Kunjungan saya ke dua kota suci Mekah dan Madinah di tahun ini bukanlah kunjungan kali pertama dalam kehidupan saya. Meski demikian, Allah masih memberi kesempatan dan sayang-Nya kepada saya untuk sujud begitu dekat dengan-Nya di dua tanah suci. "Rejeki tiban" yang saya dapatkan di tahun ini berasal dari Atase Agama Kedutaan Besar Kerajaan Saudi Arabia di Jakarta. Undangan haji ini saya terima pada saat saya sedang memimpin rapat di Fakultas tanggal 10 September jam 11.00.Tiba-tiba saya dihubungi oleh salah seseorang dari Kementerian Agama bahwa ada undangan untuk menunaikan ibadah haji atas biaya Atase Agama. Orang ini mengaku bernama Bil Bakhtiar. Saya bertanya kepada orang yang menelepon saya, "Bapak tahu nomor telepon saya dari siapa?". Lalu orang ini menjelaskan "sanad" diperolehnya telepon dengan menyebutkan nama-nama orang yang saya kenal. Kemudian saya kembali bertanya, "Apakah Bapak meminta saya untuk mencari orang yang mau berangkat haji?". Orang dari Kemenag ini menjawab bahwa undangan ini direkomendasikan untuk saya, bukan untuk meminta saya mencarikan orang untuk naik haji. Spontan saya katakan bersedia untuk jadi tamu Allah di musim haji tahun ini. Pikirku, namaku muncul adalah kehendak Allah SWT yang tidak boleh ditolak, ini adalah takdir yang harus aku lalui.
Namun ada hal yang mengganggu benak saya dalam obrolan per telepon tersebut. Tanggal keberangkatan belum jelas karena menunggu kepastian dari kedutaan Saudi. Saya katakan, "Baiklah, saya menunggu kabar Anda selanjutnya. Terima kasih saya sudah diberitahu. Jazakumullah Mas." Saat itu hati saya berbunga-bunga mendapatkan tawaran spontan ini. Saya meyakini bahwa tawaran ini merupakan undangan dari Allah SWT bagi saya untuk menyempurnakan manasik kehidupan. Kalau sekedar manasik haji, maka yang terbayang adalah olah fisik dan runutan ritual dari mulai ihram hingga thawaf wada' (tawaf perpisahan). Manasik kali ini adalah untuk memperbaiki kehidupan saya. Saya berhajat untuk melaporkan diri ini kepada Sang Khaliq di tempat suci. Memang dalam kunjungan terakhir tahun 2008, saya sempat meminta kepada Allah di saat tawaf wada' agar saya diberi kesempatan untuk menengok dua kota suci lagi untuk menyempurnakan diri. Angan saya melayang pada momen haji tahun itu betapa banyak kekurangan ibadah yang belum sempat saya sempurnakan. Ternyata doa saya terjawab, alhamdulillaaah.
Tanggal 19 September saya ditelepon oleh Habib Haidar dari LIPIA bahwa nanti saya akan diberangkatkan dalam rombongan dosen dan karyawan LIPIA yang diperkirakan pada tanggal 28 September 2014. Beliau menginginkan saya membereskan proses vaksinasi segera dan menyerahkan kartu kuning ke kantor LIPIA. Karena saya baru dikasih tahu hari Kamis, maka saya baru bisa mengikuti vaksinasi pada hari Senin, karena Jumat merupakan hari kejepit. Saya rencanakan tanggal 22 September hari Senin untuk mendapatkan dua suntikan: meningitis dan flu. Saya mendapatkan informasi bahwa RS Fatmawati memberi layanan vaksinasi untuk haji dan umroh. Tepat jam 6.30 tanggal 22 September, saya sudah nangkring di atas motor andalan untuk meluncur ke Fatmawati. Saya siapkan fotokopi pasaport dan dua lembar pas foto ukuran 4X6 cm untuk persyaratan mendapatkan vaksinasi tersebut. Kutancap motor menuju Fatmawati menyelusuri jalan Cirendeu Raya kemudian jalan Adhyaksa menuju RS Fatmawati. Jam segitu suasana jalanan sudah padat dan seperti biasa deretan mobil mengular sepanjang jalan. Ungunglah dengan mengendarai motor, saya bisa sampai relatif lebih cepat. Sampai di pelataran parkir RS Fatmawati jam 7.00 dengan harapan bisa mendapatkan antrian dengan nomor muda. Saya pun memarkir kendaraan di area parkir sepeda motor yang saya lihat sudah banyak deretan motor. Tanpa tanya ini dan itu, saya parkir saja motor di situ. Nah, saat itu saya melihat seorang petugas parkir sedang berdiri di pojokan; seorang pria yang kutaksir usianya di akhir 50an memakai kaos putih dan bertopi kuning. Saya bertanya padanya, "Pak saya sudah parkir motor saya di sini apakah tidak diberi karcis?". Mendengar jawabanku tersebut, petugas parkir langsung memberitahu saya bahwa saya salah parkir karena area parkir tersebut khusus diperuntukkan bagi karyawan Rumah Sakit. Olala.....baru tahu kalau saya masuk area privilese. Tahu begitu saya tak bertanya tentang karcis parkir deh (demikian bisikan nakal dalam otak saya..hehehe). Tapi ada untungnya saya bertemu dengan lelaki ini, karena saya bisa bertanya tentang layanan vaksinasi haji dan umroh di RS Fatmawati. Ketika saya tanya tentang hal ini, si petugas parkir ini menjawab, "Maaf Pak, setahu saya layanan tersebut sudah tutup lebih dari setahun. Tapi untuk memastikan bahwa silahkan saja pergi ke gedung sebelah untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap."
Saya manut saja ucapan laki-laki tersebut. Saya pun ngloyor menuju aula poliklinik sebagaimana yang ditunjuk oleh petugas parkir tadi. Sepanjang langkah kaki saya berjalan di trotoar rumah sakit yang rindang. Saya melihat bahwa suasana pagi pun rumah sakit sudah begitu ramai. Dalam hati saya berdoa, "Ya Allah berikan hamba-Mu ini kesehatan agar dapat bermanfaat bagi banyak umat. Meski kamar rumah sakit berhiaskan AC dan teve, jangan Kau masukkan aku ke sana menjadi manusia sakit." Begitu dekat dengan gedung yang dimaksud, saya melihat seorang laki-laki berseragam biru-biru mengenakan top biru juga di kisaran usia 30 tahunan sedang mengatur mobil yang berhenti menurunkan penumpang di depan poliklinik. Suasana lantai dasar poliklinik sudah ramai luar biasa. Semua kursi yang tersedia dipenuhi pasien dan keluarga pasien untuk mendaftar. Tidak sedikit di antara mereka terpaksa berdiri menunggu giliran. Suasana ramai seperti ini pun terjadi di gedung sebelah yang menempelkan spanduk pelayanan BPJS Kesehatan. Betapa mahalnya harga sebuah kesehatan manakala manusia rela antri untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kesehatan adalah amanah Allah yang sering manusia lupakan. Seolah kondisi sehat adalah sesuatu yang alami dan "taken for granted". Manusia tidak ambil pusing bahwa titipan Tuhan ini bisa saja berubah menjadi sakit manakala manusia tak lagi peduli dengan hak tubuhnya dan asupan makanannya. Kepada petugas ini saya juga bertanya hal yang sama. Jawabannya adalah, "Sudah lebih dari setahun Pak, layanan vaksinasi sudah ditutup. Saya tidak tahu mengapa ditutup padahal banyak lho yang ngantri. Nah, sekarang Bapak bisa mendapatkan vaksinasi di Bandara Halim dan Bandara Cengkareng (maksudnya Soekarno Hatta)." Voila, kok yah informasi di website belum juga dihapus sih. Saat itu juga saya cabut dari area Rumah Sakit dan menelepon Slamet untuk mengantar ke Layanan Kesehatan di Bandara Halim Perdanakusuma.
Ku cegat Slamet di depan kampus PTIQ Lebak Bulus sembari aku bisa parkir motorku di situ. Perjalanan menggunakan mobil harus lebih super sabar karena berbagi lahan jalan dengan pengendara lain. Ku lirik jam tangan menunjukkan pukul 7.30 pagi. Ntahlah saya tidak tahu jam berapa sampai sana. Apapun serba mendadak. Untunglah saya masih menyimpan paspor yang berlaku hingga 2018 dengan alias tiga nama "Suparto Soenoko Makrup". Seolah saya sudah menyengaja untuk berangkat ke tanah suci saat saya mengajukan pembuatan paspor dengan alias tiga nama. Tidak tahu persis bahwa di Arab, jamaah wajib memiliki tiga nama. Perjalanan menuju ke sana agak tersendat. Alhamdulillah Slamet tahu jalan menuju Halim dan paham bahwa di sana ada semacam klinik yang melayani calon jamaah haji dan umroh. Tepat jam 9.00 kami sampai di depan klinik layanan vaksinasi tersebut. Dari depan gedung itu terlihat lengang karena saya hanya melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk bercengkrama. Ku telusuri jendela dan pintu kali-kali ada kata "LOKET PENDAFTARAN". Bingung juga karena saya tidak mendapatkan kata tersebut di jendela. Akhirnya saya bertanya pada seseorang yang kebetulan lewat di depan gedung tersebut. Orang itu berseragam Dinas Perhubungan. Penampilannnya necis dengan kacamata bening menghiasi tampilan wajahnya. Saya bertanya di mana pendafataran vaksinasi. Dia menjawab bahwa pendaftaran ada di di belakang gedung ini dan lewat lorong samping kanan. Kuturuti apa penjelasan dia. Begitu saya sampai di selasar belakang gedung tersebut, baru saya melihat kerumunan manusia yang sedang antri mendaftar dan sebagian besar sedang duduk di ruang tunggu. Untunglah saya sudah membawa fotokopi paspor dan pas foto, sehingga tak perlu repot untuk memfotokopi. Saya serahkan pada petugas yang menyediakan formulir pendafataran. Dia anak muda yang agak kurus mengenakan topi hitam tanpa ada tanda pengenal atau seragam. Dia mengenakan jaket lusuh hitam. Area tunggu dan pendaftaran serasa begitu sempit karena yang datang ratusan orang. Alhamdulillaah saya mendapatkan nomor urut 108! Jam 9.20 saya mendapatkan nomor urut ini. Lalu saya mencari tempat duduk yang terletak agak mojok ke belakang. Seorang laki-laki sedang menunggu panggilan kulirik urutan angkanya "08". Saya bertanya pada dia sejak jam berapa hadir di Halim. Dia jawab sejak pukul 5 pagi! Wah..wah...wah.... (bersambung)