Sunday, December 30, 2007

Tahun baru 2008

Kaget
Gerbang pintu tahun baru menyentak
Dia mendekat
Tahun lama mendorongku
tersungkur aku di hadapan gerbang pintu itu
tahun lama siap menendangku
meninggalkanku dalam risau

Aku belum membersihkan halaman hidupku
Masih kubiarkan ceceran salah
dan noda-noda dosa menghias dan membusuk
dalam diriku
Aku belum siap menyambut tahun baru
namun dalam takdir aku tak kuasa
digilas waktu Sang Maha
Hanya pasrah dalam dekap rahmat-Nya

Semoga di ujung tahun lama
aku masih sempat membersihkan halaman hidupku
dan membuka gerbang tahun baru
dengan senyum cerah
dan jiwa gembira
karena aku ingin mengukir indah
dalam setiap gurat waktu yang kuhirup
dalam lembar tahun baru esok.

Melborune, 30 Desember 2007

Tuesday, December 25, 2007

Selamat Datang Rasul

Sebuah sentuhan nasyid yang dibawakan oleh Mys Shalash mengenai kedatangan Rasul ke Madinah. Pujian terhadap kota Madinah pun disentuh dengan cukup syahdu. Eid Mubarak!



Thursday, December 20, 2007

Residents uneasy amid opposition to Muslim school

Residents uneasy amid opposition to Muslim school

By Tom Iggulden

Posted Thu Dec 20, 2007 9:08pm AEDT

Islamic students

Muslim education: Students at another Islamic school. (AAP Image: Alan Porritt)

Tension is mounting in Camden in Sydney's far west as people take sides on a proposal to build a $19 million Muslim school in the area.

The riot squad was reportedly on hand at a public meeting last night. A decision on the school is still more than two months away.

The unease in the area has left locals wondering whether Camden will suffer the same fate as the beachside suburb of Cronulla, where riots broke out two years ago.

Islamic schools aren't exactly a new idea in Sydney. The Malek Fahd Islamic school, for example, was established in 1989 in Greenacre near Bankstown in Sydney's west with just 87 children. Now it has 1,700 students.

When the New South Wales HSC results were released yesterday, the school's year 12 students came in ninth in the state.

Not that any of that is likely to convince many in Camden to support a new Islamic school there, if comments from some gathered outside last night's meeting are any guide.

"I said it's not about racism, it's about doing the right thing for the community," one local said.

"If we go down to Lakemba, Bankstown... you walk through there, mate, they despise you, they don't want to talk to you."

Not everyone in Camden is against the school. But one young man says public support for it is being stifled by the council, which he says blocked his plans for a peaceful demonstration on the weekend.

"I basically just wanted to set up a store and talk about racial harmony in the area, considering the amount of unrest that we have at the moment," he said.

"Basically, I was told, due to the issue of the Muslim school, that I wasn't to go down at all, and if I was, I would be told to leave straight away and basically told that I shouldn't be causing trouble within Camden."

The young man asked not to be named for fear of retribution from others of the local community.

"There's eight Catholic schools, there's three Christian schools within the area, and if you're talking about one Muslim school, I don't see why there's so much unrest. It's quite confronting, really," he said.

He says it's possible the community anger will erupt into violence.

"If somebody stood up and said, 'Look, pro-Muslims, let's go for the Muslims,' I wouldn't be entirely surprised if something on a smaller basis of like the Cronulla riots erupted," he said.

"Because people have so much emotional relation to this project, that, like I said, it is confronting and a little bit scary."

Politicians up in arms

Others have seen a political opportunity in the growing local resistance to the project.

Charlie Lynn is a member of the NSW Upper House and he spoke at last night's meeting against the proposed school, as he explained to Macquarie radio earlier today.

"This is an attempt by social engineers to inflict culture shock, if you like, on Camden," he said.

"There are currently, I think, around 100 Islamic families in Camden, and they want to build the school for 1,200, plus 200 teachers.

"Now this is just being imposed on us without an discussion at all. This is what they're objecting about and the other thing is that the location of the school is totally in breach of the planning requirements for a school of this type."

Mr Lynn is not the only politician publicly opposing the school.

Another NSW Upper House MP, the Reverend Fred Nile, quoted from the Koran last night and accused Muslims of hating Christians.

That brought return fire today from the peak Muslim group, the Australian Federation of Islamic Councils, accusing Reverend Nile of fuelling misconceptions about the school's intentions.

Education the key

The federation's president, Iqbal Patel, happens to be on the board of the Malek Fahd school.

"If the concern is about the behaviour of Muslims in Australia, then the only way to improve that behaviour is to educate the children in well-controlled environment, mainly under the auspices of various state education departments," he said.

"Then this is exactly what the community, the Islamic community behind this school are trying to do, I believe, in Camden."

Despite the 900 or so people at last night's meeting, a spokesman for the Qur'anic Society behind the school proposal, Jeremy Bingham, says he thinks most people in Camden aren't against the new school.

"I think what you've got is, number one, a relatively small group who are anxious about something that's unusual and different," he said.

"I think you've got a group of people who don't want this big growth of Camden that's going to happen, whether the school happens or not.

"And it seems as though we have a group of Christians who don't yet know that the crusades are over."

Source: http://www.abc.net.au/news/stories/2007/12/20/2124578.htm

Tuesday, December 18, 2007

Yu Timah

"YU TIMAH" Dicuplik dari RESONANSI “ Republika, Desember 2006, oleh Ahmad Tohari

Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.

Usia Yu Timah sekitar 50-an, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Menginjak remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran PRT. Dia kembali ke kampung. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Anak itu pun harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan PRT dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untunglah di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah. Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di BPR syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya mau beli kambing qurban, Pak. Kalau 600 ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing qurban.
''Iya, Yu. Senin lusa uang Yu Timah akan diberikan sebesar 600 ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berqurban. Yu Timah bahkan wajib menerima qurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing qurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berqurban. Selama ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging qurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran qurban yang diwariskan Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Duhai Yu Timah. Kamu yang belum naik haji, atau malah tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berqurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing qurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Thursday, December 13, 2007

Kasih Ibu

Pernahkah kita berfikir sejenak tentang ibu?

The Voice Within - Christina Aguilera -



Young girl, don't cry
I'll be right here when your world starts to fall
Young girl, it's all right
Your tears will dry, you'll soon be free to fly

When you're safe inside your room you tend to dream
Of a place where nothing's harder than it seems
No one ever wants or bothers to explain
Of the heartache life can bring and what it means

When there's no one else
Look inside yourself
Like your oldest friend
Just trust the voice within
Then you'll find the strength
That will guide your way
If you will learn to begin
To trust the voice within

Young girl, don't hide
You'll never change if you just run away
Young girl, just hold tight
And soon you're gonna see your brighter day

Now in a world where innocence is quickly claimed
It's so hard to stand your ground when you're so afraid
No one reaches out a hand for you to hold
When you're lost outside look inside to your soul

When there's no one else
Look inside yourself
Like your oldest friend
Just trust the voice within
Then you'll find the strength
That will guide your way
If you will learn to begin
To trust the voice within

Yeah...
Life is a journey
It can take you anywhere you choose to go
As long as you're learning
You'll find all you'll ever need to know

You'll make it
You'll make it
Just don't go forsaking yourself
No one can stop you
You know that I'm talking to you

When there's no one else
Look inside yourself
Like your oldest friend
Just trust the voice within
Then you'll find the strength
That will guide your way
If you will learn to begin
To trust the voice within

Young girl don't cry
I'll be right here when your world starts to fall

Tuesday, December 11, 2007

From Iran’s Fiery Leader, a Slightly Tamer Blog

Tehran Journal
Newsha Tavakolian/Polaris, for The New York Times

Mohammad Ali Abtahi, a former vice president who updates his own blog daily, is not impressed with Mr. Ahmadinejad's blog, calling the president’s site “just a formality.”

Published: December 11, 2007

TEHRAN, Dec. 10 — Mahmoud Ahmadinejad, president of Iran, is not the first name that comes to mind when thinking of net surfers and instant messages. Yet, it turns out, the man is a blogger.

Ben Curtis/Associated Press

Mahmoud Ahmadinejad has a blog.

Equally surprising for a leader known for a kind of thundering public presence, his blog is not especially tough. He condemns Washington’s policies, but writes infrequently and more ponderously than in his confrontational speeches. Yet the reader comments posted alongside his own seem far less censored and harsher than one might expect.

“I think you are an evil leader,” one comment posted by an American reader said. “Freedom and tolerance are necessities in this day and age, and the fact that your country kills intellectuals, journalists, minorities is horrible and deeply disturbing.”

Another reader said his claim at Columbia University in September that there were no gays in Iran was absurd and called his domestic policies “brutish.” Still another wrote: “Shut up please, would you? I get headaches reading your nonsense stuff.”

Those comments run along with supportive ones, including postings that seem to refer to the new American intelligence estimate that Iran is not actively pursuing a nuclear weapon, something Mr. Ahmadinejad had repeatedly asserted.

“I knew you were telling the truth,” wrote a Canadian.

The exchanges are available at ahmadinejad.ir in Persian, Arabic, English and French. The president has been keeping the blog for more than a year and promises to spend 15 minutes a week updating it.

“He has a very keen understanding of publicity,” said Karim Arghandehpour, a political scientist and journalist in Tehran. “His Web log shows how he believes in modern publicity instruments and wants to use them.”

In his most recent piece, Mr. Ahmadinejad has provided a “Guideline for Islamic Governance” and writes about how an official should consider his duties as his “responsibilities before God” to help the people. “It is in this view that the smile of an orphan is more important than the contentment of greedy rulers,” he writes.

There is a political irony to Mr. Ahmadinejad’s blogging, since other Iranian bloggers, including reporters who worked for news Web sites, came under more pressure after his election. Hundreds of Web sites and blogs that were critical of the government have been blocked. Censorship has been so wide that the president’s blog was once blocked mistakenly along with Google for a day.

In fact, blogging has become common among former officials, especially reformist politicians who do not have a platform to express their ideas.

The first official who became a blogger was Mohammad Ali Abtahi, a vice president to former President Mohammad Khatami. Mr. Abtahi has remained an active blogger, updating his Web site every day for the past four years.

“I thought it was exciting when the president first launched his blog,” Mr. Abtahi said. “But it looks like it is just a formality. The computer is one of the many items on his desk which he does not use very often.”

However, the president’s Web log highlights the unusual techniques he uses, like the trucks that follow him on provincial trips for collecting people’s letters to him appealing for help, to promote his populist agenda.

Mr. Ahmadinejad has tried to touch on most issues that concern him. He has written about freedom in Iran, referring to the protest of students against him a year ago at Amir Kabir University in Tehran as an example of its existence in Iran. “It was a joyous feeling to see a small group insult the elected president of people fearlessly amid a majority,” he wrote, without referring to the fate of the students, many of whom are in prison now.

In a letter to an American mother whose son was killed in Iraq, he calls the United States a “warmonger” but he says he respects all people of the world, including American people. In another article, he condemns the fingerprinting of passengers, like Iranians, by American customs officials and says it has caused hatred toward the American government.

Although comments posted on the Web log are screened, the ones on the English version are more hostile than the ones in Persian.

The ones in Persian express more sympathy and admiration for the president, but a little sarcasm has been allowed. Ibrahim Sadegh-al “thanked” the president for creating more jobs with economic policies that have led to a black market for goods. He said there were only two gas stations in his town before gasoline was rationed in late June.

“One of the two was always closed back then, but now we have 3,000 people selling petrol,” he wrote, referring to people selling their rations in the black market.

In his autobiography, Mr. Ahmadinejad writes about his childhood in a small town; the poverty of his family; excessive spending of the previous government, which put further pressure on the poor; his love for the late Ayatollah Khomeini, the founder of the revolution; and his memories of the Iran-Iraq war. He portrays himself as a pious, studious young man who also had to work as a teenager because of the poverty of his family.

The blog has been hacked several times. In August, a group called Yahoo Underground hacked his site and posted a sarcastic message saying, “We thank you on behalf of all Iranian hackers for defending the right of Iranian people against all the countries in the world.”

“We hope that you defend the irrefutable right of Iranian people to nuclear energy until your last breath,” it added.

Source: http://www.nytimes.com/2007/12/11/world/asia/11blog.html?ref=world

Monday, December 10, 2007

Perjalanan Seorang Salik (2)

Dieke yang berjiwa berandal, bandel dan pantang menyerah terus saja mencoba untuk kembali lagi ke tanah kebebasan, Australia. Dengan ide lamanya, dia pun tak kapok untuk membuat paspor baru dengan nama baru yang lain untuk mendapatkan visa turis. Anehnya, pada waktu itu, dia masih saja dihadiahi visa untuk datang ke Benua Kanguru ini. Pada kali ketiga ini dia juga datang sebagai turis. Untuk “menyelamatkan” nasibnya agar tidak lagi ditangkap oleh petugas imigrasi, dia menikahi seorang perempuan bule non-Muslim. Karena tidak ada pekerjaan yang dirasakan cocok dengan jiwanya, Dieke nekat bekerja menantang nyawa sebagai pengedar obat terlarang disamping pemain bas pada sebuah band “Happiness” yang dibentuknya bersama beberapa kawan sesama “druggist” lainnya. Yah, “happiness”, sebuah kata yang mewakili impian kaum “druggist” dan pemuja kebebasan di tanah rantau; kebebasan dan kebahagiaan semu yang hanya gemerlap bak embun pagi yang mudah menguap di kala mentari membiaskan hangatnya.

Untuk menjaga pasokan heroin dan obat kharam lainnya, dia terbiasa melakukan perjalanan ke berbagai kota tambang emas bagi kaum pemadat, semisal Nepal atau Bangkok. Dalam satu tahun dia terbiasa melakukan perjalanan dua atau tiga kali sesuai dengan prinsip “supply and demand” dalam dunia pasar. Selama hamper 30 tahun dia bergelut dengan dunia kelam itu. Dunia yang dipandangnya sebagai sensasi kebahagiaan. Tiada hari tanpa drug dan tiada hari tanpa jual menjual barang laknat itu. Pekerjaan kharam ini dia jalani dengan sepenuh hati dan dedikasi. Dia mengakui bahwa dia tak berfikir tentang dosa dan Tuhan. Yang ada dalam pikirannya adalah mendapatkan duit banyak dan atmosphere berfoya-foya tanpa lelah.

Dia masih ingat di tahun 1996, kali pertama dia berinisiatif membuat grup musik “Happiness”. Dia yang memiliki talenta musik merekrut beberapa kawan “seperjuangannya” untuk mengikuti lomba band di Melbourne. Kebetulan saat itu grup “happiness” menjadi juara. Kemenangan grup musiknya merupakan babak baru dalam sejarah kehidupan Dieke untuk melebarkan sayap sebagai pengedar obat terlarang sekaligus terjun lebih dalam lagi dalam lembah dosa. Bermodal kemenangan itu, ia datangi sebuah night club di pojokan kota Melbourne. Kepada si pemilik bar, dia sesumbar bahwa andaikata grup bandnya diperbolehkan manggung di dalam bar tersebut, maka dia bisa menjamin untuk menarik banyak pelanggan. Dieke yakin bahwa dia punya banyak kawan yang bisa diundang untuk sekedar “silaturahim” di dalam bar tersebut. Dia bangga memiliki pasukan jahiliyah yang siap berpesta miras dan obat terlarang. Si pemilik bar setuju dan mengizinkan grup band Happiness manggung semalam suntuk hingga jam 5 pagi. Ternyata sesumbar Dieke terbukti, pada hari pertama, jumlah pengunjung bar sekitar 30 orang, dan pada hari ketiga, dia melihat pengunjung bar lebih dari 150 orang. Sengaja dia pasang seorang perempuan seksi sebagai penjaga pintu bar. Di situlah Dieke membangun jaringan peredaran obat terlarang melalui para pelanggan bar. Tidak hanya itu, dia minta kompensasi 10% dari keuntungan bar di saat dia dan grup bandnya manggung. Hari spesial dia untuk unjuk kebolehan membetot dawai gitar basnya adalah Jum’at malam dan Sabtu malam. Itulah lapangan nafkah seorang Dieke yang mempertaruhkan nasib di negeri kebebasan. Bermodalkan surat dokter sebagai pecandu narkoba, Dieke beruntung mendapatkan santunan hidup dari pemerintah Victoria. Seingat dia, dia tak memiliki pekerjaan legal apapun selain musik, madat, madon, dan maling.

*****

Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepalanya ketika teringat masa jahiliyah dalam kehidupannya. “Andai saja aku mati pada saat itu ya Allah…”, katanya lirih sambil pandangannya menerawang menatap langit. Semburat penyesalan memang memancar jelas dari sinar wajahnya. Kemudian dia bercerita tentang awal mulanya dia bertobat dan meninggalkan dunia kelamnya itu. Suatu hari di pertengahan tahun 2000, Dieke bermaksud menengok keluarganya di Indonesia. Di tanah airnya dia menyempatkan bertandang ke rumah sahabat dekatnya, Indra, yang saat itu mengelola sebuah penginapan di tempat wisata Bukit Lawang di lembah gunung Leuser, Medan. Indra adalah kawan berbagi kemabukan dan dunia drug di Melbourne. Namun betapa kagetnya ketika dia mengunjungi kawannya itu. Indra sudah berubah. Indra sudah meninggalkan dunia gelapnya. Sekarang sahabatnya itu telah memeluk Islam yang kaaffah dan mencoba kembali ke jalan-Nya sambil mengelola sebuah cottage di tempat wisata tersebut. Tak zeperti biasanya, Dieke tak menemui botol-botol minuman kharam di penginapan itu. Sungguh berbanding terbalik dibanding sosok Indra beberapa tahun yang lampau pikirnya. Kebetulan saat itu, Indra sedang kedatangan beberapa tamu, serombongan jamaah tabligh yang menginap di penginapannya. Saat dia berkunjung ke penginapan itu, Dieke masih bergaya bak Bob Marley (1945-1981), seorang pemusik asal Jamaica. Dieke terbiasa memakai tiga anting di telinga kirinya dan berambut panjang sepinggul. Preman choi!!!

Tak disangka, salah seorang anggota jamaah tabligh itu mendekati dirinya. “Apakah Anda tidak ingin kembali ke jalan Allah?”. Dieke terkejut, “Maksud Anda apa?”. Orang berjubah dan berjanggut itu melanjutkan, “ucapkanlah la ilaha illal lah, maka dosa Anda terampuni dan Anda akan masuk surga Allah SWT.”. Dieke terdiam dan mendengarkan lagi kata-kata orang tadi. Dieke tak tahu mengapa dia bisa membiarkan orang asing ini menasihati dirinya. “Andai Anda mau, ikutilah kami untuk berkeliling ke Aceh melihat saudara-saudara Muslim kita. Insya Allah hati Anda akan tenang, Kalau mau besok kita pergi dari Medan menuju Aceh.” Orang itu terus berbicara. Dieke merasa ada tantangan yang harus dilakukan, “OK, saya ingin tahu saja. Saya ikut Anda dan rombongan besok ke Aceh.” Dieke pun heran mengapa dia mau saja diajak berkeliling ke Aceh? Selama perjalanan, Dieke ditemani Indra. Sejak saat itulah Dieke mulai belajar Islam sedikit demi sedikit dan mendengarkan “tasykil” (ceramah) para maulana. Dia ikuti perjalanan dakwah dari mulia tiga hari hingga 40 hari. Dia bercerita bahwa dia pernah mengunjungi ijtima’ (perkumpulan) besar anggota jama’ah tabligh di Nizamuddin, New Delhi hingga dua kali.

Dieke merasa bersyukur bahwa ia telah mendapatkan nur Allah kembali. Dia bercita-cita hendaknya umat Islam bisa bersatu menancapkan kalimat Allah yang maha mulia. Dia berpesan agar dalam percakapan janganlah orang berbicara tentang khilafiah (perbedaan mazhab), politik, dan dunia. Berbicaralah tentang keagungan Allah dan keimanan melalui jalan hikmah. Membawa seseorang menuju manisnya iman, baginya, tak harus melalui jalan debat dan pemaksaan. Ia yakin bahwa mengajak orang sholat dengan dua kata, “Shalat yuk” adalah hikmah tanpa harus melukai perasaan orang yang diajak. Pandangan Dieke ini merupakan buah dari perjalanan spiritualnya. Selama bergaul dengan jama’ah tabligh, Dieke merasa bahwa mereka sangat memanusiakannya. Dia tak pernah dihina dan dikucilkan meski kali pertama dia bergabung dengan mereka, dia masih berpenampilan preman yang masih nol pemahaman ibadah dan keislamannya. Ada lagi yang membuatnya yakin bahwa do'a ibu lah yang membuatnya dia bisa menerima Islam kembali. Dia berpendapat, andaikata sang bunda tak pernah mendo'akan dia dalam setiap shalatnya, maka dia mungkin tak akan lagi mendengar alun panggilan Allah. Semoga saja kita bisa mereguk manisnya iman dan takwa hingga nafas terakhir lepas dari badan kita. Aamiin.

TAMAT

Melbourne, 10 Desember 2007

Sunday, December 09, 2007

Perjalanan Seorang Salik (1)

Melbourne, Ahad Shubuh, 9 Desember 2007.

Pendar sinar mentari masih redup tertutup awan tipis. Seolah jemari surya enggan menyingkap tabir waktu di ujung fajar. Kelopak baru kehidupan mulai mekar menebar pesona di sebuah pagi di pucuk bulan Desember. Cicit burung masih terdengar satu dua di atas atap dan dahan pepohonan di sekitar masjid Westall seakan menyapa hangat kumpulan hamba yang sedang mengais ridlo-Nya. Pengajian bakda Shubuh terasa berbeda dibanding hari biasanya. Jamaah Shalat Tahajjud dan Shalat Shubuh nampak lebih semarak memakmurkan rumah Allah yang suci ini dibanding hari Ahad lainnya. Saat itu aku hitung sekitar 35 orang menghadiri kegiatan yang telah berlangsung sejak tahun 2004 ini. Alhamdulillah, gumamku. Atas pertolongan Allah pula, pengajian fajar ini terus saja berlangsung. Semoga hanya keikhlasan untuk mencari ridlo-Nya lah yang bisa mendorong kami memakmurkan perut dan jiwa masjid.

Di pagi itu, ada pemandangan lain yang menyita perhatianku. Mataku tertumbuk pada sosok kurus yang berkerudungkan sorban Arafat. Janggutnya panjang memutih dan air mukanya menampakkan kebahagiaan batin seorang Muslim. Aku taksir usianya sekitar 50 tahunan. Dia duduk bersilah di baris sebelah kiriku. Mukanya tertunduk dan nampak tekun mendengarkan uraian mengenai kematian yang diambil dari Kitab "Tanbîh al-Ghâfilîn" karya seorang ulama sufi abad ke 10 dari Samarkand, Abu Layts. Agar jamaah yang lain tahu siapa yang baru hadir dalam pertemuan itu, aku meminta Pak Ayman memperkenalkan “anggota baru” ini kepada para jama’ah. Pak Ayman memperkenalkan bahwa kawannya ini bernama Rijal, yang biasa disapa Dieke asal Bandung.

Selepas pengajian, aku mencoba mendekatinya dan bertanya tentang ihwalnya. Aku salami dia dan memperkenalkan diriku. Kemudian dia memperkenalkan dirinya dengan nama Dieke Rijal. Tapi saat itu dia sudah memiliki nama “Islamnya”, yakni Muhammad Rijali. Ada kebahagiaan ketika dia menceritakan siapa dirinya, terutama ketika dia tak henti-hentinya bersyukur atas kesembuhan yang dia peroleh. Dia bercerita tentang penyakit kanker limpa yang dideritanya selama hampir setengah tahun lamanya semenjak Januari 2007. Asal muasalnya, menurut dia, penyakitnya itu baru diketahui ketika dia melakukan olah raga sit-up. Ketika dia sedang melakukan gerakan sit-up, tiba-tiba dia merasakan kram pada perutnya yang luar biasa. Seorang kawannya, Indra, menduga bahwa hal itu terjadi karena Dieke kurang melakukan pemanasan sebelum bersit-up. Tak dinyana dan tak diduga, ketika Dieke pergi ke dokter, dokter mendiagnosa adanya kanker limpa yang berbahaya. Mendengar hal itu, Dieke hanya pasrah meski dia tak percaya dengan apa yang dia dengar itu.

Selang beberapa lama kemudian dia merasakan tubuhnya semakin lemas dan semakin kurus. Ada rasa sakit yang menusuk di dalam perutnya yang terus menerus menghujam. Dokter memutuskan agar Dieke harus menjalankan operasi penyembuhan kanker. Selama sakitnya, Dieke telah menjalani tiga kali operasi dan beberapa terapi kimia dan nuklir untuk penyembuhan kanker yang dideritanya. Ntah tak terhitung berapa banyak injeksi obat dan treatment kimiawi yang bertubi-tubi bersarang di tubuhnya ketika dia merasakan sakit yang luar biasa itu. Dalam bulan ke enam, dia merasakan bahwa badannya sudah tak kuat lagi menopang penyakit yang dideritanya. Dalam pikirannya sang malaikat maut seolah sudah teramat dekat hendak menjemput ruhnya ke alam baka. Lintas kepasrahan membawakan rasa rindu kepada tanah kelahirannya. Dia hanya berharap bahwa dia bisa menghembuskan nafas terakhirnya dan dikubur di tanah kelahirannya, Indonesia. Cinta tanah air bagi seorang perantau puluhan tahun semacam Dieke adalah bukti bahwa ikatan emosional seseorang dengan kampung halamannya adalah nyata.

Dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia meskipun dalam keadaan sakit dan harus ditopang kursi roda sekalipun. Dia sudah pasrah bahwa dalam benaknya kematian adalah yang terdekat dari segala sesuatu. Tiada jalan yang akan ditempuh dalam lorong hidup ini kecuali berakhir pada terminal hakiki, yakni maut. Dia berfikir bahwa kepulangannya ke Indonesia hanyalah untuk mengantarkan nyawa seorang pendosa. Di Jakarta dia bertemu sahabat lamanya, Bangun Sugito alias Gito Rollies, mantan penyanyi rok terkenal di Indonesia yang sudah bertobat. Gito menyarankan agar dia meminum jinten hitam dan madu. Gito bilang bahwa jinten hitam atau dalam bahasa Arabnya "khabbah sauda" adalah obat dari segala penyakit, apalagi kalau dicampur dengan madu. Dieke mengikuti saran Gito yang saat itu juga lagi menderita kanker getah bening. Mukjizat itupun terjadi. Hanya dalam waktu tiga minggu, Dieke merasa ada perobahan setelah meminum cairan khabbah sauda dan madu. Tubuhnya kembali normal dan dia bisa tegak berdiri dan berjalan. Padahal sebelumnya kaki dan tangan kanannya sempat lumpuh total. Hanya Allah saja yang tahu mengapa Dia memberikan kesembuhan atas penyakitnya itu. Dieke merasa bahwa Allah masih memberinya waktu untuk menebus semua dosa-dosanya yang terlah menggunung. Ketika dia merasa bahwa kondisi tubuhnya kian membaik, Dieke balik lagi ke Melbourne. Ketika berjumpa dengan dokter langgangannya, doktertersebut terheran-heran dengan kondisi kesehatannya yang maju pesat. Namun Dieke tak ingin bercerita tentang khabbah sauda dan madu sebagai media penyembuh penyakitnya. Dia khawatir kalau dokter di Melbourne tidak pernah akan mudah percaya terhadap terapi itu.

*****

Aku semakin ingin tahu tentang hal ikhwal dia. Di sela-sela pembicaraannya yang sarat nasihat hidup. Dia membuka kisah hidupnya yang berawal ketika dia baru berusia 21 tahun. Di saat usia belia itu, dia sudah memutuskan untuk berhijrah seorang diri ke Negeri Kanguru pada pertengahan tahun 1973. Kota yang dipilihnya adalah kota Melbourne. Dia menggunakan visa turis untuk datang ke Australia dari Jakarta. Kedatangan dia sebenarnya bukan untuk menjadi turis. Dia hanya ingin tinggal di Australia dan menikmati kebebasan sebagai anak muda yang mencari petualangan hidup dan pendefinisian jati diri. Merasa betah di Australia, Diekepun tinggal berlama-lama. Tak terasa visa turis pun habis masa berlakunya. Meskipun demikian, dia tak ingin pulang ke Indonesia, bahkan ingin menikmati status sebagai penghuni kharam. Akibatnya, selama beberapa tahun dia berkeliaran menjadi "buron" imigrasi di Melbourne. Sepandai pandai tikus bersembunyi, akhirnya bertemu gebuk dan perangkap. Pihak imigrasi Melbourne berhasil menangkapnya di awal tahun 1986. Ketika akan dideportasi, dia masih ingat kata-kata yang dia lontarkan kepada petugas imigrasi, “I will come back!”. Si petugas bilang, “Do it if you can!”.

Janji Dieke terbukti bahwa selang setahun berikutnya, dia datang lagi ke Melbourne dengan paspor baru sekaligus nama baru. Dieke pun melenggang masuk sebagai turis untuk kali kedua. Lagi-lagi dia ingin berlama-lama menikmati udara bebas di negeri kanguru tanpa peduli terhadap dokumen resmi perjalananya. Akibatnya, nasib sial terpaksa dia alami lagi untuk kali kedua sebagai konsekuensi menjadi pendatang kharam. Selang beberapa lama kemudian, Dieke pun tertangkap lagi oleh petugas imigrasi dan dideportasi ke Jakarta. Lagi-lagi Dieke berujar kepada petugas imigrasi yang sudah mengenalinya, “I will be back!!”. Si petugas dengan tak acuh menjawab, “Do it if you can!”.

BERSAMBUNG...

Melbourne, 10 desember 2007

Wednesday, December 05, 2007

Cinta Indonesia

Meski perasaan sebagai orang Indonesia ada dalam ruang imajiner kita, namun setidaknya kita perlu menyatakan bahwa imajinasi kita tentang Indonesia tak akan hilang meski tubuh kasar kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hal yang paling menyedihkan bagi bangsa Indonesia adalah ketika anak cucu kita sudah tak ingat lagi tentang Indonesia karena kita secara sengaja menghapus imajinasi itu. Kita mengubur Indonesia melalui ketidakpercayaan diri kita tentang Indonesia. Untuk menjaga agar Indonesia dan keindonesiaan tetap terpatri dalam sanubari anak bangsa, maka hidupkan terus api nasionalisme dalam jiwa kita. Wariskan kobaran api itu itu kepada anak-anak kita, generasi penerus bangsa. Api itu tak akan padam bila dibentengi semangat bersatu dalam kebhinekaan dan bhineka dalam kesatuan.









=======
Semoga Indonesia akan tetap jaya dan kokoh tegak berdiri di atas jantung kebanggaan manusia Indonesia.

Melbourne, 6 Desember 2007

Tuesday, December 04, 2007

Pondok Pesantren



Pondok Pesantren sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia ternyata mampu menjaga eksistensinya.






Banyak perubahan yang merefleksikan watak akomodatif pesantren atas berbagia perubahan zaman. Meskipun demikian, nilai-nilai lama pesantren tetap dipertahankan sebagai bentuk kemandirian dan kepercayaan diri institusi ini.

Hurt by Christina Aguilera

Hurt

Seems like it was yesterday when I saw your face
You told me how proud you were, but I walked away
If only I knew what I know today
Ooh, ooh

I would hold you in my arms
I would take the pain away
Thank you for all you've done
Forgive all your mistakes
There's nothing I wouldn't do
To hear your voice again
Sometimes I wanna call you
But I know you won't be there

Ohh I'm sorry for blaming you
For everything I just couldn't do
And I've hurt myself by hurting you

Some days I feel broke inside but I won't admit
Sometimes I just wanna hide 'cause it's you I miss
And it's so hard to say goodbye
When it comes to this, oooh

Would you tell me I was wrong?
Would you help me understand?
Are you looking down upon me?
Are you proud of who I am?

There's nothing I wouldn't do
To have just one more chance
To look into your eyes
And see you looking back

Ohh I'm sorry for blaming you
For everything I just couldn't do
And I've hurt myself, ohh

If I had just one more day
I would tell you how much that I've missed you
Since you've been away
Ooh, it's dangerous
It's so out of line
To try and turn back time

I'm sorry for blaming you
For everything I just couldn't do
And I've hurt myself by hurting you

Watch the video at : here

Monday, December 03, 2007

Cartoons and the globalisation of protests

By Paul Reynolds
World Affairs correspondent, BBC News website

The spread of protests against the cartoons of Muhammad is another manifestation of globalisation.

Boy protester at London demonstration
Even moderates are angry at what they see as an attack on Islam

Just as Dr Edward Lorenz of the Massachusetts Institute of Technology asked in 1972: "Does the flap of a butterfly's wings in Brazil set off a tornado in Texas?" (he originally mentioned a seagull's wings, but a butterfly is so much more poetic), so these days cartoons in an obscure newspaper have set off demonstrations which cross continents.

The phenomenon is fuelled by the growth of the Islamic influence in Western societies, the sense of Islamic anger not just at the cartoons but at world events and the precarious nature of relations between the West and the Muslim world.

Then and now

Compare the recent crisis with what happened to the author Salman Rushdie in 1989.

Then, the protests were directed largely at one person.

Now they are directed at a whole country, in this case Denmark, and more than that, against large parts of Western society and its traditions.

Equally, the cartoons are seen as attacks on Islam itself, not just by an author but by a society.

And in places, the issue has been exploited for local purposes.

In northern Nigeria, the protests went beyond the original issue. They developed into anti-Christian riots, as anger at the drawings was exploited in a part of the world where Islam from across the Sahara meets Christianity which has moved up from the missionary-influenced coast.

Teachings questioned

Rushdie's sin in The Satanic Verses was to exploit some notorious lines in an account of the Prophet's life which told how Muhammad was tempted by Satan to suggest that three goddesses worshipped in Mecca might find a place in the new religion he was proclaiming. These are the "Satanic Verses" themselves.

They are absolutely rejected by Islamic tradition. Rushdie, however, used them to construct a fable in which he questioned the whole basis of Muhammad's teachings.

Placard at London demonstration
Radical groups are trying to exploit the conflict

It was on 14 February 1989 that the then Supreme Leader of Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini proclaimed: "The author of the book entitled The Satanic Verses, which has been compiled, printed, and published in opposition to Islam, the Prophet and the Koran, as well as those publishers who were aware of its contents, have been sentenced to death."

The book was burned, in Britain and elsewhere. Protests followed outside US and British buildings in India and Pakistan, and people died.

But the main anger was directed against Rushdie himself who had to go into hiding. The Ayatollah's fatwa against him is still technically in force.

Iran alone

In the West, the protest was seen largely as a product of the Iranian revolution rather than a mass movement in Islam. At the time, Iran was seen as the great threat.

The Rushdie affair can be seen as the precursor of the cartoon crisis

Saddam Hussein's Iraq was even regarded by some Western leaders as a bulwark against the fervour of Iran. Ten years previously he had attacked Iran and the West barely blinked. An incredibly bloody war ensued in which Iraq used chemical weapons and Iran hurled its only-too-willing youth against Iraqi lines.

There was no Osama bin Laden and no al-Qaeda. And there had been no 9/11, no invasion of Iraq. It was only Iran which declared that the United States was the "Great Satan".

There was also a much less influential Islamic presence in Western societies. In Britain, there were indeed protests but they were small and politically not that influential, though the Conservative government did make noises about the need not to offend religious sensitivities. A minister tried to placate Iran, which was seen as the problem.

The Rushdie affair can be seen as the precursor to the cartoon crisis.

Great debate

But now things are different.

The Muslim leadership in the West is far stronger. Muslim leaders in Denmark were instrumental in transforming their local row into a global confrontation.

They did this by taking their case to gatherings of Islamic scholars and politicians in the Middle East where they found a ready audience. From there, it went onto the streets.

We are also in the middle of, and perhaps only at the beginning of, a period in which the West and Islam are in conflict (it is not just Iran any more), or at least are trying to establish rules of conduct.

The West is having to reconsider what it means by freedom of speech and to justify, for example, why the historian David Irving is locked up in Austria for denying the Holocaust. In fact, that has to do with Austrian history. The law on holocaust denial applies there and in Germany because of their special responsibilities.

And within Islam there is a great debate between moderates and radicals, the outcome of which will perhaps determine the outcome of the wider conflict.

Into such an atmosphere came these drawings. The tinder box was ready to be lit.

Paul.Reynolds-INTERNET@bbc.co.uk
http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/4740020.stm

Thursday, November 29, 2007

Perang terbuka produk Budidaya

Tanggal 30 Desember jam 9 pagi waktu Melbourne ( jam 5 WIB), sebuah tayangan di salah satu stasiun swasta nasional memperlihatkan demonstrasi anti Malaysia di depan kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Sekitar 1000 orang memprotes keras atas penjiplakan produk budidaya seni Reog Ponorogo oleh Malaysia. Mereka memprotes tindakan pemerintah Malaysia yang lebih suka mengklaim sepihak berbagai produk budidaya negeri Indonesia. Setelah berbagai produk, seperti batik, makanan asli orang Indonesia, lagu-lagu ciptaan anak negeri, artefak budaya, dan terakhir adalah kesenian Reog Ponorogo. Klaim sepihak atas Reog Ponorogo ini bisa dilihat pada situs resmi pemerintah Malaysia (http://www.heritage.gov.my) yang secara nyata menayangkan sebuah tarian mirip Reog yang diberi nama tarian Barongan yang performennya sangat persis dengan penampilan Reog Ponorogo tersebut. Penampilan Reog "aspal" yang paling mencolok adalah tulisan "Malaysia" di jidat sang singa. Labelisasi ini menjadi bola liar yang tak terkendali yang ujung-ujungnya dapat menyulut kebencian dan sentimen berkepanjangan terhadap negeri jiran, Malaysia.

Tarian tersebut diklaim sebagai "Tarian Tradisional Melayu" dan dimodifikasi namanya menjadi Tarian Barongan. Padahal kita tahu sendiri apa definisi Melayu itu? Untuk mendifinisikan sesuatu disebut Melayu, maka harus memenuhi beberapa variablel. Salah satu variabelnya adalah Islam dan semangat etnosentrisme sempit. Menurut Perlembagan Persekutuan dalam perkara 160(2) bahwa yang dapat disebut sebagai orang Melayu adalah mereka yang 1) beragama Islam; 2) berbahasa Melayu; 3) mengamalkan adat-istiadat Melayu; dan 4) lahir sebelum atau pada hari "kemerdekaan" Malaysia baik berada di Semenanjung Malaysia atau di Singapura dan tinggal di kedua wilayah tersebut. Sedangkan Tari Barongan yang ditayangkan dalam situs resmi tersebut tidak menunjukkan sisi keislamannya sebagaimana yang digariskan dalam variabel Melayu. Agaknya hal ini merupakan bentuk kebohongan publik. Untuk menjustifikasi klaim "kemelayuannya", maka diciptakanlah kisah Islam bagi kesenian ini agar terkesan valid. Dalam situs itu disebutkan :

"Barongan menggambarkan kisah-kisah di zaman Nabi Allah Sulaiman dengan binatang-binatang yang boleh bercakap. Kononnya, seekor harimau telah terlihat seekor burung merak yang sedang mengembangkan ekornya. Apabila terpandang harimau, merak pun melompat di atas kepala harimau dan keduanya terus menari. Tiba-tiba Pamong (Juru Iring) bernama Garong yang mengiringi Puteri Raja yang sedang menunggang kuda lalu di kawasan itu. Pamong lalu turun dari kudanya dan menari bersama-sama binatang tadi. Tarian ini terus diamalkan dan boleh dilihat di daerah Batu Pahat, Johor dan di negeri Selangor."

Mencermati semakin memanasnya suhu sosial politik Indonesia dan Malaysia, agaknya kedua negeri jiran ini memang sedang terperangkap dalam perang terbuka atas klaim berbagai produk budidaya masyarakat nusantara. Kasus terakhir ini merupakan rentetan fluktuatif yang menghiasi hubungan dua negeri jiran ini. Sudah tak terhitung lagi letupan sentimen anti Malaysia dikumandangkan oleh masyarakat Indonesia. Perasaan sakit hati masyarakat Indonesia adalah pada kenyataan bahwa secara tidak jujur dan tanpa "unggah-ungguh" layaknya bangsa Timur yang memiliki adab sopan santun dan agama, Malaysia seringkali menghapus jejak sejarah dan mengklaim berbagai produk budidaya yang ada di Indonesia sebagai apa yang dimilikinya. Memang betul diakui bahwa ratusan tahun silam terajadi proses imigrasi manusia dan budaya dari berbagai pulau di nusantara ke semanjung Malaysia. Diantara mereka adalah imigran yang berasal dari berbagai pula yang terletak di gugusan pula-pulau yang sekarang terletak dalam wilayah Indonesia. Klaim Malaysia itu didasarkan pada keyakinannya bahwa produk budidaya itu sudah ada sebelum terbentuknya negeri bernama Indonesia; sedangkan Malaysia adalah bagian dari nusantara itu. Andaikata demikian halnya, mengapakah Malaysia tidak mencantumkan asal suku atau pulau dimana sebuah produk budidaya dihasilkan?. Kalau memang reog Ponorogo berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur, maka sebutkanlah kenyataan ini tanpa harus menghapus rekam jejak sejarah. Hal ini sangat menyakitkan dan menusuk perasaan kebanyakan manusia Indonesia. Disamping itu hal ini merupakan bentuk plagiarisme budaya yang sangat parah.

Perang terbuka atas produk budidaya ini ternyata terjadi pula di dunia maya. Perang blog pun tak terhindarkan. Fenomena ini bisa dilihat di dua website yang mewakili weltanschaung yang berbeda. Sila tengok perbezaan kita Pak Cik dan Mak Cik:

http://ihateindon. blogspot. com/
http://www.malingsi a.com

Ada lagi sebuah berita (dari Kantor Berita Bernama) tentang demonstrasi besar2an di Jakarta yang mengusung tema anti-malaysia. Dalam berita tersebut dikisahkan betapa hebatnya sang Duta Besar Malaysia untuk RI, Datuk Zainal Abidin Mohamed Zain, yang mampu membubarkan (bahasa Malaysianya: menyuraikan) demonstran hanya dalam waktu TIGA MENIT SAJA. Dan dengan HANYA 50 KATA SAJA sang Datuk bisa meredam amarah para demonstran di Jakarta kemarin. Seolah2 sang Datuk memang sakti mandraguna bisa membubarkan 1000 manusia yang lagi marah dan siap meluluhlantakkan Malaysia. 1000 orang Indonesia bertekuk lutut di bawah komando sang Datuk. Simak beritanya di sini.

"Kemlinthinya" Malaysia merupakan proses panjang atas ketidakberdayaan kita menghadapi krisis multidimensi. Krisis multideminsi ini telah berimbas pada pengikisan rasa percaya diri kita yang paling esensi. Salah satu krisis yang paling telak menghantam struktur masyarakat kita adalah krisis perut. Krisis perut telah mampu menggerus akal sehat dan hati nurani manusia kebanyakan. Korupsi yang merajalela dan budaya amuk yang sudah tertanam dalam setiap rentak perilaku kita adalah berawal dari krisis ini. Agama manapun tak akan bisa menentramkan dan meluruskan jalan umat jika krisis perut belum pula disentuh. Manusia Indonesia lebih terjerat untuk memikirkan perutnya sendiri dibanding melihat kekayaan yang ada dalam genggam tangannya yang sejatinya bisa digunakan untuk menyejahterakan semua anak negeri.

Krisis perut berimbas kepada krisis budaya yang diakibatkan hilangnya jati diri kita atas nama "impian semusim". Jenuh dan jengah dengan kesusahan dan kelaparan yang terjadi saban harinya, masyarakat kita butuh arena pelarian dengan menikmati banjir kapitalisme dan nafsu rendahan yang dibawa oleh berbagai media massa melalui tayangan dan lenggak-lenggok yang tak lagi menghargai adat ketimuran. Hampir semua tayangan di pentas layar kaca lebih menggambarkan budaya lain yang tidak membangkitkan kesadaran kita untuk bangkit dan kreatif. Media massa jarang memperkenalkan nuansa "cintaku negeriku" yang "membabar" siapa jati diri kita dan apa yang kita miliki. Kalau toh ada, paling hanya ditempatkan pada pojok halaman yang jarang disorot mata atau di sudut jam tayang yang tak banyak lagi penontonnya. Walhasil, kita jadi terlena bahwa kekayaan yang ada di genggaman tangan kita telah "dicuri" secara biadab tanpa mengindahkan etika bangsa yang pernah bercengkrama di atas lintas "titian muhibah".

Hilangnya rasa percaya diri kita sudah begitu kompleks hingga menghantui kita-kita yang tinggal di tanah seberang sekalipun. Ketidakpercayaan diri berimbas kepada hilangnya jiwa nasionalisme kita; hilangnya kebanggaan sebagai orang Indonesia yang memiliki memori kolektif tentang Indonesia. Seberapa tingginya kita kenalkan Indonesia kepada orang non Indonesia? Seberapa tingginya kita perkenalkan Indonesia kepada anak-anak kita? seberapa tingginya kita cinta terhadap produk Indonesia? Jangan terkejut kalau kita jumpai anak-anak Indonesia yang tak lagi "ngeh" diajak berbicara bahasa Indonesia; dan jangan heran pula kalau kita bertemu anak Indonesia yang tak lagi tahu asal muasal dirinya. Jangan heran pula kalau sebagian kita lebih bangga memakai produk-produk asing dibanding hasil kreativitas dan cucuran keringat bangsa sendiri. Kita mungkin harus malu bila bersanding dengan mereka yang berasal dari --- hanya contoh saja-- bangsa Yunani, India, dan China. Betapa mereka masih begitu lekat terhadap jati diri dan asal mausul mereka. Betapa mereka masih setia untuk mewariskan jati dirinya kepada anak cucu mereka. Dus, jangan salahkan kalau ternyata bangsa lain lebih mampu mendapatkan manfaat dari semua kekayaan yang ada dalam genggam tangan kita karena kita tak lagi mau dan mampu menghargai dan menjaganya.

Melbourne, 30 Desember 2007

Tuesday, November 27, 2007

Mengiring Kawan Berhaji


Dengan muka berseri Junaedy Anasril (43 tahun) mantap melangkah turun dari mobilnya. Disamping kanan kirinya adalah Wanny, sang istri tercinta, dan Felicity, sang anak gadis semata wayangnya. Di belakang terlihat bapak mertuanya dan ayah angkatnya, Pak Anas. Junaedy dikenal oleh kawan-kawannya dengan nama John. Nama ini bukan berarti Junaedy lebih suka dilabeli sesuatu yang berbau Barat atau Australia. Itu hanyalah untuk memudahkan panggilan saja. Hari ini John sudah mantap untuk menjadi tamu Allah. Kemantapan hati John bukanlah sebuah hasil dari proses instan.

Sekedar ilustrasi latar belakang John, si orang Padang ini. Dia datang ke Melbourne ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Kedatangannya karena dia ingin mengikuti pamannya, yang sekarang jadi ayah angkatnya, Pak Nas. John sempat tinggal lama di sebuah daerah yang Bernama Laverton. Pamannya dikenal sebagai salah seorang sesepuh orang awak di ranah Melbourne. Saat itu John yang hanya tamat SMP sangat mendambakan sebuah kehidupan yang sukses; sebuah kehidupan yang mampu merubah nasib buruknya. Dia ingin meninggalkan aroma ketidaktentuan hidup di tanahnya sendiri. John ingin menggapai bintang di tanah rantau. Disamping itu, sebagai orang Minang, John tak layak untuk berdiam di kampung menjadi bujang lapuak! Dia tak tanggung-tanggung merantau ke Melbourne. Sayang, pergaulan yang salah membawanya ke sebuah arena kelam yang menyeretnya berkubang di dalam lumpur dosa. John yang lugu, saat itu sudah terbiasa menikmati arus dunia gemerlap yang penuh hiasan maksiat. Barang haram dan judi adalah hiburan tetap selama akhir pekan. John mengaku bahwa dulu dia terbiasa dengan "gelek", istilah untuk obat-obat terlarang.

Meski menikmati kebebasan di tanah Kanguru ini, John adalah pekerja ulet yang bisa mengumpulkan banyak uang. Alhamdulillah, di Melbourne inilah John bertemu Wanny dan akhirnya memutuskan untuk menikah pada tahun 1998. Bersama sang istri tercinta, mereka akhirnya mampu membeli sebuah rumah di daerah Hallam. John yang pekerja keras di sebuah pabrik pintu dan jendela tak menyadari bahwa suatu hari dia harus mengalami kecelakaan permanen yang merubah haluan hidupnya, yakni kecelakaan saraf pinggang yang membuatnya tak lagi bisa bekerja dengan baik. John harus rela berhenti bekerja dan menjadi penjaga anak dan pengangguran di rumah. Hal ini jelas membuat John semakin kalut dan sensitif. Tekanan psikologis dan psikis yang membuatnya mudah marah. Pertengkaran demi pertengkaran seakan menjadi bumbu pedas yang menghiasi rongga rumahnya. Tak ada hari tanpa sumpah serapah bila sang penyakit sudah mulai menghujam di pinggangnya. Wanny dan Feli merasa hidup bak di dalam neraka.

Di saat dia dibelenggu kekalutan jiwa, di awal tahun 2005, seorang sahabat karibnya, Ayman, mengajaknya untuk menyambangi masjid. Ayman bilang bahwa ke masjid itu sudah jamak bagi orang yang mengaku Islam. Ayman adalah sahabat John sesama "preman" pada masa mudanya. Mereka berdua terbiasa menikmati dugem di akhir pekan. Gaji satu minggu bisa saja ludes di meja judi ataupun sekedar menikmati "gelek". Namun Ayman sudah berubah. Ayman yang sekarang berbeda dengan Ayman 10 tahun yang lalu. Ia sudah menemukan apa yang menjadi tujuan hakiki hidupnya. Masjid adalah tempat dia menandaskan semua kepasrahan dan kebahagiaan spiritual.

Walhasil, John tergerak untuk datang ke masjid dan berkenalan dengan beberapa jamaah di sana. Awal dia datang ke masjid, aku masih ingat, dia hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. Tak disangka dan diduga, John tertarik pada kesejukan hawa masjid yang dipenuhi dengan suasana keakraban dan persehabatan. Hawa masjid yang memancarkan cahaya Allah dan ketenangan batiniah yang tak terhingga. John mulai tertarik untuk membuka lagi kitab suci yang lama tak disentuhnya. Dia mulai lagi benamkan jidatnya di atas tikar sembahyangan sebagai pengakuannya atas semua hina dan khilaf di hadapan Rabb Yang Maha Agung. Kesungguhan John berbuah. Dia tak lagi malu memakai kopyah bila ke masjid, tak malu kalau diminta azan di masjid, dan tak malu ketika diminta melantunkan ayat-ayat Qur'an. John menjadi sosok lain yang mampu membalilk sejarah hidupnya. Hanya nur Allah yang mampu menerangi hatinya dan merontokkan semua jelaga dosa yang sudah sekian lama menempel.

Suatu hari John mengutarakan keinginannya untuk pergi haji. Dia ragu bahwa ilmunya tak seberapa dibanding kawan-kawan lainnya. Namun dia ingin sekali pergi ke tanah suci. Bahkan dia dengan sungguh-sungguh berkata kalau lah dia tak jadi berhaji, maka duit yang dia tabung akan disumbangkan kepada orang-orang miskin di kampungnya. Demikianlah John "baru" ini bertekad. Aku bilang kepadanya, "Kalau lah Pak John mantap dengan keputusan itu, tak usahlah banyak berfikir. Insya Allah, Pak John akan mendapatkan sesuatu yang paling berharga dalam hidup pak John. Pak John pergi sebagai tamu Allah". John pun terdiam. Seminggu kemudian dia datang lagi kepadaku dengan membawa berita bahwa dia sudah mendaftarkan diri untuk pergi haji tanggal 28 Nopember, hari Rabu. Sebuah berita yang membahagiaakan perasaanku. Selama dua hari kami berdiskusi tentang makna umrah dan haji serta manasik yang mengiringinya. John mendengarkan dan merekam dengan seksama. Bahkan dia hafalkan ucapan talbiyah "Labbaika allahumma labbaik....". Semangat betul nih John.

Dan hari ini pun tiba. Jam 10 pagi aku bertemu lagi dengan dia di bandara Tulamarin. Kulihat dia memakai setelan putih-putih. Baju koko dan celana putih serta songkok putih menghias kepalanya yang sudah dicukur rapi. John melambaikan tangannya, terlihat senyum cerahnya menyambutku dan kawan-kawan lainnya. Saat itu aku bersama Pak Dede, Ria, Mei, dan Imam bermaksud melepas dan mendoakan kepergiannya. Dia ungkapkan cita-citanya bahwa dia ingin menjadi haji mabrur sepulang dari haji dan ingin menggapai berkah hidupnya. Sebelum kami mengantar John ke gerbang doane, kami berlama-lama mengawetkan moment kebersamaan dengan menyeruput kopi dan menikmati donat di sebuah kafe di salah satu sudut di bandara Tulamarin. Namun, kami tak mampu mencegah moment kebersamaan itu beranjak meninggalkan kita karena John harus segara pamit berangkat. John harus take off menaiki SQ ke Singapura jam 11am, kemudian esok harinya jam 1pm waktu Singapura dia bertolak ke Jedah bersama dengan rombongan haji lainnya. Wajah Wanny nampak kuyu dan kelopak matanya tak mampu menahan bulir air mata ketika detik perpisahan harus muncul. Kami pun harus mengantarkan John di depan pintu keberangkatan yang dijaga oleh dua petugas bandara. Kami berpamitan. John menangis sesenggukan ketika memeluk istri tercinta. Feli tak mau dipeluk ayahnya. Feli pun ikut menangis haru melepas kepergian ayahnya. Hanya saling maaf memaafkan saja yang bisa kami ungkapkan dan doa agar perjalanan John selamat dan berkah hingga tujuannya. Yah, kami semua berharap berjumpa lagi untuk mendengar kisah selanjutnya di bulan Desember akhir. Semoga Allah menemanimu John!
Allahummaj 'alhu khajjan mabruuran!

Melbourne, 28 Nopember 2007

Monday, November 19, 2007

The Prayer


The Prayer

Celine Dion dan Andrea Bocelli





Pray you’ll be our eyes,
and watch us where we go
And help us to be wise,
in times when we don’t know
Let this be our prayer,
when we lose our way
Lead us to a place,
guide us with your grace
To a place where we’ll be safe.
La luce che tu dai
I pray we’ll find your light
Nel cuore resterà
And hold it in our hearts
A ricordarci che
When stars go out each night
L’eterna stella sei
Nella mia preghiera
Let this be our prayer
Quanta fede c’è
When shadows fill our day
Lead us to a place
Guide us with your grace
Give us faith so we’ll be safe

Sognamo un mondo senza più violenza
Un mondo di giustizia e di speranza
Ognuno dia la mano al suo vicino
Simbolo di pace e di fraternità

La forza che ci dai
We ask that life be kind
È il desiderio che
And watch us from above
Ognuno trovi amore
We hope each soul will find
Intorno e dentro a sè
Another soul to love
Let this be our prayer
Let this be our prayer
Just like every child
Just like every child

Need to find a place,
guide us with your grace
Give us faith so we’ll be safe
E la fede che
Hai acceso in noi
Sento che ci salverà
--

Watch at :
http://www.youtube.com/watch?v=WK9nt1NF7Nw
http://www.youtube.com/watch?v=NmscFwj22vg

Till We Ain't Strangers Anymore


~Till We Ain't Strangers Anymore (with Leann Rimes)~

It might be hard to be lovers
But its harder to be friends
Baby pull down the covers
Its time you let me in
Maybe light a couple candles
Ill just go ahead and lock the door

If you just talk to me baby
Till we ain't strangers anymore

Lay your head on my pillow
I sit beside you on the bed
Don't you think its time we say
Some things we haven't said
It ain't too late to get back to that place
Back to where, we thought it was before
Why don't you look at me
Till we ain't strangers anymore

Sometimes its hard to love me
Sometimes its hard to love you too
I know its hard believing
That love can pull us through
It would be so easy
To live your life

With one foot out the door
Just hold me baby
Till we ain't strangers anymore

[Solo]

Its hard to find forgiveness
When we just turn off the lights
Its hard to say you're sorry
When you cant tell wrong from right
It would be so easy
To spend your whole damn life
Just keeping score
So lets get down to it baby
There ain't no need to lie

Tell me who you think you see
When you look into my eyes
Lets put our two hearts back together
And we'll leave the broken pieces on the floor
Make love with me baby
Till we ain't strangers anymore

We're not strangers anymore
We're not strangers
We're not strangers anymore
------
For your own entertainment, please watch at
http://www.youtube.com/watch?v=8GP7FY_IZmU

Monday, November 05, 2007

Smile by Nat 'King' Cole


Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
When there are clouds in the sky
You'll get by...

If you smileWith your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll find that life is still worthwhile if you'll just...
Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness
Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying
You'll find that life is still worthwhile
If you'll just...
Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
When there are clouds in the sky
You'll get by...

If you smile
Through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll find that life is still worthwhile
If you'll just Smile...

That's the time you must keep on trying
Smile, what's the use of crying
You'll find that life is still worthwhile
If you'll just Smile

Silahkan tonton di:
http://www.youtube.com/watch?v=a5pnDDDzpqg

Wednesday, October 31, 2007

DIAM

DIAM

Duniaku dalam beku
Impianku pun menumbuk ruang hampa
Adaku sama dengan tiadaku
Melanglang lorong tanpa tepi


Melbourne, 1/11/07
mp

Monday, October 29, 2007

Speechless


Sounds have gone somewhere

Perhaps I couldn't hear any more

Even a drop of water on the fountain

Echoing an ongoing story-telling... about

Charm of the world and its anguish

How humankind understand the winding path of destiny

Lullabies are heard now

Endlessly dragging me into a deep serenity

Silence flows

So peacefully while the world is still whirling around.

Melbourne, 30-10-07

Sunday, October 28, 2007

Coretan Hidup


Dunia penuh warna
Ada merah, kuning, hijau dan berbagai semburat warna lainnya
Dunia penuh cahaya
Ada cerah, redup, dan kelam

Warna dan cahaya hidup
Saling menumpuk silih berganti
Menindih lapis demi lapis
Hingga mencipta mosaik
penuh kejutan dalam setiap hembusan nafas

Ada tawa membahana
Ada senyum mengungkap cita
Ada riang nyanyikan suka

Namun di saat lain
Ada tangis menawarkan duka
Ada sedu mengapus ceria
Ada sedih nyanyikan elegi duka

Sukses adalah ketika nestapa berujung tawa
ketika air mata gulirkan ribuan rasa
Gagal adalah niscaya
ketika harapan membentur kelam realita
Pedih dan tangis tumpahkan
semua gumpalan nestapa

Hanya kesadaran atas rahmat-Nya
yang menebar nikmat di hamparan alam raya
Layakkah hati terpenjara dalam
ruang pengap berjelaga
Menutup diri atas berkah yang berserak
di depan mata?

Melbourne, 29/10/07

Thursday, October 18, 2007

Senyum


"Hadapi hidup dengan senyum". Mungkin agak klise bagi sementara orang untuk memahami kalimat ini. Senyum mengandung banyak tafsir. Senyum bisa menjadi ekspresi beningnya hati dan jiwa. Namun, senyum bisa menjadi kepura-puraan banyak orang. Seorang tersangka kejahatan tingkat tinggi ketika ditangkap aparat masih mampu melambaikan tangan dan menebarkan senyum. Seorang artis yang baru saja bercerai dari suaminya masih saja bisa bernyanyi dan tersenyum seolah tanpa beban. Bahkan senyum bisa menjadi sedekah murah manakala kita tak memiliki kemampuan materiil untuk memberi.

Namun hati-hati dengan begitu banyak tafsir senyum dalam kehidupan kita. Susah untuk ditebak apakah seseorang yang banyak senyum dipandang sebagai orang sehat dan baik? Ataukah kalau kita pelit senyum menunjukkan bahwa kita lagi sakit dan berkperibadian pelit? Seorang teman datang kepada saya dan menyatakan kesebelannya ketika dia berpapasan dengan kawan karibnya di jalan. Dia sebel karena si kawan karib tak memberinya senyum seperti biasanya. lain lagi cerita kawanku yang lain ketika dia mengatakan bahwa senyum telah menyelamatkan dia. Dia berkisah bahwa gurunya tak jadi menghukum dia atas kelalaiannya tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Dia terbebas dari marah sang guru gara-gara dia telah memberi gurunya senyum yang paling indah. Dus, maukah kita hiasi hidup kita dengan senyum? Bagi mereka yang harus bekerja di garda depan public relations, maka senyum menjadi aroma khusus bagi pelanggan untuk selalu datang kembali. Bagi kita yang ingin menebar kedamaian di muka bumi ini, mulailah dengan seulas senyum dahulu.

Melbourne, 19 oktober 2007

Wednesday, October 10, 2007

"Di Ujung Bulan Cinta"

Tapal batas Ramadhan semakin nampak jelas
Kesedihanku semakin dalam
Aku ingin habiskan malam-malam terakhir dengan membaca ayat-ayat cinta-Nya.
Aku ingin mereguk tetes kerinduan-Nya
dan hilangkan dahaga dalam gersang jiwaku.
Aku ingin bercengkrama dengan-Nya
habiskan sisa malam di bulan cinta.
Sang Pencemburu seolah memelukku dengan kehangatan maghfirah-Nya
dan menyelimutiku dengan kelembutan barakah-Nya.

Air mataku mengalir tiba-tiba...
Aku tak rela atas perginya sang bulan cinta
Aku takut kehilangan dia
Aku takut kelak tak bersua dengannya
Karena di sana ada malam penuh romantika
suatu malam yang lebih syahdu daripada 83 warsa.

Malam mesra penuh warna...
Malam yang disaksikan para malaikat-Nya
Mereka goreskan tinta emas di atas lembar-lembar catatannya
Melukis semua amal hamba yang merindu
Membilang setiap kata-kata pujaan kepada-Nya
Malam yang tak mungkin kulupa
Malam yang tak ingin kulepas dalam lelap
Semoga ini bukan malam pertama atau terakhir
Tapi malam yang membuatku selalu terjaga

Bersujud di atas hamparan nikmat-Mu
Berharap kau lumurkan nur kasih-Mu
di sekujur tulang, darah, dan dagingku
di setiap sudut relung jiwaku
Kau ada menembus maya
Kau ada di atas kursi kuasa
Kokoh di dalam dimensi tanpa sekat buana
Kasih... pertemukan aku dengan bulan cinta
Agar aku bisa memeluk Mu
dan membaca ayat-ayat kasih Mu
dalam malam penuh romantika
malam malaikat senandungkan soneta cinta
Dan Kau taburkan benih ridlo dan suka cita
Ohhh... malam yang lebih indah dibanding 83 warsa

Melbourne, malam 29 Ramadhan 1428
12:41am

Thursday, August 23, 2007

Menggapai Langit


Pesawat telepon di meja kerja Tuti berdering keras. Berkali-kali dering nyaring memecah kesunyian ruang berpenyejuk udara. Tuti seolah tak ingin terusik dari gundah yang saat ini mengganjal dalam relung hatinya yang paling dalam. Layar digital di handset telepon menunjuk nomor seseorang yang dikenalnya. Ia tahu bahwa Hans terus mencoba menghubunginya. Baik melalui telepon kantor, sms, maupun telepon genggamnya. Tuti masih menyimpan SMS yang dikirim Hans. SMS terakhir itu berbunyi, “Sayank… aku tak mungkin bisa hidup jauh darimu. Aku terlalu sayank kepadamu.” Ada jerit miris yang menyayat perasaan Tuti manakala membaca pesan singkat yang dikirim Hans. Ada gumpal kesedihan yang menggelayut di matanya. Tuti sadar bahwa hubungan dengan Hans tak mungkin bisa dilanjutkan. Rasa sayang itu harus dia pupuskan. Dia sudah memiliki Paul dan tiga anak yang manis-manis.

Tanpa sadar, memori pertemuan Tuti dan Hans membias pelan dalam angannya. Dia ingat, perkenalannya dengan Hans pun sebuah perkenalan yang tak disengaja. Saat itu ketika Tuti menaiki pesawat Garuda untuk berlibur ke Bali bersama Amran, anak bungsunya, dia bertemu dengan seorang pria yang kebetulan duduk di sampingnya. Saat itulah Tuti mengenal Hans, seorang pemuda yang umurnya 14 tahun lebih muda dari dirinya. Perjalanan dari Jakarta ke Denpasar serasa singkat ketika dihiasi percakapan ringan antara Tuti dan Hans. Hans mengaku dirinya bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tambang.

“Aku kerja sebagai kuli saja Mbak…”, kata Hans merendah.

“Sudah hampir empat tahun saya bekerja di sana. Yah mau bagaimana lagi? Sebenarnya saya ingin bekerja yang agak santai dan tak terlalu banyak travelling”, lanjut Hans.

“Lho istri ditinggal-tinggal dong kalau begitu?”, Tuti menyelidik sambil tersenyum.

“Saya masih sendirian Mbak, belum ketemu yang cocok dengan hati saya”, sergah Hans.

“Ah, saya tak percaya. Anda yang memiliki pekerjaan mapan seperti ini belum memiliki pacar sekalipun!” Tuti semakin ingin tahu kehidupan Hans.

Sambil menghela napas Hans secara diplomatis berkata, “Dulu memang ada salah seorang kawan yang mengajak serius dengan saya. Namun, siapa yang bakalan tahu kisah hidup manusia selanjutnya. Kita pisahan karena perbedaan prinsip”.

Tuti mencoba membesarkan perasaan Hans, “Ah, Dik Hans. Yakinlah bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor. Masih banyak yang mau dengan Anda…”.

“Panggil saja Hans, tak usah pakai ‘dik’ ‘dik’ segala. Rasanya kok saya merasa jauh banget dengan Mbak”, ungkap Hans memotong kata-kata Tuti.

“Oh begitu. Kalau demikian, Hans harus panggil saja saya Tuti. Klop bukan?”. Entahlah, sebuah tanda tanya besar tiba-tiba menyergap. Tuti merasa senang berbincang dengan Hans. Meski Hans memiliki pautan usia yang lumayan jauh. Namun, Hans terlihat dewasa dalam pemikirannya. Ah... sesuatu yang tak dimiliki Paul.

Pembicaraan dua insan itu mengalir ke sana ke mari. Amran sudah tertidur pulas di samping Tuti.

bersambung...