Thursday, March 27, 2008

Agama: kacamata memandang Tuhan

Untuk sebagian kalangan, agama dapat dilihat dalam dua dimensi, yakni dimensi figurative dan dimensi propagandis. Dimensi figurative memandang agama sebagai sebuah sistem simbol yang diyakini memiliki makna transcendental bagi manusia. Simbol yang mengakibatkan manusia “ready to die” atau siap mati ketika simbol sakral dihina atau dinistakan. Bahkan Ernest Rennan menyatakan bahwa agama bisa dibidik melalui simbol rasional. Agama adalah suatu proses hidup yang ditandai dengan bertambah hebatnya rasio dan tingginya penemuan ilmu dan teknologi. Agama simbol ini lebih mendasarkan pada sesuatu yang kasat mata dan “tangible”.

Sedangkan bila dipahami dari perspektif propagandis, maka agama adalah sesuatu yang mendorong manusia untuk merasa bahagia. Pemahaman ini lebih melihat agama sebagai sesuatu yang tak membatasi manusia. Biarkan manusia berlaku apa saja asal tidak menginjak-injak hak orang lain. Bahkan kaum propagandis memahami agama sebagai opium bagi masyarakat; sesuatu yang memabukkan dan membuat masyarakat tidak menyadari atas realitas di sekitarnya. Agama sebagai pelarian dari berbagai permasalahan dunia. Manusia cenderung melepas diri dari hiruk pikuk duniawi dan terlena dalam pelukan asketisme mutlak. Atau manusia terlalu bermesraan dengan agama dunia yang berisi hingar-bingar materialisme hingga lupa akan keseimbangan dimensi spiritual dan material.

Bagi Marx, agama adalah sistem ideologi yang yang dibutuhkan guna mendesak kaum tertindas. Agama akan lenyap ketika masyarakat tanpa kelas sudah terbentuk. Oleh karena itu agama lebih membawa kezaliman dan kekejaman dehumanisasi. Sedangkan menurut Freud, agama adalah sebatas obsesi neurosis belaka yang secara “built-in” merupakan bagian dari kesadaran manusia. Adapun bagi Durkheim, agama bisa dipandang sebagai bentuk penghambaan masyarakat atas dirinya sendiri. Peter Berger, salah seorang sosiolog terkenal, percaya bahwa agama adalah kreasi manusia yang berusaha mengungkap kosmos yang kramat dimana kekuatan maha dahsyat bersembunyi. Oleh karena itu segala sesuatu bisa dipandang kramat, semisal sungai, kota, candi, masjid, manusia, kalimat, batu, dan waktu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa agama adalah sebuah system simbol yang berperan membangun kehendak dan motivasi yang yang kuat, kokoh, dan tahan lama pada diri manusia dengan cara membuat berbagai konsepsi tentang aturan umum mengenai apa yang ada dan membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan aura faktualitas yang nampaknya realistis (Geertz, 1968:4).

****

Sebuah pertanyaan yang terus bergelayut dalam semua pemeluk agama adalah sejauh mana agama dapat berkontribusi dalam perubahan sosial? Semua definisi di atas lebih melihat agama sebagai sesuatu di luar dirinya dan mempengaruhi pandangan hidup orang yang meyakini pengaruh simbol-simbol tersebut. Keyakinan terhadap ayat-ayat Tuhan akan memunculkan keyakinan bahwa Tuhan itu memerintah dan meminta manusia melakukan kehendak Tuhan bagi kemaslahatan hidup di dunia. Jika ajaran Tuhan yang terdapat dalam kitab suci sudah tak diabaikan lagi, maka sejatinya manusia telah kafir akan eksistensi Tuhan. Bagaimana bisa dikatakan percaya, ketika kata Tuhan tak diyakini lagi. Bahkan Dia sering diinjak-injak oleh segala perilaku keseharian kita. Tuhan diingat ketika manusia terpuruk kedalam musibah yang diciptakannya. Manusia menangis memanggil Tuhan ketika dia merasa teraniaya. Tuhan nampak ketika manusia memakai simbol yang meninabobokan esensi agama sebagai pembangkit motivasi hidup. Lihatlah simbol di kaos yang bertuliskan “Islam is my way of life”, “Islam adalah masa depan”, “Tebarkan selamat”, dan sebagainya. Justru agama sering membuat manusia lari dari hari ini dan lelap dalam selimut apatis dan pasrah yang tak produktif.

Seyogyanya agama mampu membuat manusia kreatif dan mengaktualkan hidup ini lebih indah. Indah karena Tuhan cinta pada keindahan. Bahkan seharusnya manusia mampu membawa konsep surga dalam semua lembar peradabannya. Lihatlah istana Alhamra yang dibangun dengan konsep surga, dan lihat pula bentuk tata kota modern yang sesungguhnya ingin menghadirkan keindahan surgawi dalam ranah duniawi. Kesemua bentuk fisik tersebut adalah kehendak manusia sebagai hasil aktualitas imijinasi tentang alam ide surgawi. Bukankah hal ini bisa ditarik dalam domain diri manusia sebagai makhluk surgawi yang selalu menyipta keindahan, baik keindahan perilaku maupun keindahan bentuk?

****

Destruksi ekologi alam kehidupan manusia sehungguhnya lebih dikarenakan manusia sudah tak lagi mendengar suara Tuhan. Rumah suci sudah tak lagi memiliki daya tarik karena Tuhan telah lenyap dalam pandangan batin manusia. Jelaga tebal telah menutup kesadaran akan hadirnya Sang Maha dalam kehidupan manusia. Sehingga, agama yang berbasis pada teosentris (semua berpusat pada Tuhan) seakan terkikis dalam arena kehidupan manusia. Seorang supir taksi bercerita kepada saya bahwa seorang kawannya yang pernah berkunjung ke China berkisah. Di China banyak orang yang tak yakin akan Tuhan, namun mereka berusaha untuk hidup jujur dan tak ingin menyakiti sesama. Kawannya itu berseloroh bahwa menaruh sandal di depan rumah tak bakalan hilang meski tak ada Tuhan. Sedangkan kalau di Indonesia apapun bisa hilang meski bangsa ini lebih dari 90% percaya akan hadirnya Tuhan. Agama mereka adalah hukum dan Negara yang mampu mengkondisikan manusia berbuat sesuai dengan keadaban manusiawi. Manusia bisa membangun budi-pekerti dan kesalehan sosial karena hukum yang bermain cantik.

Negeri Arab yang dikenal sebagai negeri para nabi pun lebih banyak dihiasi manusia tak berkeadaban. Penindasan manusia atas manusia lain tak pernah jenuh menghiasi lembar kelam negeri ini. Berapa banyak tenaga kerja wanita kita yang menderita pelecehan seksual dan kezaliman di negeri para nabi ini. Eksklusfisme golongan syarif dan sayid atas golongan paria terasa sekali dalam hubungan sosial keseharian. Simbol Ka’bah sebagai rumah suci seakan tak mampu membuat manusia takut akan hukuman Tuhan. Bahkan di musim haji sekalipun maling dan copet berkeliaran bebas di Masjidil Haram. Manusia menyakiti manusia lain untuk berebutan mencium batu hitam di pojok Hajar Aswad. Mungkin fenomena semacam ini semakin menegaskan bahwa manusia sudah tak lagi bisa merasakan kehadiran Tuhan apalagi mau mendengar dan mematuhi kata-kata Tuhan. Hal ini berakibat munculnya mimpi-mimpi hadirnya sang nabi akhir zaman yang mampu mengingatkan akan kehadiran Tuhan. Oleh karena, adalah sebuah lelucon jika berbagai pihak memandang perlunya diturunkan nabi setelah Sang Mustafa. Konon, nabi baru diperlukan agar manusia mendengar seruan Tuhan. Namun sayangnya nabi-nabi baru tersebut tak memiliki legitimasi Ilahiyah dan mukjizat kenabian apapun yang dapat membangun keyakinan para manusia yang jahil ini.

Ciputat, 27/03/08

Wednesday, March 26, 2008

Many Muslims Turn to Home Schooling (2)


If so, then Fawzia Mai Tung is an exception, a Chinese Muslim immigrant who home-schools three daughters in Phoenix. She spent many sleepless nights worried that her children would not excel on standardized tests, until she discovered how low the scores at the local schools were. Her oldest son, also home-schooled, is now applying to medical school.

In some cases, home-schooling is used primarily as a way to isolate girls like Miss Bibi, the Pakistani-American here in Lodi.

Some 80 percent of the city’s 2,500 Muslims are Pakistani, and many are interrelated villagers who try to recreate the conservative social atmosphere back home. A decade ago many girls were simply shipped back to their villages once they reached adolescence.

“Their families want them to retain their culture and not become Americanized,” said Roberta Wall, the principal of the district-run Independent School, which supervises home schooling in Lodi and where home-schooled students attend weekly hourlong tutorials.


Of more than 90 Pakistani or other Southeast Asian girls of high school age who are enrolled in the Lodi district, 38 are being home-schooled. By contrast, just 7 of the 107 boys are being home-schooled, and usually the reason is that they were falling behind academically.
As soon as they finish their schooling, the girls are married off, often to cousins brought in from their families’ old villages.

The parents “want their girls safe at home and away from evil things like boys, drinking and drugs,” said Kristine Leach, a veteran teacher with the Independent School.

The girls follow the regular high school curriculum, squeezing in study time among housework, cooking, praying and reading the Koran. The teachers at the weekly tutorials occasionally crack jokes of the “what, are your brothers’ arms broken?” variety, but in general they tread lightly, sensing that their students obey family and tradition because they have no alternative.
“I do miss my friends,” Miss Bibi said of fellow students with whom she once attended public school. “We would hang out and do fun things, help each other with our homework.”
But being schooled apart does have its benefit, she added. “We don’t want anyone to point a finger at us,” she said, “to say that we are bad.”

Mrs. Asghar, the Stockton woman who argues against home schooling, takes exception to the idea of removing girls from school to preserve family honor, calling it a barrier to assimilation.
“People who think like this are stuck in a time capsule,” she said. “When kids know more than their parents, the parents lose control. I think that is a fear in all of us.”

Aishah Bashir, now an 18-year-old Independent School student, was sent back to Pakistan when she was 12 and stayed till she was 16. She had no education there.

Asked about home schooling, she said it was the best choice. But she admitted that the choice was not hers and, asked if she would home-school her own daughter, stared mutely at the floor. Finally she said quietly: “When I have a daughter, I want her to learn more than me. I want her to be more educated.”


Many Muslims Turn to Home Schooling (1)

Karima Tung, 12, one of three girls home-schooled by their mother, Fawzia Mai Tung. An important part of the school day: reading the Koran.


By NEIL MacFARQUHAR
Published: March 26, 2008

LODI, Calif. — Like dozens of other Pakistani-American girls here, Hajra Bibi stopped attending the local public school when she reached puberty, and began studying at home.

Karima, right, with her sisters, Kiram, 8, and Kadhima, 14, playing with yo-yos in a study break at their Phoenix home.




Her family wanted her to clean and cook for her male relatives, and had also worried that other American children would mock both her Muslim religion and her traditional clothes.
“Some men don’t like it when you wear American clothes — they don’t think it is a good thing for girls,” said Miss Bibi, 17, now studying at the 12th-grade level in this agricultural center some 70 miles east of San Francisco. “You have to be respectable.”

Across the United States, Muslims who find that a public school education clashes with their religious or cultural traditions have turned to home schooling. That choice is intended partly as a way to build a solid Muslim identity away from the prejudices that their children, boys and girls alike, can face in schoolyards. But in some cases, as in Ms. Bibi’s, the intent is also to isolate their adolescent and teenage daughters from the corrupting influences that they see in much of American life.

About 40 percent of the Pakistani and other Southeast Asian girls of high school age who are enrolled in the district here are home-schooled, though broader statistics on the number of Muslim children being home-schooled, and how well they do academically, are elusive. Even estimates on the number of all American children being taught at home swing broadly, from one million to two million.

No matter what the faith, parents who make the choice are often inspired by a belief that public schools are havens for social ills like drugs and that they can do better with their children at home.

“I don’t want the behavior,” said Aya Ismael, a Muslim mother home-schooling four children near San Jose. “Little girls are walking around dressing like hoochies, cursing and swearing and showing disrespect toward their elders. In Islam we believe in respect and dignity and honor.”
Still, the subject of home schooling is a contentious one in various Muslim communities, with opponents arguing that Muslim children are better off staying in the system and, if need be, fighting for their rights.

Robina Asghar, a Muslim who does social work in Stockton, Calif., says the fact that her son was repeatedly branded a “terrorist” in school hallways sharpened his interest in civil rights and inspired a dream to become a lawyer. He now attends a Catholic high school.
“My son had a hard time in school, but every time something happened it was a learning moment for him,” Mrs. Asghar said. “He learned how to cope. A lot of people were discriminated against in this country, but the only thing that brings change is education.”
Many parents, however, would rather their children learn in a less difficult environment, and opt to keep them home.

Hina Khan-Mukhtar decided to tutor her three sons at home and to send them to a small Muslim school cooperative established by some 15 Bay Area families for subjects like Arabic, science and carpentry. She made up her mind after visiting her oldest son’s prospective public school kindergarten, where each pupil had assembled a scrapbook titled “Why I Like Pigs.” Mrs. Khan-Mukhtar read with dismay what the children had written about the delicious taste of pork, barred by Islam. “I remembered at that age how important it was to fit in,” she said.
Many Muslim parents contacted for this article were reluctant to talk, saying Muslim home-schoolers were often portrayed as religious extremists. That view is partly fueled by the fact that Adam Gadahn, an American-born spokesman for Al Qaeda, was home-schooled in rural California.

“There is a tendency to make home-schoolers look like antisocial fanatics who don’t want their kids in the system,” said Nabila Hanson, who argues that most home-schoolers, like herself, make an extra effort to find their children opportunities for sports, music or field trips with other people.

Lodi’s Muslims also attracted unwanted national attention when one local man, Hamid Hayat, was sentenced last year to 24 years in prison on a terrorism conviction that his relatives say was largely due to a fabricated confession. (Had he been more Americanized, they say, he would have known to ask for a lawyer as soon as the F.B.I. appeared.)
Parents who home-school tend to be converts, Mrs. Khan-Mukhtar said. Immigrant parents she has encountered generally oppose the idea, seeing educational opportunities in America as a main reason for coming.

Monday, March 24, 2008

Film Ayat-Ayat Cinta

Tulisan ini saya buat sebagai goresan kesan ketika saya menonton film Ayat-Ayat Cinta. Ada berbagai penyesuaian yang tidak sama dengan alur cerita yang tertuang di novel. Film ini untuk beberapa hal menjadikan cerita Ayat-Ayat Cinta menjadi janggal dan kering. Ada beberapa hal yang membuatnya kering. Kekeringan pertama adalah pada artikulasi bahasa Arab para pemainnya. Saya hanya menemukan logat dan fluency Arab pada dua orang saja, yakni seseorang yang bertemu dengan Fachri di dalam metro yang bercerita tentang kesebelasan Zamalek dan salah seorang sipir penjara.

Sayangnya bahasa Arab terasa kering ketika pemain yang memerankan tokoh lokal tak begitu piawai me"lanyah"kan ungkapan Arabnya. Memang benar bahwa mereka bukan penutur asli bahasa Arab 'amiyah. Adalah sebuah kelumrahan bila para pemain tak begitu menguasai gaya dan intonasi bicara, namun hal ini bukan merupakan apologi karena 'amiyah hanya muncul sekali-kali dan tak banyak. Mereka yang memerankan tokoh lokal harus lebih bisa mengartikulasikan dengan fasih dan alami, semisal Maria, Aishah, Noura, bapaknya Noura, serta Bahadur. Kalau Fachri masih bisa ditolelir karena dia merepresentasikan orang Indonesia yang ada di tanah Musa. Namun suara Fachri ketika membaca qira'ah Sab'ah pada surah al-Rahman sama sekali tidak membuat telinga saya percaya bahwa itu adalah suara pelakon Fachri. Dubbingnya terasa kasar.

Kekeringan kedua adalah penggambaran kekerasan yang tak begitu hidup. Ketika Bahadur menampar atau memukul Noura terlihat betapa ngambang tangan mengayun. Bahkan terlihat begitu jelas kalau tangan itu tak menyambar pipi Noura. Atau kekerasan yang dialami Fachri pun terasa kering dan kurang menyayat. Hal ini disebabkan efek yang belum bisa dibangun dengan cantik. Sayang sekali. Padahal bagian ini bisa menambah efek jiwa dalam film ini.

Kekeringan ketiga adalah pertemuan Fachri dengan Maria di atas jembatan Nil. Sayang sekali sungai Nil masih saja bernuansa India dengan bentuk beton-beton hias di atas jembatan Nil tersebut. Suasana Nil tak terasa. Begitupun ketika Fachri dan Maria bertemu di atas jembatan, mereka tak merefleksikan suasana Nil yang minimal ada lalu lalang manusia di sekitar mereka. Hanya dua orang saja. Padahal kita tahu Fachri adalah sosok yang sangat religius sekali. Agak aneh ketika Fachri bisa "berduaan" dengan Maria di sebuah sudut jembatan Nil yang sepi.

Kekeringan keempat adalah gambaran akademis yang tak terlihat. Seharusnya dalam film ini digambarkan suasana gedung dan universitas al-Azhar agar terlihat hidup. Sayang sekali gambar tentang al-Azhar tak terlihat nyata. Penggambaran fenomena akademis mahasiswa Indonesia di sana tak begitu jelas. Salut untuk tayangan Wisma Indonesia yang representatif sebagai tempat temu muka warga Indonesia di sana, khususnya para pelajar. But, peran pelajar di sana yang aktif dalam kegiatan pendidikan tak nampak jelas, semisal kegiatan pengajian di KBRI dan TPA di sana.

Kekeringan berikutnya adalah adanya pandangan negatif dari beberapa aktivis Muslim bahwa film ini lebih mengumbar cinta dibanding mewartakan tentang Islam moderat. Sosok Fachri yang suci seharusnya diperankan lebih indah dan apik andaikata ada bintang muda yang sudah bersuami-istri. Semisal adegan Fachri yang mencium kening Maria atau memeluk dia ketika jatuh adalah hal yang "melukai" beberapa aktivis Muslim. Tapi hal ini bisa dipahami dengan terbatasnya pemain muda yang tersedia dan bisa memerankan hal-hal tersebut tanpa menabrak koridor syari'at.

Bagaimanapun film ini patut diacungi jempol sebagai the starting point atau the stepping stone bagi film-film bernuansa Islami. Kita sudah semakin menderita dengan banyaknya film-film tak bermutu yang lebih menawarkan unsur birahi, syahwat, dan horor. Bangsa kita dibuat semakin bodoh dengan tayangan tak menyentuh. Kita rindu akan film-film yang menyentil dan menggelitik rasa kemanusiaan kita atas berbagai penderitaan anak-anak bangsa. Sayangnya berbagai sinetron kita tak menghargai perasaan orang miskin. Coba lihat, sebuah sinetron tentang orang miskin, namun pemain utamanya berdandan menor dan pakaian yang dipakai tak mencerminkan kemiskinanannya? Krisis ide ataukah krisis pemain yang berkualitas? Mengapa tak ada lagi film-film perjuangan yang mampu membangkitkan semangat kebangsaan, semisal film Diponegoro (Ratno Timur), Nopember 28 (Slamet Rahardjo), Cut Nyak Din (Kristin Hakim), Walisongo (Dedy Mizwar dkk)? Atau film-film Islami yang tak lagi menjejalkan keajaiban dan mukjizat Tuhan? Tapi film Islami yang riil dan menggambarkan usaha manusia yang mencitrakan Islam sebagai rahmatan lil'alamin?




Ciputat, 20 Maret 2008

Tuesday, March 18, 2008

Maulid Nabi


Besok Kamis, 20 Maret 2008 bertepatan dengan 12 Rabi'ul Awal 1429 H. Konon tanggal tersebut adalah tanggal bersejarah. Tanggal yang menyentak sejarah dunia dimana pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun gajah (21 April 571M) itu lahir jabang bayi laki-laki yang bernama Muhammad. Sebuah nama yang terbukti mampu menggetarkan hati lawan dan menuangkan dahaga cinta di kalangan para sahabatnya. Sebuah nama yang belum pernah ada pada masa itu. Dari sudut nama, secara kultural, bayi ini akan mampu mendobrak kemapanan zamannya. Pada saat itu banyak orang yang memiliki nama-nama "pasaran" seperti Asad, Harits, Zubair, Tholhah, Amr, dan lain-lain. Namun, "Muhammad" adalah simbol yang mampu menggores sejarah dunia. Bahkan Michale H Hart saja mengakui kehebatan Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh di dunia. Hanya dalam 23 tahun, Muhammad mampu menata peradaban manusia dalam selimut ketauhidan.

Tradisi penyembahan terhadap berhala diakhiri melalui konsep tauhid; pengakuan hakiki manusia atas kerendahan dan kefakiran diri. Tiada tuhan selain Allah meniscayakan kemauan manusia untuk menanggalkan segala tuhan-tuhan atau sesembahan selain Allah. Kalaulah dulu berhala masih berwujud patung-patung yang disembah, namun sekarang ini lebih berujud pada kapitalisme dan materialisme yang merasuk pada posisi sosial tertentu. Manusia lebih memuja uang dibanding memuja Allah. Manusia lebih memuji modalitas-modalitas semu yang berbentuk pangkat, gelar, jabatan, dan bahkan ilmu dan tingkat kesalehan karikatif. Ada manusia yang memandang dirinya serba narcis ketika orang lain mengidolakannya. Ada lagi yang menilai dirinya paling takwa dan paling alim dibanding manusia lain gara-gara jubah, janggut, jilbab, dan kayu siwak. Mereka tidak ingat nasihat Sang Nabi bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling mampu memancarkan nilai manfaat buat sesama. Ibadah individualis yang tak memiliki rekam jejak kesalehan sosial malah makin mengucilkan dirinya dari sosok uswah hasanah Nabi penutup zaman.

****
Oleh karena itu terdapat dua mainstreaming dalam mencermati individualisme di kalangan masyarakat Islam yakni inividualisme materi dan individualisme akidah. Individualisme materi mengakibatkan manusia menciptakan kerucut-kerucut kecongkakan berbasis pada modalitas materi. Elitisme di kalangan manusia membuat jurang pemisah yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin. Padahal Islam hadir bagi manusia untuk meluluhlantakkan segala fragmentasi manusia berdasar strata apapun. Semua manusia sama di mata Allah, dan semua manusia dibedakan oleh fungsinya masing-masing di dalam tubuh umat. Islam boleh dikatakan sebagai "religion of non-priveleged classes" karena tak ingin membangun kotak-kotak sosial berdasarkan kasta ataupun modalitas materi. Semua manusia akan mengalami hari hisab sebagai proses kalkulasi amal yang amat detil. Dunia dipandang sebagai lahan ukhrawi yang disediakan sebagai pesemaian benih-benih amaliah yang buahnya baru bisa dipetik di alam surgawi. Ironisnya, manusia modern seolah masih melanggengkan elitisme yang sejatinya lahir dari paham individualisme berbasis modalitas.

Individualisme akidah meniscayakan perilaku manusia yang tak percaya diri pada dirinya sendiri. Rasa percaya diri dibangun melalui "waham-waham" kesalehan yang dijenuhi oleh justifikasi-justifikasi yang menistakan kelompok liyan. Pesan-pesan Nabi dan Allah dicicipi melalui lidah tekstual dan skriptural tanpa menelenjangi latar belakang historis dan filosofisnya. Tak ayal Islam sebagai sebuah agama yang menyatukan umat Islam justru "seolah" membuat umat semakin terfragmentasi oleh banyaknya pengarusutamaan pemikiran mazhabi. Hal ini berakibat munculnya klaim sepihak siapa yang paling patut disebut "ahlu sunnah wal jama'ah" bahkan klaim sebagai "salafus shalih" yang paling berhak atas surga Allah. Tak heran bila banyak perang atas nama Tuhan Yang Satu. Padahal makna tauhid bukan hanya pada sisi Uluhiyah, Rububiyah, dan asma wa shifat Allah, akan tetapi tauhid juga bermakna tauhid insaniyah sebagai bukti bahwa mereka adalah umat yang satu.
****
Kita dibuat sedih ketika sekelompok orang membakar sebuah masjid sambil meneriakkan Allah Akbar gara-gara berbeda corak pemikiran. Andai Tuhan hadir di tengah-tengah kita pastilah semua manusia tunduk dan malu atas semua perbuatannya. Hampir 1500 tahun yang lalu Rasulullah pernah khawatir akan kondisi umat Islam. Beliau mengatakan bahwa akan datang suatu masa dimana umat Islam tak lagi mampu memegang esensi agamanya. Beliau mengibaratkan bahwa pada zaman itu manusia mengenggam akidah Islam bagai mengenggam bara menyala. Para sahabat bertanya, "Apakah jumlah kami pada saat itu sedikit ?" Rasulullah SAW menjawab, "Bahkan kamu (umat Islam) pada saat itu jumlahnya lebih banyak, tetapi kualitas kalian bagai buih air bah yang hilang wibawa dan jatuh martabatnya (di mata musuh, yang ada bukan iman dan semangat jihad yang menyala, tetapi cinta dunia dan takut mati". (HR. Abu Dawud dan Bukhari).

Bahkan agama pada saat ini sudah menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Para da'i menjadi penjaja agama yang handal dengan segmen pasar yang berbeda-beda. Kebanyakan da'i menjadi patron bagi masyarakat urban atau masyarakat berduit tebal. Sedangkan da'i-da'i kampung atau para kyai langgar lebih banyak tenggelam asyik dengan umatnya di desa-desa dan kampung-kampung dalam luapan syahdu penuh kesahajaan. Mereka mampu menciptakan komodifikasi agama yang berujung pada pemuasan syahwat materi. Beberapa waktu lalu ada ribut-ribut yang memalukan bahwa seorang ustadz kondang merasa terhina atas tuduhan seorang mustami'nya bahwa dia lebih menghamba pada kaum berduit. Sang ustadz marah besar bahkan akan menyeret si mustami' ke meja hijau dan akan memperkarakannya sampai ke ruang pengap penjara. Dengan kata-kata pedas namun penuh sitiran ayat-ayat Tuhan sang ustadz mampu memojokan sang mustami' yang kritis itu. Ntah, peristiwa ini berujung di mana.

****

Lain lagi di kampungku. Banyak orang yang antusias untuk mengadakan peringatan maulid Nabi sebagai arena silaturahim dan menambah pengetahuan agama sekaligus menambah derajat cinta kepada Sang Nabi. Bahkan mereka sanggup iuran guna merenungi peristiwa penting ini. Tak dinyana dan tak diduga ketika aku menghadiri shalat Jum'at di sebuah masjid, sang khatib mengatakan, "Marilah kita melaksanakan agama Islam sebaik-baiknya. Sesungguhnya peringatan-peringatan maulid nabi itu adalah hadiah yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada umat Islam Indonesia. Umat Kristen memiliki perayaan Natal, maka mereka memberikan kesempatan buat kita untuk memiliki peringatan semisal itu. Tidak perlu kita membuat peringatan-peringatan yang menyerupai tradisi umat lain. "Man tasyaabaha biqawmin fahuwa minhum" (barang siapa yang menyerupai sebuah kelompok, maka dia adalah bagian dari mereka)!".

Aku sungguh bingung dengan paradigma yang dipakai si khathib ini. Apakah dia tak sadar bahwa peringatan maulid adalah simbolisasi dan penciptaan moment yang amat penting bagi masyarakat awam yang rindu akan nuansa agamis dan sosial. Akankah dia lebih suka berdiam diri atas gempuran budaya dan ideologi transnasional yang membumihanguskan kearifan Islam dan kearifna lokal? Bukankah peringatan maulid nabi bisa menjadi "entry-point" untuk sekedar mengingat siapa sejatinya Sang Rasululullah sebagaimana yang dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayubi (1137 M) ketika harus menanggapi melempemnya gairah umat Islam pada saat itu. Shalahuddin meyakini bahwa pada saat ancaman perang Salib semakin membayang, umat Islam tak memiliki gairah untuk memperkokoh barisan. Motivasi hanya bisa dibangunn bila mereka memiliki "sang idola". Maka Rasul pun dijadikan idola sekaligus ikon gerakan pembangunan umat. Saat itulah maulid Nabi menjadi peristiwa penting yang men"charger" semangat dan perjuangan kaum Muslimin.

Apapun simbol dan moment yang dibuat, biarkan dia menjadi ajang yang bisa dinikmati oleh semua orang. Maulid nabi bisa menjadi moment-moment peringatan, namun yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita mengikuti pribadi dan kepribadian Rasul penutup zaman ini, yakni akhlak yang "par-excellence". Aku yakin bahwa perilaku korup para pemimpin umat tak lain karena mereka telah meninggalkan ajaran Sang Rasul. Aku ingat kata-kata bijak Syauki Beyk yang mengatakan, "Sebuah bangsa akan bediri kokoh bila mereka berpijak di atas landasan moral yang kuat, namun sebuah bangsa akan hancur lebur ketika moralitas dinistakan." Mungkin saat ini agama tak lagi indah karena manusia tak mau lagi menggenggamnya dalam sanubari suci. Agama lebih menjadi hak bagi mereka-mereka yang mengklaim dirinya agamawan yang diberi titah untuk mewartakan "kebenaran" menurut isi perutnya sendiri.

Ciputat, 18 Maret 2008


Monday, March 17, 2008

Bertemu keluarga

Indonesia itu negeri yang penuh dengan kehangatan. Kehangatan yang terus tercipta dalam segala bulir kisah manusianya dan segala iklim yang menyelimutinya. Indonesia adalah negeri dengan 1001 kisah bak di negeri Aladin. Konon kisah Ali-Baba adalah kisah lama yang menjadi nafas ketika republik ini dibangun. Pemberantasan korupsi ternyata malah menyeret mereka yang seharusnya memenggal kepala para koruptor. Seorang jaksa yang mengepalai program pengendusan harta karun triliunan yang hilang malah menerima suap secara terang-terangan. Pengentasan kemiskinan semakin tak jelas ujungnya karena semakin hari, semakin banyak rakyat miskin yang harus tersingkir dari perkotaan. Rakyat miskin adalah penghuni tanah pedesaan nan kumuh atau daerah tertinggal yang dihiasi gisi buruk. Perkotaan bukan tempat yang pas bagi mereka yang papa. Mereka dipandang sebagai penganggu ketertiban dan perusak keindahan kota.

Namun, sebagai warga "ndeso" aku masih layak memiliki identitas sebagai "wong ndeso" yang karena "takdir" harus mengais rejeki di kota besar Jakarta. Sebagai guru aku merasa bangga meski gaji tak seberapa. Apa yang bisa dikorupsi dari seorang guru? Mau korupsi kertas, kapur, buku tulis, spidol, atau jadi penjilat bagi penilik atau pengawas? Ah, aku tak punya bakat untuk itu. Yang jelas aku merasa menikmati profesi sebagai guru; sebuah profesi yang pernah aku citakan saat ku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku kagum benar dengan guru-guruku itu. Mereka santun, berdedikasi tinggi, dan memang berjiwa guru. Mereka menampilkan dirinya sebagai sosok bijak dan sosok yang anggun untuk ditiru. Namun. saat ini aku tak menemukan lagi sosok seperti mereka. Yang ada adalah keluhan dari banyak guru yang tak bisa hidup hanya bergantung menjadi guru.

****

Berbulan lamanya tak menghirup udara kampung halaman membuatku merasa jenuh. Saat ku sedang sendiri, sering terlintas banyak bayang wajah orang yang kukasih. Wajah almarhum ayah, almarhum kakek, almarhumah nenek, almarhum paman, almarhumah bibi, dan wajah ibuku yang semakin keriput. Mereka adalah orang-orang yang sanggup menanamkan kesederhanaan dalam diriku. Kebersahajaan adalah nirwana yang bisa dinikmati dalam arus hegemoni materialisme yang akut. Biarlah dianggap "wong aneh" di zaman edan ini. Yang penting "nrimo lan sadermo anglakoni" (menerima dan menerima apa adanya). Jangan "neko-neko", lakukan hidup sesuai dengan kemampuan. Demikian nasihat yang masih terekam dalam sanubariku.

Tanggal 7 Maret, 2008. Aku sempatkan diri untuk mudik ke kampung halaman. Istriku tak bisa ikut karena banyak tugas di kampus. Tak apalah, aku mudik sendirian untuk kembali menginjakkan kakiku di kampung penuh kenangan. Jakarta bagiku adalah tempat singgah, sedangkan kampung halaman adalah tempat ku menikmati hidup penuh perenungan. Slawi Ayu tak lagi seayu dulu. Bangunan bersejarah sudah banyak digerus oleh palu pembangunan. Manusia rakus lebih suka menikam memorinya sendiri. Bahkan mereka tak ingin generasi muda menyimpan koleksi kebanggan atas masa lalu nenek moyangnya.

Kerusakan ekologis semakin kentara. Sungai dekat rumah yang dulu pernah menjadi tempatku bermain telah kering dan tercemar. Dulu masih banyak ikan yang bisa dipancing, seperti lele, wader, mujahir, sepat, nila, dan betik. Sekarang semua telah lenyap karena manusia telah merusak kawasan hidup mereka. Pohon yang berderet rindang di sepanjang jalan pun telah ditebang dan diganti dengan pohon palem yang gersang. Aku jelas kehilangan suasana rindang masa laluku. Saat ku tilik sawah ladang yang biasa aku lalui dengan ayahku sambil bersepeda sore, tak lagi ada burung pipit berkicau atau emprit mencuri padi. Burung gagak atau burung elang yang berkitar gagah tak lagi kulihat. Bahkan yang menjadi aku semakin terenyuh adalah anak desa yang sudah "gagah-gagahan" memanggul bedil angin untuk menembak burung gereja dan emprit yang masih tersisa. Semua lahan telah menjadi perumahan. Gersang nian kampungku. Kemana lagi akan kutemukan nuansa masa lalu? Untuk bernafas saja rasanya aku harus berebut dengan banyak manusia lain karena deretan rumah semakin menjejali kawasan hunian yang semakin sumpek. Tempat bermain anak pun sudah tak ada lagi. Semua berubah menjadi bangunan angkuh yang tak menyisakan rasa "kamanungsan".

Di kampungku, banyak rumah yang dibangun dengan model kota. Semua rumah sudah dikelilingi oleh pagar tinggi. Apakah hal ini menunjukkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan penghuninya? Atau sebagai bentuk pengejawantahan individualisme dan egoisme zaman? Entahlah. Yang jelas aku tak lagi mampu menatap keayuan kampungku. Saat kuberjalan mengitari kota Slawi Ayu. Hanya sudut kumuh yang penuh sampah menjadi hiasan keayuannya. Sampah dibiarkan menumpuk dan membusuk. Lalat berpesta sambil menari dan menyanyikan dengung keriangan mencemooh kemalasan manusia.

Aku masih ingat ketika setiap pulang sekolah, pastilah aku mampir ke Pasar Slawi untuk menemani ayah dan ibuku jualan nasi hingga jam 5 sore. Terkadang aku tak canggung untuk membangun pertemanan dengan anak gelandangan dan pengemis yang biasa mangkal di pasar. Sampai-sampai aku pun mengikuti kemana mereka pergi dan tahu dimana mereka tinggal. Lorong jembatan adalah hotel mewah yang biasa mereka singgahi, atau emperan toko adalah losmen yang biasa mereka nikmati. Terkadang akupun mencari buah-buahan yang tercecer di pasar bersama mereka. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku menikmati buah-buah yang bercecer di lantai pasar bersama kawan-kawanku itu. Sekarang pasar itu sudah tak ada lagi. Sudah dibuldoser dan diganti oleh ruko-ruko mewah. Sementara pedagang kecil harus lari ke pasar yang terletak di tengah pesawahan, Pasar Trayeman! Berdagang tak laku, membuat mereka lesu. Masa depan suram dan kematian pasti membayang akibat hari kelabu terus mengharubirukan kehidupan mereka tak terkecuali kehidupan ayah-ibuku. Tahun 1991 adalah tahun mushibah bagi para pedagang kecil akibat keangkuhan proses pembangunan yang tak memihak rakyat kecil.

****

Ironisnya, di dekat bekas lokasi Pasar Slawi, sekarang telah berdiri toko-toko besar yang menancapkan taring monopoli usaha. Lagi-lagi para pedagang kecil menjerit tak mampu bersaing. Gusti Allah, mengapa banyak manusia yang berasal dari desa tak mau memperjuangkan masyarakat desa yang mampu mandiri tanpa mengemis sesiapapun. Mengapa banyak anak desa yang menjadi pejabat sudah begitu lupa penderitaan orang-orang desa? Saat ku berkumpul dengan keluargaku. Aku tatap wajah ibuku yang sudah tak lagi muda. Sakit-sakitan. Apalagi kalau cuaca hujan dan dingin, maka kambuhlah penyakitnya. Aku sedih dengan kondisi kampungku dan aku harus sedih melihat kenyataan bahwa waktu adalah pelumat kehidupan yang maha dahsyat. Yah, mungkin karena waktu yang bergulir terus, maka banyak perubahan yang tak kuiinginkan. Andai aku memiliki tali kekang waktu, maka akan aku hentikan perubahan dan kematian. Lunturnya ayu kampungku, apakah karena waktu yang terus bergulir itu? Ataukah manusia yang tak peduli lagi bahwa waktu akan membinasakan mereka?

Ciputat, 17/8/2008

Tuesday, March 04, 2008

Ayat-Ayat Cinta



Hari Minggu, 2 Maret 2008, sepulang diskusi seharian di Wisma Syahida, aku langsung menikmati air dingin dari dispenser di rumah. Ketika aku sedang asyik menikmati acara berita di teve, istriku menghampiriku dan bercerita bahwa dia baru saja pergi ke Depok untuk menyaksikan sebuah film Indonesia dengan sang keponakan. Aku heran karena selama ini dia adalah orang yang paling nyinyir kalau berbicara film Indonesia. Selalu dia katakan bahwa film Indonesia tak mampu membuat kita cerdas; film Indonesia tak memiliki sensitifitas sosial; film Indonesia hanya mengumbar amarah dan makian, dan sebagainya. Namun kali ini dia malah kesengsem dengan sebuah film Indonesia.

"Kok tumben sih pake acara nonton film Indonesia. Film apa yang kau tonton Yul?", tanyaku menyelidik.
Dia menjawab sambil tersenyum manis, "Ayat-Ayat Cinta."
Aku bertanya lagi, "Bagus filmnya?".
"Bagus deh, kayaknya rugi kalau nggak nonton. Film yang menguras rasa sensitif para penontonya. Bahkan begitu bubar aku surprised banget banyak yang tak berani menatap satu sama lain, karena muka penonton banyak yang sembab larut dalam arus cerita film ini," jelasnya.

Dia meneruskan, "Penonton dibuat tak bergeming dan perhatian mereka tersedot oleh sequel film yang terus terbagi dalam deretan klimaks." Wah, istriku kok kayak pengamat film saja. Aku jadi penasaran dibuatnya.
"Ya sudah kalau begitu, nanti nonton lagi denganku yah," sungutku, karena merasa ditinggal nonton film bagus buatan Indonesia. Aku lebih bangga menonton film-film cerdas karya anak bangsa dibanding harus menonton film-film impor yang hanya mengandalkan pemain terkenal atau film lokal yang hanya bertema horor dan birahi. Banyak film Indonesia yang bagus, semisal Daun di atas Bantal (1998) dengan sutradara Garin Nugroho dan Berbagi Suami (2006) dengan sutradara Nia Dinata adalah contoh film-film berbobot yang masih tersisa dari zaman kalatida perfilman Indonesia.

****

Keesokan harinya, Senin sore, sepulang dari kampus, istriku membawakanku novel berjudul "Ayat-Ayat Cinta" yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy. Novel yang bersampul wajah seorang perempuan yang tertutup kain sorban. Namun sorot mata birunya yang tajam seolah menyiratkan gairah hidup. Novel setebal 418 halaman itu diserahkan kepadaku untuk dibaca. Kebetulan nih, sebelum nonton filmnya, aku harus baca dulu novelnya. Kebetulan aku suka membaca novel dan cerpen dari semenjak SD. Aku ingat novel-novel yang sempat aku lahap belasan tahun silam, seperti Lima Sekawan tulisan Enid Blyton, Hercule Poirot dan Sherlock Holmes tulisan Agatha Christie, Petualangan Huckleberry Fin oleh Mark Twain, The Hardy Boys oleh Franklin W. Dixon, dan lain-lain. Hidup itu penuh gairah bila diisi dengan membaca cermin kehidupan yang dipetik dari alam imajinasi atau realitas keseharian. "Thanks, Yul. I'll read it later. Much appreciated!", kataku sambil praktek berbahasa Inggris untuk memicu dia belajar lagi bahasa Inggrisnya karena tak lama lagi dia harus ke Australia untuk ambil PhD bidang keperawatan.

Selepas shalat Maghrib, aku ambil novel bersampul kuning itu sambil duduk di lantai dan bersandar di pinggir tempat tidur. Aku mulai membaca halaman demi halaman kisah Ayat-Ayat Cinta ini. Sudah bisa ditebak siapa penulisnya, gumamku. Pasti punya latar belakang pesantren dan pernah hidup di Kairo sana. Gaya bahasanya luwes dan puitis. Novel dimulai dengan suasana musim panas di Kairo yang seolah membakar negeri Musa itu. Hembusan angin yang bergulung membawa gulungan debu panas menjadi pembuka suasana negeri bersejarah itu. Cerita berpusat pada sosok Fachri yang digambarkan sebagai seorang pelajar yang ulet, dewasa, dan alim. Komitmen religiusitasnya sangat tinggi. Sebagai pekerja keras dan aktivis dakwah, Fachri yang mandiri terbiasa dengan kegiatan ceramah, menerjemahkan buku, dan talaqqi qira'ah sab'ah dengan seorang Syeikh di sana, disamping rutinitasnya sebagai seorang pelajar S2 bidang tafsir di Universitas al-Azhar.

Novel ini memang berbeda dibanding novel-novel biasa. Kelebihannya adalah kesantunan alur cerita yang lebih mengajak pembaca memahami model pergaulan Islami. Nuansa Islam diramu bukan sebagai sebuah ibadah kaku, namun sebagai nilai dan pandangan hidup tokoh sentral dalam novel ini. Bahkan Fachri yang sangat alim ini digambarkan sebagai sosok yang terbuka. Tidak hanya terbuka sebagai mahasiswa yang bisa bergaul dengan siapa saja, namun pandangan Islamnya merefleksikan sebuah keislaman yang moderat tidak ekslusif dan memahami keragaman. Hal ini bisa dilihat betapa seorang turis yang juga wartawan, bernama Alicia, memutuskan untuk memeluk Islam setelah beberapa kali berdiskusi tentang pandangan Islam soal perempuan dan terorisme. Tidak hanya dia, salah seorang perempuan yang mati-matian mencintai Fachri hingga mengalami penyakit bronto Laila-Majnun pun kemudian memeluk Islam sebelum ajal merenggutnya karena kesengsem dengan kepribadian Fachri yang bisa bergaul dengan keluarganya yang Koptik.

****
Novel ini menggambarkan pergulatan seorang Fachri di tanah rantau yang jauh terpisah dari orang tuanya. Seorang pemuda dari keluarga petani miskin di pelosok desa yang tak terjangkau telepon dan pos. Bermodalkan duit hasil penjualan tanah warisan, Fachri pergi mengembara ke Mesir untuk mengais lautan ilmu. Sosok yang mandiri dan mampu membuat jadwal kehidupan berdasarkan keyakinan agamanya membuat dia banyak dikagumi oleh banyak perempuan. Ada empat perempuan, dalam novel ini, yang memperebutkan hati Fachri. Mereka adalah pertama, Maria, gadis Koptik yang tinggal di apartemen yang sama. Maria tinggal bersama keluarganya. Gadis periang yang hafal surat Maryam dan begitu perhatian terhadap Fachri akhirnya harus menelan pil pahit karena Fachri telah menikahi gadis lain. Kekecewaan yang membuatnya sakit tak sadarkan diri beberapa lama. Atas permohonan keluarganya dan restu sang istri, Fachri menikahi Maria di penghujung hidupnya. Maria pun pernah menjadi malaikat penolong saat Fachri di rawat di rumah sakit karena terkena heat-stroke dan meningitis. Dia secara diam-diam membayar semua biaya rumah sakit dari uang tabungannya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun. Sungguh sebuah pengorbanan cinta.

Kedua, Nurul, seorang mahasiswi Indonesia anak seorang kyai terkenal di Jawa Timur. Nurul pun mengakui keterlambatannya mengungkapkan cinta kepada Fachri karena terganjal malu. Bahkan dalam sebuah suratnya, Nurul menginginkan agar Fachri menikahinya untuk mengobati cinta yang tak mungkin padam. Nurul sering mengirim sms atau telepon ke Fachri, namun Fachri selalu dingin dalam merespon. Padahal dalam hati kecil Fachri, Fachri pun merasakan adanya getar cinta buat Nurul. Bahkan kawan-kawan satu flatnya sering menggoda Fachri bahwa Nurul adalah "the right choice". Cintapun kandas tanpa memiliki.

Ketiga, gadis bernama Noura yang ia selamatkan dari kekejaman ayah angkatnya. Noura berhasil melarikan diri dari keluarga kejam tersebut atas bantuan Fachri dan sahabat-sahabatnya. Noura selalu disiksa dan diperlakukan kasar oleh semua anggota keluarga angkatnya. Noura yang berkulit putih dan berambut pirang kemudian menemukan keluarga aslinya. Noura sempat mengungkapkan perasaan cintanya yang menggebu kepada Fachri melalui surat. Bahkan dia rela untuk menjadi seorang hamba cinta bagi Fachri. Noura pun harus menelan pil pahit, Fachri tak bisa menerima cintanya. Noura yang kecewa ternyata memfitnah Fachri atas kehamilan yang dia alami. Namun, dalam pengadilan terbukti bahwa ayah angkatnya lah yang telah memperkosa Noura. Penderitaan Fachri di sebuah penjara bawah tanah menjadi kisah pilu tersendiri dalam novel ini karena pencitraan politik di Mesir yang sangat buram.

Keempat adalah Aisha, gadis keturunan Jerman yang paling beruntung. Dialah yang berhasil menambatkan cintanya di hati Fachri. Pertemuan pertama di metro membuatnya jatuh hati pada budi pekerti Fachri yang luar biasa. Gadis kaya raya yang memiliki warisan perusahaan dengan omset jutaan dollar meminta Fachri menjadi suaminya. Bahkan kesalehan Aisha digambarkan begitu sempurna. Meski dialah sang pemilik harta, namun Aisha memperlakukan Fachri sebagai sang pemimpin keluarga. Kriteria istri bagi Fachri adalah seorang yang shalihah dan mau tinggal di Indonesia. Tak dinyana dan diduga, ternyata Aisha menyatakan kesanggupannya untuk tinggal di Indonesia. Kelembutan Aisha tercermin dari kebesaran hatinya untuk mengizinkan suaminya menikahi Maria yang sedang sekarat. Itupun karena Aisha ingin menyelamatkan sang suami dari jerat hukum yang dipasang Noura. Adapun Maria adalah saksi kunci atas apa yang terjadi. Maria sempat sadar ketika Fachri menyanggupi untuk menikahinya dan membisikkan kata-kata cinta yang membakar semangat hidup Maria.

****
Agaknya novel ini adalah satu jalinan yang berisi lekuk-lekuk kehidupan yang berisikan jaring-jaring cinta di tanah Musa. Cinta digambarkan sebagai sesuatu yang menyala tanpa batas waktu. Cintapun diekspresikan tanpa vulgar dalam cawan kesantunan meski cinta pun tak perlu memiliki. Novel inipun berkisah tentang perilaku perempuan modern yang lebih bisa ekspresif menyatakan cinta. Daun-daun cinta yang terbakar menghangatkan racikan kisah dalam novel ini. Fachri bagaikan intan yang diperebutkan di pasaran cinta. Novel ini juga menyelipkan pesan tentang Islam yang substantif. Bukan Islam yang berbalut di atas kulit tanpa jiwa.

Nah, setelah aku baca novelnya, nanti akan aku tonton filmnya. Sudah barang pasti kalau film akan lebih memiliki efek dan deviasi alur untuk lebih menghidupkan cerita. Ayat-Ayat Cinta mudah-mudah saja bisa menjadi starting point bagi produktivitas novel-novel romantis yang santun serta munculnya film-film cerdas yang mendidik.

Ciputat, 5/3/2008

Monday, March 03, 2008

Humanisme Pendidikan


Ada sebuah surat yang tak bernama berbunyi begini:

Dear Teacher,

I am a survivor of a concentration camp. My eyes saw what no man should witness: gas chambers built by learned engineers, children poisoned by educated physicians, infants killed by trained nurses, women and babies burned by high school and college graduates. So, I am suspicious of education.

My request is: help your students become human. Your efforts must never produce learned monsters, skilled psychopaths, educated Eichmanns. Reading, writing, and arithmetic are important only if they serve to make our children more human.

(Dikutip dari : Fiona Carnie. Alternative Approach to Education: a Guide for Parents and Teachers. NY:RoutledgeFalmer, 2003. hal. 9).

Kegundahan sang penulis surat agaknya menjadi kegundahan dan keresahan banyak pihak yang menjadi stakeholders pendidikan. Ketika anak-anak mereka disekolahkan di sebuah sekolah, perilaku mereka justru semakin buruk, mereka lebih piawai berbohong dan memanipulasi uang, mengalami penurunan sisi afeksinya, dan tidak lagi memiliki sensitifitas sosial dan kultural. Budaya kekerasan menjadi karakter utama ciri khas sekolah nasional. Murid sekolah dasar yang terlibat tawuran, narkoba, dan kecanduan film porno agaknya sudah jamak. Bahkan menurut keponakan saya yang masih duduk di kelas enam sebuah SD di pinggiran Jakarta, diantara kawan-kawannya, terdapat sekelompok siswi SD yang memiliki kebiasaan jalan-jalan di mall berlagak bagai perempuan nakal. Tidak hanya itu mereka memiliki 'gang' eksklusif penikmat film biru yang sepatutnya ditonton oleh orang dewasa.

Kaum akademisi dan intelektual ternyata pun membuang cagar intelektualitas dan menginjak-injak nilai-nilai akademik demi ekspresi anarkis. Sisi humanis dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka di-DO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar dengan maraknya 'ayam kampus' dan transaksi narkoba adalah wajah buram generasi muda Indonesia. Apa yang terjadi dengan mereka?

Sungguh sulit untuk menunjuk hidung penyebab semua ini. Kalau ada orang bertanya, "Siapa yang harus dipersalahkan?", maka salahkanlah kita semua sebagai sebuah sistem dan pranata hidup yang sistemik. Institusi pendidikan hanyalah partikel kecil dari sistem makro sebuah bangsa. Karena posisinya yang sentral sebagai penjamin denyut nadi kehidupan bangsa, maka institusi pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi permasalahan sosial di masyarakat. Institusi pendidikan tidaklah berdiri sendiri dan ia tak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa ada proses dialektika terhadap perubahan zaman yang mengitarinya. Sangat susah untuk menjawab apakah institusi pendidikan yang mampu merubah haluan hidup masyarakat, ataukah masyarakat sendiri yang merubah arah tujuan pendidikan? Pertanyaan ini sama halnya dengan mana yang duluan telor ataukah ayam. Jika anak-anak yang dididik di institusi pendidikan malah menjadi tidak lebih baik, maka minimal kita harus menganalisa melalui beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, faktor internal. Faktor internal merupakan pengejawantahan kekuatan sebuah bangsa. Faktor sosialisasi dan pewarisan nilai sebagai bentuk pendidikan non-formal sudah tak berfungsi lagi. Pola dan norma hidup yang telah berubah menyebabkan perilaku manusia menjadi semakin tercabut dari akar lamanya. Proses pencabutan ini terjadi ketika masyarakat sudah tak patuh lagi dengan koridor nilai yang dihormati. Seorang anak yang tidak memiliki kenyamanan dalam rumah, cenderung untuk bertindak frontal dan aharmonis dengan lingkungannya. Watak asosial terjadi karena faktor pewarisan nilai negatif dalam rumah. Seorang anak yang terbiasa dengan fenomena judi menjadikan dia tak lagi melihat judi sebagai bentuk penyakit masyarakat. Renganggnya hubungan anak dengan orang tua berimbas kepada renggangnya kehidupan masyarakat. Individualisme terus menggerogoti intimasi kelompok masyarakat. Mereka seolah hidup di dalam sangkar besi (iron cage). Penguatan nilai-nilai lokal yang arif sudah tak laku lagi.

Kedua, faktor eksternal. Gempuran nilai dan budaya yang berasal dari luar membuat sebuah bangsa kehilangan identitasnya. Pasca reformasi sebagai pintu gerbang kebebasan manusia Indonesia ternyata mengakibatkan panen buah simalakama. Kebebasan yang tak dibatasi malah melanggengkan watak anarkisme dalam jiwa anak bangsa. Hal ini disebabkan kebebasan sekelompok orang boleh jadi merugikan sekelompok yang lainnya. Penzaliman menjadi tradisi unik bangsa ini, kezaliman lawan kezaliman. Demokrasi diterjemahkan secara serampangan, yakni kebebasan individu. Bangsa Indonesia dipaksa mencaplok idiologi yang tidak sesuai dengan kultur dan kepribadian bangsa. Kita lebih suka terperangkap dalam adagium "think locally, act globally". Dari hal ini, maka yang terjadi adalah manusia yang suka berpenampilan luar negeri, tapi otak dan perilaku merefleksikan selera rendah dan hina.

Di luar dua faktor itu adalah faktor negara yang belum maksimal memanggul palu hukum. Komitmen pemerintah untuk membangun generasi muda Indonesia ke depan harus dimulai dengan payung hukum yang jelas. Semua komponen dan potensi bangsa harus diarahkan demi tercapainya bangsa yang cerdas. "Mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai cita-cita nasional akan menjadi isapan jempol belaka kalau tak didukung oleh komitmen riil para penyelenggara pemerintahan. Komponen hukum digunakan untuk mendidik anggota bangsa yang bersalah. Komponen informasi disediakan untuk menambah wawasan para anak bangsa, bukan untuk menikmati fitnah duniawi. Komponen aparatur negara disiapkan untuk mengawasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kalau negara tak memiliki komitmen, maka yang ada adalah penghambaan para penyelenggara negara kepada para pemilik modal. Para pemimpin akan mengemis kepada para cukong dan membiarkan para rakyat semakin bodoh oleh proses pembodohan yang teratur dan sistemik. Para pemimpin takut tidak populis apabila harus berdiri atas nama rakyat. Di sinilah awal mula hilangnya humanisme di kalangan manusia Indonesia. Agama tak mampu lagi menjadi sumber inspirasi dan bertindak, karena insan agamanya pun terseret oleh kepentingan politis yang menghamba pada para pemilik rupiah.

Humanisme dalam pendidikan itu perlu agar para peserta didik mampu membangun empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Pendidikan harus lebih mampu menggali kearifan lokal dan ajaran agama yang mendukung konsep 'rahmatan lil-alamin' bagi semua makhluk. Pelajaran bahasa seharusnya diarahkan bagi kelembutan perasaan para peserta didik. Pendidikan matematika seharusnya diorientasikan bagi penyiapan anak-anak yang jujur dan mandiri. Pendidikan agama seharusnya lebih menitikberatkan pada bagaimana peserta didik mampu menghormati dan menghargai satu sama lain dalam wadah kerukunan umat. Agama diajarkan agar manusia menjadi lebih manusia, bukan terjerembab dalam kubangan hewani. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di atas itu semua, adalah kultur kondusif sebuah negara dan sekolah dimana peserta didik nyaman belajar harus diciptakan. Untuk menggali potensi humanisme pendidikan, maka filsafat pendidikan harus mampu merenungi sebuah pertanyaan yang mendasar, yakni "Kemana arah pendidikan nasional Indonesia." Apakah pendidikan bisa dianalogikan sebagai usaha menanam tanaman, membuat kompor, menyalakan api ataukah, menuang air ke dalam botol?

Wass,
Ciputat, 4/3/08

Sekolah Internasional


Pulang ke Jakarta membuatku terkesiap dengan berbagai model pendidikan di tanah air. Yang jelas saat ini terlalu banyak elitisme pendidikan muncul menjadi trend gaya hidup manusia kota. Sekolah-sekolah kaum elit semakin merajai peta pendidikan nasional. Sementara itu banyaknya sekolah yang ambruk dan hampir ambruk menjadi fenomena lain di alam pendidikan kita. Indonesia adalah negeri dengan warna kontras yang sangat kental. Antara kaum papa dan kaum kaya seolah menawarkan sebuah jurang dalam yang tak mungkin bisa ditimbun dengan serpihan nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini bukanlah sebuah pandangan pesimis atau apatis dalam memandang realitas sosial Indonesia. Sementara anggota DPR menikmati fasilitas negara yang dibayar oleh jerih tetes keringat anak bangsa, rakyat miskin semakin tergencet oleh kebijakan yang disokong para wakilnya. Rakyat miskin antre minyak tanah dan minyak goreng. Orang kaya antre di mall-mall mewah dan swalayan terkemuka untuk memuaskan nafsu 'shopping'-nya dengan menghamburkan jutaan rupiah. Orang kaya berduyun-duyun ke gerai telepon genggam mutakhir, sementara kaum miskin berebut sembako gratis hingga megap-megap hampir kehabisan nafas. Indonesia negeri dengan warna kontras.


Hidup konsumtif menjadikan masyarakat papa semakin suram. Mereka telah tercerabut dari akses ekonomis untuk mencicipi indahnya hidup. Impian mereka biasa dibangun melalui film-film India, telenovela, atau sinerton-sinetron murahan yang dibuat asal-asalan. Kebanyakan mengumbar kehidupan mewah tanpa berfikir perasaan manusia miskin yang menghuni kolong langit Indonesia. Kalau toh sebuah sinetron menggambarkan orang miskin, paling banter adalah orang miskin yang terus menikmati kesialannya yang kemudian menemukan mukjizat dari langit, bak dongeng Cinderella. Negeri dengan manusia konsumtif seolah membangun budaya tanpa identitas dan kepercayaan diri. Produk pertanian dalam negeri kalah di negeri sendiri ketika harus bersaing dengan buah-buahan, bawang merah, kacang kedelai, dan pisang tandan impor. Pakaian buatan dalam negeri kalah pamor dibanding merek-merek ekslusif dan glamor yang didatangkan dari luar negeri. Tak heran banyak produsen lokal yang sengaja membuat model dan produk dengan merek luar negeri agar bangsa ini semakin percaya diri. Orang miskin dipaksa menolak takdir dengan cara instan melalui label dan merek. Sementara itu orang kaya semakin menghamburkan kekayaannya berbelanja atau melancong ke luar negeri. Bila perlu duit haram pun diparkir di luar negeri!


Bangsa ini kehilangan kepercayaan dengan dirinya sendiri. Salah satu akibat dari penyakit akut ini adalah berdirinya sekolah-sekolah dengan papan nama super bombastis. Nama-nama yang tak lagi menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi nama-nama yang dibuat dengan bahasa Inggris, semisal Multicultural International School, International School, Lab School, Internationally Accreditted School, dan sebainya. Semua gila bahasa Inggris dan semua gila dan latah menggunakan kata-kata 'international'. Sampai-sampai sekolah-sekolah dengan label Islam pun tak mau kalah dengan menggunakan papan nama berbahasa Inggris dan terma 'international'. Kalau urusan biaya masuk, jangan tanya lagi. Sekolah-sekolah ini bisa menghabiskan puluhan ekor sapi jika seorang anak disuruh sekolah di sana. Bagi rakyat miskin tak usah bermimpi karena sekolah tersebut hanya dikreasi untuk orang kaya. Ada kawan saya yang mudah bergurau, kebetulan dia adalah salah seorang staff sekolah internasional. Dia bilang, "Lha kalau mau sekolah pintar dan fasilitas hebat, yah harus bayar mahal dong." Lagi-lagi saya harus mengernyitkan dahi mengingat anak-anak jalanan yang terpaksa membunyikan botol plastik berisi beras dan bernyanyi di dalam busa kota atau perapatan lampu merah. Mereka biasanya membagikan amplop kosong bertuliskan, "Bapak-ibu tolong saya. Saya ngamen untuk makan dan sekolah."


Ada lagi yang berpendapat bahwa sekolah-sekolah mahal memang dibuat agar orang-orang kaya di Indonesia tak lagi mengirimkan anak-anaknya sekolah di Australia, Amerika, atau Singapura. Cukup mereka mengirimkan ke sekolah dalam negeri bertaraf internasional! Lalu, ada perasaan getir dalam anganku, "Apakah ke depan tak akan menciptakan dikotomik masyarakat yang kontras hasil didikan lembaga pendidikan?, yakni masyarakat kaya dan masyarakat miskin yang dididik di dalam bilik yang berbeda." Bahkan dunia bisnis saat ini mampu mengkreasi taman bermain anak-anak yang diperuntukkan bagi keluarga elit. Mereka diperkenalkan dengan berbagai profesi elitis, seperti dokter, pramugari, bankir, dan eksekutif. Jangan harap ada profesi petani, tukang becak, tukang ojek, pedagang kaki lima, seniman, dan profesi yang dipandang orang sebagai profesi "non formal", pinggiran, dan kelas kere! Padahal profesi ini adalah milik mereka yang kreatif yang mampu berusaha mencari harta halal sehalal-halalnya. Lagi-lagi dunia Indonesia sudah menciptakan kapling sosial yang diametral.
Entah puluhan tahun ke depan generasi-generasi ini akan mewarisi negeri kontras Indonesia dan mereka akan membuat elitisme sosial yang mungkin berujung pada sebuah revolusi sosial. Hal ini mungkin saja terjadi karena kecemburuan orang-orang miskin yang selama ini digerus oleh proses pembangungan yang sejatinya disokong oleh kaum elit yang tak bernurani kerakyatan. Aku ingin membangun sebuah sekolah bertaraf internasional tanpa aku tuliskan "International' di papan nama sekolah itu; aku ingin membuat sekolah hebat, tapi menggunakan nama Indonesia, nama lokal tanpa perlu latah memakai bahasa Inggris. Sekolah hebat yang bisa menerima anak-anak orang miskin tanpa harus pusing berfikir tentang biaya. Tapi, inipun butuh modal yang tak sedikit. Mudah-mudahan ada orang-orang kaya yang mau kembali ke 'khithoh'-nya sebagai orang orang-orang miskin. Khitoh miskin bermakna sebuah kesadaran hakiki bahwa dahulu mereka terlahir dalam keadaan miskin dan telanjang, sedangkan harta yang mereka nikmati saat ini hanyalah titipin Sang Maha Kaya. Sebagai orang miskin, pastilah mereka mau mendukung sesama orang miskin. Aku ingin Indonesia lebih maju dalam kebersahajaan; aku ingin agar Indonesia lebih maju dengan dukungan warganya yang kreatif tanpa takut sengsara. Kemanjaan adalah kebodohan yang menafikan kreatifitas! Masihkah kita mau terperdaya oleh kemasan yang diberi nama yang sejatinya mengindikasikan inferioritas sebuah bangsa?


Ciputat, 3/3/2008