Tuesday, August 15, 2006
Agustusan
Memaknai Kembali Kemerdekaan
61 tahun sudah Indonesia merdeka. Gaung dan gempita teriakan “Merdeka Bung!” yang membakar semangat juang pemuda-pemuda Indonesia seakan telah lenyap ditelan usia. Sebagai gantinya hampir setiap tahun perayaan “Agustusan” menjadi ritual nasionalisme reguler yang karikatif dan dekoratif. Perayaan tersebut agaknya dimaksudkan untuk mereka-ulang peristiwa sejarah masa lalu. Agustusan disambut dengan umbul-umbul, bendera merah putih, slametan, parade pawai , upacara bendera dan lomba-lomba rakyat di setiap kampung. Pada saat itu kita seakan larut dalam emosi bahagia menyambut pesta rakyat yang murah meriah. Ironisnya, perjalanan bangsa ini masih saja diwarnai dan dijenuhi oleh banyak persoalan.
Begitu perayaan usai, kembali lagi bangsa ini menatap realitas Indonesia merdeka yang sejatinya belum membebaskan mereka dari belenggu nasib terjajah. Keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan mindset yang tak pernah mau berubah selalu saja menggiring bangsa ini melakukan kecelakaan dan kesalahan sejarah yang berulang-ulang. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Desiderius Erasmus, seorang humanis Belanda yang pernah hidup pada abad ke-16, bahwa apapun dan dimanapun manusia berada, mereka selalu saja diliputi oleh kegetiran hidup. Merenungi nasib bangsa ini seakan memaksa kita untuk merevisi pemahaman kita tentang arti kemerdekaan itu sendiri.
Dibanding 61 tahun yang lalu, Indonesia jelas lebih maju secara fisik. Banyak rumah sangat sederhana dibangun, penggusuran atas nama pembangunan nasional menjadi platform kebijakan publik, hotel berbintang bercecer dimana-mana berhimpit dengan perumahan kumuh, mall-mall yang menggusur pasar tradisional semakin marak, jalan toll antar propinsi yang dijejali mobil berbagai merek semakin jor-joran, dan berbagai kenyataan fisik lainnya sebagai bukti bahwa Indonesia memang berubah. Padahal Stuart Mill (1896:1) pernah menyatakan bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya adalah melindungi manusia dari keculasan para politisi penguasa, sebagaimana dia katakan: “By liberty, was meant protection against the tyranny of the political rulers”. Oleh karena itu ada baiknya kita melihat kembali cita-cita luhur yang pernah digoreskan sebagai cetak biru nasib bangsa Indonesia ke depan.
Memahami Arah Nasib
Deklarasi kemerdekaan Indonesia 61 tahun silam merupakan pijakan awal bangsa ini dalam menentukan nasibnya sendiri. Kemampuan determinasi nasib sendiri adalah keniscayaan sebuah bangsa baru yang sebelumnya terkungkung dalam terali kolonialsme. Cita-cita menjadi bangsa merdeka dan mengatur perikehidupannya sendiri adalah euphoria tak terhingga pada saat itu. Oleh karenanya pernyataan proklamasi merupakan momen penting yang menorehkan cita-cita luhur arah pembangunan bangsa ini berikutnya. Sesaat sebelum Soekarno membacakan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan penuh keyakinan dia katakan, “ Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasibnya dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.”
Adapun arah nasib bangsa ini kemudian disusun secara ideal melalui cita-cita luhurnya sebagaimana tercermin dalam mukadimah Undang-Undang 1945 yang menggariskan empat bidang cita-cita. Antara lain: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan pertama yang berpusat pada perlindungan manusia Indonesia seharusnya lebih ditekankan kepada hak-hak dasar manusia pada umumnya. Tengoklah minimnya perlindungan yang diberikan negara kepada para tenaga kerja kita di beberapa negeri jiran. Kepastian dan kesamaan di hadapan hukum pun masih menyisakan banyak trauma. Seolah-olah hukum sering membela mereka yang berduit. Sedangkan rakyat biasa lebih banyak dimarjinalkan oleh sistem korup yang sudah menggurita. Keutuhan NKRI tidak hanya dipahami melalui konsep teoritis wawasan nusantara belaka. Namun lebih praktis lagi adalah peran negara dalam memandang bumi, udara, dan laut sebagai satu kesatuan hankamrata. Partisipasi negara dan rakyatnya merupakan kolaborasi kokoh untuk mempertahankan keutuhan geografis dan demografis nasional. Hilangnya hasil bumi Indonesia yang diangkut oleh cukong asing ke negeri jiran karena mentalitas korup pejabat lokal dan pusat, lepasnya Sipadan dan Ligitan sebagai akibat lemahnya kemampuan diplomasi kita di mata internasional, pembalakan liar yang melibatkan aktor lama dan masyarakat, dan kehilangan wibawa menangkal interfensi negeri-negeri asing merupakan bukti bahwa perlindungan terhadap rakyat dan kesatuan geografis masih membutuhkan waktu panjang.
Kedua, memajukan kesejahteraan umum adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Amanah kesejahteraan ini tak akan bisa tercapai jika prasyarat adil belum ditegakkan. Adil dan makmur adalah dua hal yang saling berkait karena kemakmuran tak akan bisa diraih tanpa eksistensi keadilan, dan keadilan pun tak bisa dinikmati andaikata tak ada kemakmuran. Aksesibilitas pelayanan publik belum menyentuh kepentingan banyak pihak. Pembangunan hanya diciptakan bagi orang normal, sedangkan mereka yang memiliki keterbatas fisik seakan dinafikan dan ditindas.
Cita-cita berikutnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejarah nasional mencatat bahwa kaum nasionalis pernah berinisiatif untuk berjuang secara intelek. Sekembalinya Syahrir dan Hatta dari Belanda pada awal 1930an dibentuklah sebuah organisasi kepemudaan dengan nama PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) pada Desember 1931. PNI bentukan anyar ini lazim dikenal sebagai PNI baru. Keberadaan organisasi ini menambah sempalan baru setelah adanya PNI lama (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan pada tahun 1927 dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1929. Organisasi nasional Pendidikan Nasional Indonesia ini bertujuan untuk mendidik bangsa ini melalui tiga ranah pendidikan, yakin pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial. Pendidikan politik diproyeksikan agar rakyat memahami hak-hak politiknya. Dengan demikian mereka akan melek hukum dan tata pemerintahan. Pendidikan politik diperlukan untuk mendukung pemerintahan baru yang berbasis pada demokrasi dan nasionalisme. Rakyat harus paham bahwa pemerintah pada dasarnya tunduk pada kehendak rakyatnya. Bukan sebaliknya, rakyat malah tunduk atas tirani penguasa.
Pendidikan ekonomi adalah usaha membangkitkan semangat wirausaha bangsa Indonesia. Hatta memandang bahwa ekonomi kerakyatan yang bersumbu pada koletivisme adalah yang paling pas untuk Indonesia baru. Oleh karena itulah Hatta menyokong pendirian koperasi-koperasi rakyat sebagai elemen dasar pendidikan ekonomi. Adapun pendidikan sosial lebih diarahkan kepada kemampuan bangsa ini untuk membangun kerukunan dalam keragaman. Di samping itu pendidikan sosial dimaksudkan agar bangsa ini mampu mengahadapi berbagai macam cobaan dan musibah alam. Pada intinya, pendidikan sosial bertujuan untuk memperkokoh karakter bangsa Indonesia (character building). Konflik komunal dan rasial dalam rentang kehidupan sosial kita yang berlarut-larut terjadi merupakan kelemahan tak terbantahkan dari rangka sosial bangsa ini. Hal ini sebagai akibat gagalnya pendidikan sosial yang berbasis pada kebhinekaan dalam bingkai kerukunan.
Keempat, keikutsertaan Indonesia dalam kancah internasional secara aktif merupakan langkah instrumental agar Indonesia diakui di tengah-tengah bangsa-bangsa dunia lainnya. Sebagai bangsa yang pernah menggoreskan nasibnya sendiri melalui perjuangan berdarah-darah selayaknya Indonesia menunjukan “gigi”-nya kepada bangsa-bangsa lain. Bangsa ini harus memiliki kemauan dan kemampuan keras untuk maju. Anak bangsa yang bertebar menjadi duta-duta bangsa karena prestasinya adalah aset pembangunan yang tak boleh disia-siakan. Kita perlu optimis untuk menciptakan sebuah loncatan pembangunan demi terciptanya Indonesia merdeka yang lebih bermartabat. Kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dari bangsa lain, namun lebih didorong oleh keinginan merubah nasib, keikhlasan tanpa pamrih dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Rekonstruksi kemerdekaan
Jika tidak ditataulang konstruksi kemerdekaan nasional ini, maka generasi yang akan dating tidak akan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Banyak mereka-mereka yang terbiasa dengan gaya hidup hedonik yang tercerabut dari akar budaya luhur tanah air sendiri. Sementara itu tak sedikit yang merasa malu untuk mengakui dirinya sebagai orang Indonesia. Konsep kebangsaan dapat lepas dari kurungan imajinasi kolektif andaikata bukti-bukti peradaban dan kemajuan faktual bisa dibuktikan. Tidak mustahil aktualisasi produk-produk pembangunan yang dipersembahkan kepada kepentingan rakyat akan membangkitkan semangat keindonesiaan yang semakin luntur ini.
Pemahaman kita tentang kemerdekaan hendaknya tidak sekedar muncul pada saat Agustusan saja. Alangkah arifnya kalau bangsa ini bisa memahami makna kemerdekaan yang lebih luas dibanding sekedar peringatan tujuh-belas Agustusan. Mengisi kemerdekaan jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan mengisi acara-acara seremonial belaka. Kita patut mendesain Indonesia dengan rekonstruksi yang lebih mengedepankan cita-cita luhur di atas. Indonesia yang kaya sumber alam, budaya, nilai dan tradisi hanya akan bermanfaat jika semua elemen bangsa ini mampu bahu membahu menuju cita-cita luhur bersama. Kepentingan individu dan golongan hendaknya lebur ketika kita menyadari bahwa bangsa ini harus bergerak menuju nasib gemilangnya kalau tak ingin terus terpuruk digilas roda zaman. Wariskan kemerdekaan ini dengan penuh semangat juang tanpa henti kepada anak cucu kita. Indonesia maju sejatinya adalah cita-cita kita bersama.
Melbourne, 15 Agustus 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)