorong semangat anak-anak desa tersebut. Demikian pula para ustadz-ustadzah yang mengajarnya pun merasa termotivasi dengan kehadiran Pak Maryono di setiap sore selepas Ashar. Tidak hanya TPA saja masjid itu semarak, Pak Maryono juga mengusulkan agar masjid dijadikan tempat latihan kesenian tradisional rebana, pusat tahlilan, pusat zikir, dan pusat muara spiritual.

****

Sementara itu, anak gadis Pak Maryono yang bernama Sutinah sudah berusia 20 tahun; usia yang sudah matang dan siap untuk menikah. Seorang pemuda kota menjadi pilihan Sutinah. Sutinah pernah mengungakpkan perasaannya kepada ayahnya bahwa Jalal adalah kawan sekelasnya. Karena tiap hari bertemu, dua orang muda ini akhirnya mengalami proses "cilok" alias cinta lokasi. Kedua sejoli tersebut saling jatuh cinta. Agar proses pernikahan tidak terlalu lama sekaligus menghindarkan mereka dari godaan dosa, maka Jalal pun memutuskan untuk melamar Sutinah. Jalal memberanikan diri bertandang ke rumah Sutinah. Pak Maryono sangat suka kepada Jalal yang dilihatnya sebagai pemuda cerdas dan memiliki ilmu agama yang bagus. Dia membayangkan andaikata masjid tersebut dipimpin oleh Jalal yang berpendidikan, maka masjid Lis Saajidiin akan bagus.

Hari yang ditunggu-tunggu Jalal dan Sutinah pun datang. Prosesi ijab-kabulnya diadakan di dalam masjid Lis Saajidiin. Semua warga desa datang untuk menyaksikan peristiwa penting itu. Bahkan ada yang berbisik-bisik bahwa acara nikah tersebut akan dibarengi dengan isu suksesi! Suksesi kepemimpinan masjid yang akan dilimpahkan kepada menantu Pak Maryono. Dalam sambutannya yang santun Pak Maryono berkata, "Bapak-bapak dan ibu-ibu, terima kasih bahwa bapak-bapak dan ibu-ibu sudi hadir dalam acara ini. Yang jelas saya memohon do'a restu bagi anak saya Sutinah dan menantu saya Jalal. Sekalian saya ingin berpesan agar kelak Jalal mau ikut mengurus masjid. Saya paham bahwa Sampean-Sampean itu sebenarnya sudah bosan banget mendengarkan suara saya yang cuma baca Qulnas dan Qullah. Qulnas-Qullah, bakul nanas kecebur kulah." Mendengar guyonan Pak Marsono itu semua yang mendengarnya ikut tertawa lepas.

Yah, ada harapan besar di hati para warga agar yang muda harus maju. Suksesi itu pun terjadi. Pak Maryono harus menjadi makmum, dan menantunya, Jalal, menjadi imam. Bacaan Jalal memang lebih variatif. Sering kali Jalal melantunkan ayat-ayat yang panjang. Hal ini membuat banyak warga desa pegal-pegal ketika harus mendengarkan bacaan panjang tersebut. Banyak yang terkejut dan menjadi tak ikhlash. Belum lagi banyak manula yang sakit encok ketika harus rukuk dan sujud berlama-lama. Jalal bukan berarti tidak tahu kondisi makmumnya tersebut. Jalal hanya ingin memberikan "kultur baru" yang lain daripada yang dulu. Menurutnya, ayat panjang adalah bentuk keseriusan dan keikhlasan bersujud di hadapan Allah. Tidak hanya bacaan Jalal yang panjang-panjang, dalam setiap ceramahnya Jalal selalu berapi-api untuk menyeru jamaah agar meninggalkan tradisi lama yang tidak baik. Ketika dia diminta untuk khutbah Jum'at, dia menyatakan bahwa masjid tidak boleh lagi dijadikan tempat nyanyi-nyanyi. Kalau mau nyanyi jangan di masjid, tapi di luar masjid. Oleh karena itu seni rebana harus pindah tempat latihannya, yakni di rumah Pak Didu. Jalal menegaskan bahwa jangan sekali-kali melakukan amalan yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

"Saudara-saudara, rasul mengatakan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi. Barang siapa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasul SAW adalah kesesatan yang bisa mengantar kita ke neraka! Oleh karena itu saya ingin agar masjid ini steril dari ritual-ritual yang tidak ada tuntunannya!" Jalal berapi-api ketika menyampaikan hal ini. Semua hadirin tercekat, tak ada yang bisa membantah Jalal karena setiap kali berkata, Jalal memberi ultimatum neraka dan murka Allah yang tidak menuruti perinta Rasul-Nya.

Dalam satu bulan kepemimpinan Jalal, jumlah jama'ah yang hadir ke masjid semakin berkurang. Anak-anak tidak lagi mau belajar di dalam masjid karena takut dengan gertak Jalal. Ustadz dan Ustadzah yang biasa mengajar pun diceramahi habis-habisan oleh Jalal agar berpakaian yang sesuai dengan model Nabi dan istri-istri Nabi. Mereka jadi tidak enak untuk datang mengajar. Walhasil, masjid pun semakin sepi. Dalam pikiran Jalal, "Ah, mungkin inilah perjuangan untuk menegakkan kebenaran. Pasti ada tantangannya. Rasul saja ditantang oleh umatnya"

Jalal tidak tahu bahwa para penduduk desa lebih suka tinggal di rumah menikmati teve dan radio dibanding pergi berlama-lama di masjid. Anak-anak kemudian tak mau lagi ngaji dan lebih suka menonton siaran teve bersama orang tua mereka. Mereka tak mau lagi pergi ke masjid. Rustam yang biasa menjadi marbout masjid pun sudah tak betah. Model azan yang dia lantunkan diprotes habis-habisan oleh Jalal. Bahkan Jalal menegaskan kalau azan harus begini dan begitu mengikuti adabnya Rasul. Lagu azan tak boleh macam-macam kayak lagu Inul si Ratu Ngebor. Azan tak boleh memakai loud-speaker. Padahal bagi Rustam, memerkan kebanggaannya bisa azan kepada seluruh warga desa adalah kesenangan tersendiri. Suara Rustam memang khas dan tidak sebanding dengan suara Mu'ammar, ZA, qari Internasional milik Indonesia.

Masjid Lis Saajidiin itu jadi semakin sepi. Padahal di setiap malam Jum'at selepas Maghrib, suara rebana yang dipukul sangat bertalu dengan iringan shalawat Nabi dari kitab Sumtud Durar, Dibay, dan al-Barzanjy mengalun menembus malam pekat yang dingin semilir di desa itu. Suara riuh-rendah shalawat Nabi mengalun syahdu memecah kelam senja. Suara mereka terdengar membahana dengan bantuan load-speaker hingga menerabas batas-batas desa. Sekarang lantunan itu sudah tak ada lagi. Semua anggota musik rebana lebih suka tidur sore dan berpikir untuk pergi ke sawah di ambang fajar daripada harus dimaki-maki Jalal. Masjid Lis Saajidiin semakin sepi dan berdebu. Kaum pendatang telah merubah masjid menjadi seonggok bangunan tanpa jiwa.

Melbourne, 17/01/2008

Tuesday, January 15, 2008

Masjid kaum pendatang (1)


"Kita harus punya masjid!" demikian seru salah seorang perempuan berkerudung biru dalam kerumunan manusia yang memenuhi ruang tamu Pak Didu.
Seorang laki-laki paruh baya dengan peci hitam kusam baju cokelat berlengan pendek juga memberanikan diri untuk bicara, "Betul, kita perlu masjid untuk menjaga akidah anak-anak kita. Jangan sampai mereka kehilangan Islam. Siapa lagi yang bakal mendoakan kita ketika kita sudah digulung kafan?".
Para peserta pertemuan itu serempak memberi suara koor, "Betulll...!!".

Pak Didu sebagai tuan rumah pertemuan tersebut mencoba memberi pencerahan, "Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat, kita memang sangat membutuhkan sebuah tempat dimana anak-anak kita dididik untuk jadi manusia yang beriman."
Sambil memperbaiki kerah baju batiknya, Pak Didu melanjutkan, "Kita wajib memiliki tempat yang mendukung rasa keagamaan kita dan anak-anak kita!"
"Bukankah sudah sewajarnya kita prihatin karena anak-anak kita itu sudah tak lagi memiliki unggah-ungguh kepada orang tua. Lagaknya sudah mirip orang bule dan para pemain sinteron di teve! Masjid adalah solusi!" demikian Pak Didu berbicara berapi-api di hadapan sekitar 15 orang undangan.

Suasana hening sejenak karena semua orang terpekur dengan pikiran masing-masing mengenai masa depan generasi mudai Islami itu. Dalam keterpekuran itu, tiba-tiba datang suara salam yang penuh wibawa.

"Assalamu 'alaikum saudara-saudara." Suara berat itu tiba-tiba memecah kesunyian ruang tamu itu. Warga mengenal suara itu sebagai suara Pak Maryono yang biasa dipanggil Mas Raden. Yah, Mas Raden baru datang. Laki-laki paruh baya dengan kumis tipis rapi dan badan agak gemuk. Warna kulitnya sawo matang. Mas Raden melangkah masuk ke dalam ruangan itu sambil menebar senyum ramah. Roman mukanya cerah dan bersahaja menandakan ketenangan hidup dan kebersahajaan. Maklum dia adalah orang penting dan kaya di desa terpencil itu. Semua petinggi desa menaruh hormat kepada Mas Raden.

Melihat kedatangan Mas Raden, Pak Didu pun berdiri sambil menjabat tangan Mas Raden erat-erat. "Wah, Mas Raden. Silahkan-silahkan Mas," kata Pak Didu dengan ramah mempersilahkan Pak Maryono duduk di sampingnya.
"Silahkan Mas Raden untuk menyampaikan usulan Mas Raden mengenai pentingnya masjid itu," Pak Didu mempersilahkan sambil menyodorkan jempolnya kepada Pak Maryono.
"Terima kasih Mas Didu. Saudara-saudara, jaman sudah semakin berubah. Jaman dulu dengan sekarang ini berbeda. Kalau dulu kita masih melihat orang tua kita sebagai contoh, namun sekarang, anak-anak lebih suka lihat contoh di tipi atau di bioskop," Pak Maryono mengawali pidatonya.

"Tenang saja saudara-saudara masjid itu tak akan lama berdiri karena saya punya banyak kawan di pusat dan di daerah yang mau membantu. Akan saya hubungi mereka, termasuk kenalan dekat saya Pak Bupati. Masjid itu akan berdiri di tengah-tengah kampung kita. Masjid itu akan berdiri di atas tanah saya. Saya akan sumbangkan tanah saya tersebut untuk masjid," Mas Raden meyakinkan para tamu.
Demi mendengar pernyataan Pak Maryono tersebut, semua hadirin bertepuk tangan. Semua tamu seolah merasakan kebahagiaan yang luar biasa. semua yang hadir serentak berdecak, "Alhamdulillaaah!!"

****

Singkat cerita atas kegigihan Pak Maryono melobi para pembesar-pembesar dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional, berdirilah masjid itu. Tak sedikit pengorbanan warga desa yang dibuktikan melalui jadwal giliran menyediakan makan siang dan cemilan berikut rokok kretek merek terkenal. Warga desa memang rindu dengan sebuah masjid. Dalam waktu tak begitu lama, akhirnya sebuah masjid yang tak begitu megah berdiri. Lantainya hanya kramik murahan berwarna putih bersih. Namun kebahagiaan warga desa tak dapat dibandingkan dengan munculnya masjid di tengah-tengah desa tersebut. Mereka berharap bahwa anak-anak desa tidak lagi suka nonton teve dan bertingkah kurang ajar kepada orang tua mereka. Masjid diharapkan menjadi tulang punggung yang menopang ketenangan batin dan kedewasaan emosional. Masjid harus bisa menjadi the hall of the community and the hall for the community, sebagai bangunan yang merepresentasikan kebudayaan dan semangat hidup masyarakat. Masjid bisa menjadi pusat peradaban ala masa Rasulullah SAW.

Malam peresmian masjid dipilih bertepatan dengan malam peringatan Nuzulul Qur'an di bulan Ramadhan. Saat itu beberapa pemuka desa diundang termasuk Pak Camat dan Pak Bupati. kedua pembesar daerah itu hadir karena kenalan baik Pak Maryono. Acara Nuzulul Qur'an itu meriah, karena semua warga desa shalat di masjid baru itu. Seorang muballigh kondang tingkat kabupaten diundang bahkan didaulat untuk memberi nama bagi masjid baru itu. Si muballigh yang dikenal luas dengan nama Kyai Khojin dipersilahkan naik panggung untuk memberikan ceramah. Saat itu warga pun harus bersyukur bahwa sang kyai memang tak pernah minta bayaran dan memasang tarif. Bahkan Kyai Khojin bilang kalau ceramah untuk warga desa tersebut harus gratis.

Salah satu penggal kalimatnya adalah, "Saudara-saudara kaum Muslimin dan Muslimat rahimakumullah. Masjid merupakan rumah Allah dimana nama Allah disebut dan diagungkan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana masjid bisa menjadi jiwa dari sampean-sampean dan kita semuanya! Bila kita bawa jiwa masjid, maka yang ada adalah jiwa yang tunduk dan patuh; jiwa yang selalu mengagungkan Zat Allah.; jiwa yang tidak merasa besar karena masjid itu panggonane wong sujud!"

Kyai Khojin melanjutkan, "Oleh karena itu, saudara-saudara, masjid ini saya beri nama masjid "Lis Saajidiin". Yah, masjid "Lis Saajidiin" yang artinya masjid bagi hamba Allah yang bersujud. Sadara-saudaraku jagalah masjid ini. Karena masjid ini adalah dari kita, oleh kita, dan untuk kita semua." Kyai Khojin berharap bahwa masjid tersebut menjadi tempat bagi sesiapa saja yang ingin bersujud di hadapan Allah SWT. Syukur-syukur preman-preman desa yang bisa nongkrong di pengkolan mulut desa mau bertandang ke masjid. Justru tantangan dakwah di desa tersebut adalah MENGISLAMKAN ORANG ISLAM.


**** bersambung

Melbourne, 17/01/2008

Monday, January 14, 2008

Islamic Jesus

Agence France-Presse - 1/13/2008 11:16 PM

'Islamic Jesus' hits Iranian movie screens

Iranian actor Ahmad Soleimani Nia plays the role of Jesus during the making of the "Jesus, the spirit of God", by Iranian film director Nader Talebzadeh, in Tehran, in 2007.  A director who shares the ideas of Iran's hardline president has produced what he says is the first film giving an Islamic view of Jesus Christ, in a bid to show the "common ground" between Muslims and Christians.

A director who shares the ideas of Iran's hardline president has produced what he says is the first film giving an Islamic view of Jesus Christ, in a bid to show the "common ground" between Muslims and Christians.

Nader Talebzadeh sees his movie, "Jesus, the Spirit of God," as an Islamic answer to Western productions like Mel Gibson's 2004 blockbuster "The Passion of the Christ," which he praised as admirable but quite simply "wrong".

"Gibson's film is a very good film. I mean that it is a well-crafted movie but the story is wrong -- it was not like that," he said, referring to two key differences: Islam sees Jesus as a prophet, not the son of God, and does not believe he was crucified.

Talebzadeh said he even went to Gibson's mansion in Malibu, California, to show him his film. "But it was Sunday and the security at the gate received the film and the brochure and promised to deliver it," though the Iranian never heard back.

Even in Iran, "Jesus, The Spirit of God" had a low-key reception, playing to moderate audiences in five Tehran cinemas during the holy month of Ramadan, in October.

The film, funded by state broadcasting, faded off the billboards but is far from dead, about to be recycled in a major 20 episode spin-off to be broadcast over state-run national television this year.

Talebzadeh insists it aims to bridge differences between Christianity and Islam, despite the stark divergence from Christian doctrine about Christ's final hours on earth.

"It is fascinating for Christians to know that Islam gives such devotion to and has so much knowledge about Jesus," Talebzadeh told AFP.

"By making this film I wanted to make a bridge between Christianity and Islam, to open the door for dialogue since there is much common ground between Islam and Christianity," he said.

The director is also keen to emphasise the links between Jesus and one of the most important figures in Shiite Islam, the Imam Mahdi, said to have disappeared 12 centuries ago but whose "return" to earth has been a key tenet of the Ahmadinejad presidency.

Talebzadeh made his name making documentaries about Iran's 1980-1988 war against Iraq, an important genre in the country's post-revolutionary cinema.

But such weighty themes, and his latest film on Jesus, compete with domestic gangster thrillers and sugary boy-meets-girl love stories, the movies that continue to draw the biggest audiences in the Islamic Republic.

The bulk of "Jesus, the Spirit of God", which won an award at the 2007 Religion Today Film Festival in Italy, faithfully follows the traditional tale of Jesus as recounted in the New Testament Gospels, a narrative reproduced in the Koran and accepted by Muslims.

But in Talebzadeh's movie, God saves Jesus, depicted as a fair-complexioned man with long hair and a beard, from crucifixion and takes him straight to heaven.

"It is frankly said in the Koran that the person who was crucified was not Jesus" but Judas, one of the 12 Apostles and the one the Bible holds betrayed Jesus to the Romans, he said. In his film, it is Judas who is crucified.

Islam sees Jesus as one of five great prophets -- others being Noah, Moses and Abraham -- sent to earth to announce the coming of Mohammed, the final prophet who spread the religion of Islam. It respects Jesus' followers as "people of the book".

Iran has tens of thousands of its own Christians who are guaranteed religious freedoms under the constitution -- mainly Armenians, though their numbers have fallen sharply since the 1979 Islamic Revolution.

Every Christmas, Ahmadinejad and other officials lose no time in sending greetings to Christian leaders including the pope on what they describe as the "auspicious birthday of Jesus Christ, Peace Be Upon Him (PBUH)."

In this year's message, Ahmadinejad said that "peace, friendship and justice will be attained wherever the guidelines of Jesus Christ (PBUH) are realised in the world."

Shiite Muslims, the majority in Iran, believe Jesus will accompany the Imam Mahdi when he reappears in a future apocalypse to save the world.

And Talebzadeh said the TV version of his film will further explore the links between Jesus and the Mahdi -- whose return Ahmadinejad has said his government, which came to power in 2005, is working to hasten.

Shiites believe the Mahdi's reappearance will usher in a new era of peace and harmony.

"We Muslims pray for the 'Return' (of Imam Mahdi) and Jesus is part of the return and the end of time," Talebzadeh said.

"Should we, as artists, stand idle until that time? Don't we have to make an effort?"



Source: http://news.id.msn.com/entertainment/article.aspx?cp-documentid=1188583

Jazman Karim (1)


Aku kenal Jazz Cooper semenjak pertengahan tahun 2005. Saat itu selepas shalat Isya di Westall di pertengahan musim semi, aku tak sengaja bertemu seorang laki-laki bule dengan seorang anak laki-laki kecil yang saat itu berada dalam gendongannya dan perempuan Indonesia berkerudung. Aku menebak bahwa perempuan berkerudung itu adalah istrinya, dan anak yang digendongnya adalah anak mereka. Saat aku melihat mereka, mereka hanya berdiri mematung saja di halaman luar masjid. Memang masjid Westall tidak akan nampak seperti masjid karena eksterior bangunannya bila dilihat dari luar lebih menyerupai rumah biasa. Jangan bayangkan sebuah masjid dengan menara tinggi dan kubah nan megah sebagaimana biasa kita lihat di tanah air. Melihat mereka berdiri mematung semacam itu, aku sapa mereka. "Ada yang bisa saya bantu?" Si perempuan itu menjawab, "Saya dengar bahwa di sini sering diadakan pengajian yah Pak?" "Betul Bu," jawabku sambil menatap sang bule yang sedang menggendong anak lelakinya yang aku taksir baru berusia 2 tahun.

Aku jabat tangan si bule itu, "Welcome brother, yes we have a regular Islamic course here every Friday night, just feel free to come." Aku bertanya siapa nama si bule itu. Dia memperkenalkan namanya sebagai Jazz Cooper, istrinya bernama Eti, dan anak laki-lakinya bernama Tasharif. Mereka senang ketika aku undang mereka untuk datang saja tanpa ragu. Masjid itu rumah terbuka bagi siapa saja yang ingin mendatanginya. Kebetulan pengajian Jum'at malam memang selalu ramai didatangi oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di sekitar Melbourne. Sejak saat itu Jazz selalu datang ditemani istri dan anaknya. Dia awali belajar membaca al-Qur'an dengan buku Iqra'. Aku masih ingat kali pertama dia mengeja huruf-huruf hijaiyah yang terpisah. Aku masih ingat ketika aku jelaskan sistem fonetik huruf-huruf hijaiyah. Dia nampak antusias dan bersemangat. Setiap kali aku menyuruhnya membaca satu lembar Iqra, tak pernah sekalipun dia patah arang saat melakukan kesalahan baca. Bahkan hanya dalam waktu empat bulan saja dia sudah bisa membaca seluruh huruf hijaiyah dan khatam buku Iqra! Dalam waktu delapan bulan, Jazz sudah sedemikian mahir membaca al-Qur'an dengan melodi OZ-style-nya yang khas dan unik.

****

Dalam benakku, "Hebat juga bule yang satu ini dalam usahanya mengarungi lorong agama." Kehausan dan semangatnya untuk belajar Islam sangat memikat. Jazz orang yang sederhana dan gaya bicaranya sangat santun. Dia sering bercerita tentang betapa beratnya memeluk Islam untuk kali pertama di akhir tahun 2002. Belajar shalat lima waktu dan puasa adalah hal yang menantang baginya. Merasakan dirinya hidup sebagai seorang Muslim 'baru' dan harus memimpin sebuah keluarga Muslim memiliki tantangan yang tidak sedikit. Utamanya ketika harus bergaul dengan kawan-kawan lamanya. Jazz masih mencoba untuk menjaga hubungan baik dengan kawan-kawannya dulu. Banyak yang heran atas perubahan perilaku Jazz. Jazz yang dulu masih meminum alkohol dan bir, setiap kali diundang pesta, dia tak pernah menyentuh lagi minuman itu. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah setiap kali dia diundang barbecue oleh kawan-kawan bulenya, dia dan keluarganya membawa daging yang dibeli dari toko jagal halal.

Dia ingin hidup secara Islami dan tak ingin malu menampakkan identitas keislamannya. Bahkan dia bercerita kalau sekarang ini dia tak malu lagi untuk melakukan shalat saat memenuhi undangan di rumah kawannya. Suatu hari saat shalat Dluhur tiba, Jazz minta izin kepada kawannya yang punya rumah itu untuk shalat di ruang tamu. Awalnya Jazz agak canggung untuk melakukan shalat di hadapan kawannya, karena pasti akan dilihat oleh mereka. Namun, perasaan itu sudah terkikis habis. Dia merasa nyaman kalau bisa melakukan shalat meski dilihat oleh banyak orang. Dia ingin memperlihatkan betapa indahnya Islam itu. Dia sudah terbiasa shalat sementara kawan-kawannya yang lain sedang asyik menikmati daging panggang barbecue. Asal tahu saja bahwa acara panggang-memanggang daging adalah tradisi tak terpisahkan bagi kebanyakan orang Australia. Terkadang satu family yang terdiri dari berbagai generasi mengisi saat akhir pekan mereka dengan mengadakan berbecue di taman atau di rumah salah seorang keluarga.

Senin, 14 Januari 2008, Jazz datang bertandang ke rumah. Dia ingin sekali belajar mengaji murottal al-Qur'an. Dia bilang tidak nyaman dengan bacaan ala OZ yang tak memiliki melodi yang luwes. Baginya lagu bacaannya terlalu kaku dan terlalu lurus tanpa melodi yang renyah. Bahkan hebatnya lagi dia ingin belajar melantunkan suara azan. Malam itu jam menunjukkan pukul 9.30 malam. Aku minta Jazz melantunkan suara azan. Dia bilang bahwa dia sudah belajar untuk melantunkannya, namun masih malu kalau harus melantunkannya di masjid di kala banyak orang. Dia bilang bahwa dia berusaha selalu azan saat shalat berjamaah di rumah bersama Eti, Tasharif, Nela (adik Tasha yang lahir pada bulan Juli 2007), dan Susi (adik iparnya). Aku mengatakan bahwa tradisi azan di rumah sangat bagus sekaligus berlatih menghaluskan bacaan azan. Saat itu aku suruh Jazz melantunkan azan meski bukan waktu shalat. Awalnya sih malu-malu, namun sejurus kemudian Jazz sambil duduk di ruang tamu melantunkan azan lengkap dari Allahu Akbar hingga Laa ilaaha illal laah. Suara dia memang unik dan lagu yang dia lantunkan sudah memiliki variasi dan melodi yang lumayan. Sekali lagi aku menjadi semakin kagum dengan si bule ini yang semangat juangnya luar biasa.

Aku persilahkan dia untuk pindah ke ruang tengah untuk belajar ngaji karena di sana ada meja lebar yang diterangi oleh pendar lampu yang terang. Sebelum mulai dia berpendapat bahwa sudah selayaknya seorang Muslim menambah pengetahuannya. Bahkan dia sering minta konfirmasi tentang hadits dan makna beberapa ayat kepadaku. Dia bilang sudah banyak membaca buku-buku Islam dan sejarah Muhammad SAW. Dia ingin bahwa pemahaman dia tentang Islam adalah pemahaman yang didasarkan pada proses mencari bukan proses menerima. Dia ingin belajar dari siapa dan dari sumber manapun. Aku terus bilang, "bagus... bagus... bagus..." karena memang tak ada lagi kata-kata yang harus aku ucapkan untuk mengapresiasi apa yang sedang dia lakukan. Dalam batinku aku berkata, "Ah, alangkah banyak orang Muslim yang enggan untuk belajar. Alangkah banyaknya orang Muslim yang baru belajar satu buku merasa dirinya pintar dan pandai melebihi kepandaian Tuhan." Mereka yang lahir dalam 'brand' Islam lebih banyak tak mahu tahu tentang agamanya. Aku menangkap kerendahan hati seorang Jazz. Ironis dengan bayanganku tentang orang yang dilahirkan dalam kondisi 'Islam'.

****

bersambung

Melbourne, 21-Januari-2008



Sunday, January 13, 2008

Makna Kelahiran


Hari Kamis, 3 Januari 2008, jam 19.30, Azieta Mayyazah Asma Ali-Rahman terlahir ke dunia ini di rumah sakit MMC (Monash Medical Centre). Hadiah Tuhan yang jatuh ke pangkuan dua orang kekasih, Ali dan Leni adalah sebuah titipan yang paling berharga dalam hidup mereka. Bayi perempuan mungil yang menurut orang tuanya dipanggil Zita terlihat sehat dan berambut indah. Tinggi 50 cm dan berat badan 2,9 kg. Zita lahir normal, meski kelahirannya dirasa sangat tiba-tiba bagi pasangan Ali dan Leni.

Masjid Westall rame dengan acara penyambutan warga baru dunia ini. Ahad, 13 Januari 2008 jam 7.30pm waktu Melbourne acara akikah dilaksanakan. Seekor kambing pun dijadikan qurban bagi menciptakan aroma kebersamaan di malam itu disamping menanamkan jiwa pengorbanan yang tulus bagi diri Azita. Bacaan shalawat pun mengalun mengiringi prosesi perkenalan sang jabang bayi dengan para tamu. "Yaa Nabi salaam 'alaika... yaa Rasul salaam 'alaika, yaa habiib salaam 'alaika, shalawaatullaah 'alaika...." (Wahai Nabi, salam sejahtera kami sampaikan untukmu, wahai utusan Allah, salam sejahtera kami sampaikan kepadamu, wahai sang kekasih, salam sejahtera kami sampaikan kepadamu, dan pujian Sang Khaliq tercurah untukmu) seolah memenuhi ruangan masjid dan menjejali rongga jiwa bayi mungil itu. Seolah sang bayi diajarkan tentang indahnya kebersamaan dan indahnya cinta kepada sang Nabi.

Kelahiran, jodoh, dan kematian adalah untaian takdir yang tak pernah disadari dan tak akan bisa direncanakan oleh manusia. Kehidupan ini terlalu kompleks dengan berbagai tumpukan peristiwa. tak ada sesuatu yang dicari manusia dalam kehidupannya kecuali kebahagiaan. Kelahiran memiliki dua wajah, yakni wajah kebahagiaan bagi sang orang tua yang diberi amanat, dan wajah kontinuitas kehidupan yang akan mengukir lembar-lembar kisah manusia. Betapa bahagia sang orang tua ketika bisa menimang sang buah hati. Cinta adalah refleksi suci yang ditumpahkan ke dalam sanubari hamba Allah. Cinta adalah secuil percikan watak Allah yang ditabur di atas hamparan dunia ini. Kelahiran adalah peristiwa yang bisa dipahami sebagai inti kehidupan ini, yakni kebahagiaan, cinta, dan keberlansungan hidup.

Banyak hamba Allah yang belum mampu memahami hakikat cinta. Muara cinta adalah penghambaan totalitas kepada Allah SWT. Sebuah rumah tangga yang dibangun tanpa cinta, maka warna penghambaan kepada Allah pun musnah. Yang ada hanyalah penghambaan kepada materi dan birahi. Kedua pihak, istri dan suami, tak akan mampu mengarungi biduk kehidupan menuju muara penghambaan kepada Sang Khaliq andai hakikat cinta tak pernah dipahami. Jika sebuah rumah tangga dibangun berdasarkan pemahaman kita terhadap pesan-pesan suci Sang Pencipta dan nasihat-nasihat bernas sang utusan Allah, maka cinta yang dibangun akan dijiwai oleh sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih). Ikatan batin suami-istri akan sangat kokoh dan tak akan putus bila cinta kepada Allah menjadi jiwa kehidupan rumah tangga.

Kehidupan ini adalah misteri yang penuh kejutan. Ada orang-orang yang menemukan tambatan hatinya dalam usia dini. Ada pula orang yang baru menemukan "the rightest choice" ketika meniti usia senjanya. Bahkan ada lagi yang belum menemukan tambatan kasihnya hingga mata terpejam selamanya. Bagi yang terakhir ini, mungkin Allah sediakan sang kekasih di sorga kelak. Seseorang memutuskan untuk melabuhkan cintanya kepada seseorang dikarenakan empat hal, menurut Nabi, kondisi fisiknya, kondisi materinya, kondisi genealogisnya, dan kondisi agamanya. Syukur-syukur kita mendapatkan empat hal tersebut pada diri seseorang. Sayang, Allah tidak banyak menciptakan manusia empat dimensi ini. Sorotan rasul dalam menentukan jodoh adalah faktor agama. Spiritualitas dan keislaman adalah prioritas yang tak bisa ditawar! Kenapa demikian? Rasul menginginkan agar cinta suami-istri hanya dibangun berdasarkan muara ilahiah bukan yang lainnya. Cinta diciptakan agar suami-istri mampu menggapai ridlo Allah SWT.

Sakinah (ketenangan batin) hanya dapat direngkuh hanya melalui tingkat keimanan yang mapan. Gempuran masalah seperti apapun akan musnah andai hati keduanya dilumuri dengan manisnya iman. Keduanya secara otomatis akan paham makna menghormati satu sama lain. Keduanya akan paham makna melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak suami-istri andai agama dijadikan landasan. Bukan egoisme dan hidup tanpa arah. Rindu yang bergetar kuat antara kedua insan Allah ini tak akan langgeng andai nilai-nilai agamis tak terefleksikan kehidupan sehari-harinya. Bukankah terlalu banyak kita saksikan egoisme dan individualisme menjadi nyawa kehidupan pasangan-pasangan modern? Bukankah pernikahan hanya dipandang sebagai sarana mencitrakan status sosial belaka? Bukankah pernikahan sering dipahami sebagai penghalalan hubungan kelamin belaka?

Di akhir refleksiku, aku berharap bahwa cinta suami-istri dapat dibangun melalui penghambaan kita kepada Allah SWT. Kelahiran adalah salah satu produk dari letupan cinta. Wariskan hakikat cinta kepada generasi mendatang, yakni generasi yang hidup bukan di zaman kita. Tantangan ke depan semakin menakutkan. Bagi kitalah untuk mengajarkan makna cinta yang sebenarnya di saat banyak media mengajarkan cinta sebatas hubungan kelamin belaka.

Melbourne, 14 Januari 2008

Friday, January 11, 2008

Moyangnya dosa



Sejenak aku buka-buka sebuah kitab tua karangan seorang ulama abad ke-19, Mbah Nawawi al-Jawi. Kitab yang berjudul 'nashaaikh al-ibad" (nasehat bagi hamba Allah) adalah kumpulan hadits Rasul, atsar sahabat dan kata-kata ulama. Secara cerdas, Imam Nawawi menyusunnya bagai piramida topik dimulai dari riwayat-riwayat yang terdiri dari dua nasehat hingga riwayat yang mengandung 10 nasehat. Kitab ini memang berisi mau'idlah (nasehat bijak). Pada halaman 56 (Bab al-Tusaa'i), aku temukan sebuah hadits yang artinya: Nabi Muhammad SAW berkata, ' Allah telah mewahyukan kepada Musa bin Imran dalam kitab Taurat bahwasanya sumber kesalahan manusia itu bermuara pada 3 watak, yakni: takabbur, rakus, dan dengki.

Takabbur alias sombong adalah watak yang membuat manusia membangun elitisme dan tribalisme yang sangat primordial. Manusia menciptakan waham-waham superioritas kompleks di kalangan kelompoknya .Maka muncullah prejudice, streotype, dan genosida. Pergaulan di tempat kerja pun mungkin bisa ditemukan manusia takabbur yang seolah lupa bahwa jabatan adalah sesuatu yang sifatnya sementara. Takabbur mengingkari kebenaran dan menindas manusia. Takabbur yang bersemayam dalam diri individu dapat berubah menjadi takabbur dalam sebuah entitas kelompok. Kalau kita amati kehidupan masyarakat Islam dewasa ini, maka watak ini sering merasuki kelompok-kelompok yang merasa ibadah dan ilmunya paling sempurna. Klaim kafir dan bid'ah terhadap kelompok lain menjadi kebiasaan manakala takabbur mulai merasuk. Stigmaisme menjadi paham baru manakala umat tertentu merasa paling baik dibanding kelompok lain.

Rakus membuat manusia membangun konflik berkepanjangan. Kolonialisasi dan okupasi serta aneksi negara dan kelompok lain oleh kelompok lain adalah berkat jasa watak yang satu ini. Rakus pun membuat budaya korup dan suap merajalela. Rakus pun kemudian membuat manusia tidak jujur pada diri dan orang lain. Rakuslah yang membuat manusia menindas alam dan menindas manusia lain. Pembalakan liar dan eksplotasi ekosistem adalah bukti betapa destruktifnya watak rakus ini.

Dengki membuat manusia tidak tenang atas kebahagiaan orang lain. Dengki membuat dirinya serba khawatir atas hilangnya nikmat. Dengki pula yang membuat manusia ingin merusak kehidupan lian. Bukankah banyak chaos yang terjadi disulut oleh api kedengkian ini? Sejarah kerajaan di nusantara telah mencatat rentetan kehidupan yang dipoles oleh kedengkian. Raja-raja Jawa dalam rentang sejarahnya terlibat banyak intrik dan keculasan dengki ini. Mereka terlibat hal ini karena dengki yang menghancurkan.

Melbourne, 12/1/2008

Wednesday, January 09, 2008

Sinar Kenabian


Dalam ruang kantor yang senyap, sambil duduk di depan komputer, angan saya tiba-tiba direnggut oleh khayal kecintaan sahabat kepada nabi-Nya. Saat sang utusan Allah menginjakkan kakiknya di tanah Yatsirb, gegap gempita sambutan para penghuni Yatsrib membakar daun-daun cinta dan rindu menjadi nyala hidup dan harapan.

"Thala'al badru 'alayna...." telah muncul sang purnama kepada kami. Demikian para Anshor menyambut sang Nabi tercinta pembawa suluh risalah dan pembawa obor kedamaian bagi segenap makhluk di muka bumi ini.

Dalam bayanganku, sang rasul melambaikan tangan kepada para penyambutnya di sepanjang jalan menuju gerbang Yatsrib, Madinatun Nabi! Senyum mengembang dari muka nan teduh yang dihiasi sinar ilahiah. Kehadiran Rasul di Madinah mampu menanamkan tetes harapan baru akan kehidupan yang lebih beradab. Ada dua agenda penting yang Rasul lakukan saat itu, yakni membangun sisi spiritual dan sisi sosial. Sisi spiritual dibuktikan Rasul ketika memutuskan untuk membangun masjid Quba. Sisi sosial dilakukan rasul melalui perkawinan campur antara kaum pendatang dan pribumi agar mereka terikat dalam ikatan persaudaraan karena Allah.

Tak maukah kita belajar dari noktah sejarah ini ? Lihatlah betapa cinta sahabat kepada kekasihnya disanjungkan dalam syair nan indah. Akankah kita lenyapkan sebuah ekspresi rindu yang diungkap melalui untai indah syair-syair cinta? Atau kita biarkan generasi muda terlena dalam selimut langgam cinta birahi dan tak memiliki secuil cinta kepada sang nabi?