Thursday, August 23, 2007

Menggapai Langit


Pesawat telepon di meja kerja Tuti berdering keras. Berkali-kali dering nyaring memecah kesunyian ruang berpenyejuk udara. Tuti seolah tak ingin terusik dari gundah yang saat ini mengganjal dalam relung hatinya yang paling dalam. Layar digital di handset telepon menunjuk nomor seseorang yang dikenalnya. Ia tahu bahwa Hans terus mencoba menghubunginya. Baik melalui telepon kantor, sms, maupun telepon genggamnya. Tuti masih menyimpan SMS yang dikirim Hans. SMS terakhir itu berbunyi, “Sayank… aku tak mungkin bisa hidup jauh darimu. Aku terlalu sayank kepadamu.” Ada jerit miris yang menyayat perasaan Tuti manakala membaca pesan singkat yang dikirim Hans. Ada gumpal kesedihan yang menggelayut di matanya. Tuti sadar bahwa hubungan dengan Hans tak mungkin bisa dilanjutkan. Rasa sayang itu harus dia pupuskan. Dia sudah memiliki Paul dan tiga anak yang manis-manis.

Tanpa sadar, memori pertemuan Tuti dan Hans membias pelan dalam angannya. Dia ingat, perkenalannya dengan Hans pun sebuah perkenalan yang tak disengaja. Saat itu ketika Tuti menaiki pesawat Garuda untuk berlibur ke Bali bersama Amran, anak bungsunya, dia bertemu dengan seorang pria yang kebetulan duduk di sampingnya. Saat itulah Tuti mengenal Hans, seorang pemuda yang umurnya 14 tahun lebih muda dari dirinya. Perjalanan dari Jakarta ke Denpasar serasa singkat ketika dihiasi percakapan ringan antara Tuti dan Hans. Hans mengaku dirinya bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang tambang.

“Aku kerja sebagai kuli saja Mbak…”, kata Hans merendah.

“Sudah hampir empat tahun saya bekerja di sana. Yah mau bagaimana lagi? Sebenarnya saya ingin bekerja yang agak santai dan tak terlalu banyak travelling”, lanjut Hans.

“Lho istri ditinggal-tinggal dong kalau begitu?”, Tuti menyelidik sambil tersenyum.

“Saya masih sendirian Mbak, belum ketemu yang cocok dengan hati saya”, sergah Hans.

“Ah, saya tak percaya. Anda yang memiliki pekerjaan mapan seperti ini belum memiliki pacar sekalipun!” Tuti semakin ingin tahu kehidupan Hans.

Sambil menghela napas Hans secara diplomatis berkata, “Dulu memang ada salah seorang kawan yang mengajak serius dengan saya. Namun, siapa yang bakalan tahu kisah hidup manusia selanjutnya. Kita pisahan karena perbedaan prinsip”.

Tuti mencoba membesarkan perasaan Hans, “Ah, Dik Hans. Yakinlah bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor. Masih banyak yang mau dengan Anda…”.

“Panggil saja Hans, tak usah pakai ‘dik’ ‘dik’ segala. Rasanya kok saya merasa jauh banget dengan Mbak”, ungkap Hans memotong kata-kata Tuti.

“Oh begitu. Kalau demikian, Hans harus panggil saja saya Tuti. Klop bukan?”. Entahlah, sebuah tanda tanya besar tiba-tiba menyergap. Tuti merasa senang berbincang dengan Hans. Meski Hans memiliki pautan usia yang lumayan jauh. Namun, Hans terlihat dewasa dalam pemikirannya. Ah... sesuatu yang tak dimiliki Paul.

Pembicaraan dua insan itu mengalir ke sana ke mari. Amran sudah tertidur pulas di samping Tuti.

bersambung...

Monday, August 20, 2007

Islam di mata kebencian


Beberapa waktu yang lalu seorang kawan memposting sebuah email yang isinya penghinaan terhadap Islam. Sebuah alamat situs www.bomislam.com dicantumkan dalam email itu. Kawan saya itu prihatin dengan isi website tersebut. ia menyeru agar dunia ikut mendukung dihapusnya situs maya itu. Keterlaluan! Kebencian terhadap Islam seolah dibangun terus menerus.

Bilakah dunia ini bisa menjadi tempat damai? Bilakah agama-agama dunia saling duduk berdampingan di atas tikar keharmonisan dan kemesraan? Mungkin saatnya umat Islam lebih berintrospeksi bahwa kitalah yang menyebabkan diri sendiri lemah. 14 abad silam, Rasul pernah menerawang nasib umat Islam ini. Beliau katakan bahwa kondisi umat akhir zaman adalah ibarat buih di laut lepas. Terlihat menyatu, namun begitu rapuh ketika diterjang ombak. O la la... bilakah kita sadar?


Melbourne, 21 Agustus 2007

Agustusan

Masih saja seperti tahun yang lalu
Peringatan hari merdeka masih sebatas upacara bendera
Menghormat bendera dan menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya

Namun, selepas itu, hilang lah semua memori tentang Indonesia
negeri elok yang berisikan sejuta pesona
gugusan pula bagai kalung mutiara
yang membentang dari Sabang hingga Papua

Upacara bendera
masih terperangkap dalam alam simbol semata
jiwa nasionalisme sebagai sebuah bangsa
yang menyatu dalam wadah nuasantara
masih saja dilupakan dalam kelam jiwa

Cintaku dan negeriku tak lagi membahana
Alun anak kecil menyorakkan lagu cinta Indonesia
tak lagi terdengar penuh gempita
hanya gemerlap dan impian maya
yang menghias generasi muda
tayang mimpi yang lebih menggoda
terus menerus ditawarkan oleh dunia media
sampai kapan kita ada dalam khayal tak bermakna?

Nasionalisme harus ditumbuhkan
di saat bangsa lain mulai menampakkan taring serigala
siap menerkam semua aset bangsa
dari kekayaan alam hingga mutu manikam budaya
negeri jiran pun tak lagi ramah
serumpun adalah tameng untuk menutupi nafsu menjarah
karena Indonesia bak raksasa tidur
yang dungu di atas tumpukan sampah

Melbourne 17/08/2007