Thursday, May 25, 2006

Hambar

Hari ini

Seakan pagi tersenyum hambar
karena aroma indah membentur tawar
Baru kusadar bahwa tawa adalah sekejap
begitupun sedih tinggalkan senyap

Aku tahu bahwa rasa hanya sebatas lidah
bukan abadi ketika lenyap di tumpukan sampah
Kutercenung ketika hidup memoles realita
menggilas ceria dan meluluhlantakkan semua asa
Padahal semuanya berawal dari sepatah kata

tiadakah sadar bahwa warna pelangi selalu ada
tuk menoreh harap bahwa tidak semua nafas adalah duka

Melb,26/5/06

Monday, May 08, 2006

Sisa Cinta

Angin malam di penghujung musim semi semakin keras. Dingin menusuk tulang. Lola duduk dekat perapian sambil merapatkan lututnya ke tubuhnya. Tangannya melingkar dan mendekap kakinya yang jenjang terbalut jeans warna hitam. Dagunya disandarkan di antara lututnya. Lola memandang jilatan api yang menari-nari menyeruak di atas pori-pori kayu pinus. Pijar kuning dan biru menyala memancarkan keindahannya sendiri. Malam itu suasana rumah sepi, Mas Aryo sedang keluar kota untuk keperluan bisnisnya.

Seulas senyum menghias bibir Lola. Ingatannya ternyata mengetuk lembar-lembar memori masa lalunya. Lola masih ingat kejadian tadi siang ketika dia jalan-jalan di Swanston street untuk sekedar window shoping di deretan pertokoan yang biasa dipenuhi oleh orang yang lalu lalang dari dan menuju stasiun kereta Flinders Street. Suara roda besi trem listrik yang beradu dengan relnya mengeluarkan bunyi derit khas di sepanjang jalan Swanson menyesuri jantung kota yang dihujami oleh gedung-gedung tua. Trem listrik menjadi maskot kebanggaan kota Melbourne. Lola masuk toko sepatu untuk sekedar mencoba beberapa model sepatu yang disukainya di salah satu gerai sepatu. Kebetulan saat itu sedang obral. Lumayan untuk memanjakan diri dengan ukuran ekonomis. Interior gerai terlihat manis dengan deretan sepatu yang dipajang rapi dengan sentuhan seni dan desain cantik. Beberapa sepatu berhak tinggi ditaruh di atas lemari kaca di pojok ruangan. Tak ketinggalan sepatu-sepatu boot mirip yang dipakai oleh penyanyi country Dolly Parton dipajang berundak-undak di etalase.

“Ini dia, model yang kucari”, gumam Lola seraya mengambil sepasang sepatu kulit merek Clarks warna hijau muda. Dia segera mencari bangku kecil untuk mematutkan sepatu di kaki mungilnya. “Pas ukurannya…”, senyum Lola mengembang. Ketika Lola sedang memandangi sepatu di kakinya, tiba-tiba ada suara laki-laki memanggil nama lengkapnya, “Lola Agustina…”. Yah, suara yang pernah akrab di telinganya beberapa tahun lalu. Sekejap darahnya terserap deras oleh degup jantung yang tiba-tiba bertalu kencang. Lola menengok ke arah suara itu. Ya Tuhan, ternyata Anton sudah berada di belakangnya. Laki-laki yang pernah menghias dinding hatinya. Senyum Anton dengan deretan gigi putih rapi menyentak kebengongan Lola, “Apa kabar Lo…?”. “Baik, lho kok kamu ada di sini Ton?”, cepat-cepat Lola menampik kemasyghulan hatinya.

“Sudah lama kita tak bertemu yah. Mungkin ada sekitar enam tahunan”, cetus Anton untuk menepis kebekuan sambil mengulurkan tangannya ke arah Lola. Lola mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Anton. Ada getar indah yang menyelusup perasaan Lola. “Lo, bagaimana kalau kita ngobrol sebentar di warung kopi di depan sana?”, usul Anton. Anton selalu saja menyebut cafe dengan istilah warung kopi. Lola hanya mengangguk dan ditaruhnya sepatu yang sudah dicobanya di tempat semula. Kebetulan suasana saat itu agak cerah dengan sinar mentari lembut tanpa terik. Anton memesan kopi late dua gelas dan croissant keju dua potong dalam piring berbeda. “Ton, kamu kok ada di sini?”, Lola mengulangi pertanyaannya sekali lagi. “Kebetulan saja Lo, aku ada seminar di Melbourne selama empat hari. Nah, tadi ketika pas aku jalan-jalan, aku ingin membelikan oleh-oleh untuk Mira, istriku. Aku berpikir untuk membeli sepasang sepatu saja. Tapi ketika aku masuk toko itu, nggak dinyana dan nggak diduga tiba-tiba aku melihat kamu lagi nyobain sepatu. Awalnya aku ragu, namun aku beranikan untuk menyebut nama lengkapmu. Syukurlah ternyata kamu mengengok…”, sahut Anton sambil menyeruput late-nya. “Eh, ngomong-ngomong bagaimana keadaanmu di sini, bagaimana dengan Mas Aryomu?”, tanya Anton seakan menyelidik. Lola pura-pura tersenyum dan berkata, “Baik-baik saja, Mas Aryo saat ini lagi sibuk mengerjakan proyek otomotif di Queensland. Mungkin dalam dua hari mendatang dia balik ke Melbourne.”

Anton menarik nafas dalam, kemudian dia berkata dengan nada berat, “Lo, sejujurnya aku nggak bisa melupakan kamu. Ketika tiba-tiba kamu menghilang, aku bingung dan sedih. Aku tanya Mas Ditya, kakakmu. Katanya kamu tak ingin lagi ketemu aku. Aku tak tahu apa sebenarnya yang membuatmu demikian…”. Lola hanya terdiam. Dia sengaja menghindari Anton karena desakan ibunya yang tak setuju dengan jalinan hubungan mereka. Lola masih ingat ketika ibu Anton mengatakan bahwa Anton tak sepadan dengan Lola yang tak jelas asal muasalnya. Ibu Anton memberi tahu bahwa Anton akan dijodohkan dengan Mira anak perempuan sahabat ayah Anton. Sejak saat itu Lola tidak mau bertemu lagi dengan Anton meski hal itu dirasakan berat sekali. Lola rela berkorban demi kebaikan Anton dan Mira. Untuk mengurangi kepiluan hatinya, Lola memutuskan untuk kuliah di RMIT Melbourne. Perjalanan hidup Lola ternyata membawanya kepada takdir lain. Di Melbourne dia bertemu dengan Aryo dalam sebuah pesta ulang tahun. Untuk menepis bayang-bayang Anton, Lola pun menerima cinta Aryo.

Lola menatap mata Anton, “ Maafkan aku Ton, namun aku lakukan untuk kebaikan kamu dan Mira. Aku tak memungkiri bahwa saat itu aku butuh cinta yang pasti. Harapanku saat itu adalah kamu. Namun sekali lagi cinta tidak harus memiliki, dan cinta harus melihat realitas…”, suara Lola tercekat dan matanya terlihat sendu. Anton terdiam, tatapannnya tak lepas dari wajah Lola. Kemudian Anton menggenggam tangan Lola. Antahlah mengapa saat itu Lola tak mampu menolak dan bahkan menikmati genggaman tangan Anton. Sekejap kemudian bayangan Aryo melintas di benaknya. Seketika itu juga Lola menarik tangannya dari genggaman Anton, "Maaf Anton, aku sudah menjadi milik orang lain. Maafkan aku, aku harus buru-buru balik ke kantor. Jam istirahat lunch-ku sudah habis." Anton hanya tersenyum dan bias sesal terlihat di air wajahnya, "Maafkan aku Lo, aku tak bermaksud demikian. Namun bolehkah aku punya nomor teleponmu. Aku tak ingin persahabatan kita kandas sampai di sini." Lola bingung dan tak tahu harus menjawab apa. Keraguan di hatinya muncul dan dia tak tega untuk menyakiti orang sebaik Anton. Apakah ini berarti bahwa sesungguhnya denting cinta masih saja bernyanyi di dalam hatinya?

Sweat and Sweet

Early March 2003 was the onset of my life history when I came alone to the 'grey' city of Melbourne. I came for study at Monash University under the sponsorship of Australia-Asia Award. I thought my feelings were just the same with these of other international students when they embarked at the first time on such a lonely place. I'd never dreamt to be a 'Melbournian'. Adjusting myself to the exotic weather of Melbourne was little bit thorny, as I just realised that this city is indeed a heaven with four seasons in one day. Melbourne was unlike Jakarta whose weather is warm and humid all the times. Yet, sooner I began to acclimatise myself to such a new environment and enjoyed often drastic climate changes. Natural climate was not that big deal as my body can easily fiddle with such a unique climate. Nonetheless, heaps of pitfalls were waiting for me at this fortress of intellectual training. In this short essay I would like to share my happiness and sorrow as an International student. So that why I put title “sweat and sweet being an international student” for this article.

It was my second stay in Australia, as in 1999 to 2000 I lived in Adelaide doing my masters at Flinders University under the support of ADS. Living in Melbourne was quite new experience for me. It was then I had to learn to adjust my life with the academic climate at Monash University. In the beginning, I did not know what I should do as a new PhD student at the School of Education. My campus was located in Clayton. On the first week I just wandered and strolled around the campus by my own, tried to familiarise myself with the buildings and facilities. I found it was quite stunning and interesting, since the campus provided whole range of facilities for various students.

Religious facilities are also provided for multi-faith students at the religious centre. I saw a Muslim prayer room at the centre was available for Muslim students. The Beddoe ‘mosque’ that was located in the end north-west of campus was the meeting point for Muslim students. Booklets on Islam and halal food were also available at the administration building; the information was very informative and helpful for me as a new Muslim student. Hence, I did not find any serious problem in conducting my belief and ritual activities.

Being a PhD student, I had to admit that my life activity was considered as a twenty-four hour and seven day activity. I found no holiday at all, as times were so demanding and critical. Clock always ticked endlessly and run so preciously. Thanks to Monash University that provided a 24 hour access for a student like me. There was no word “finish” after seeing my supervisor, as there was always one task after another, headache after headache. For example, after having discussion and receiving my supervisor's feedbacks I had to think of doing another thing. Days were always full of reading and writing. When I was getting stuck and being trapped within the cage of nowhere, I questioned myself as to why my mind just went idle and was empty of creativity. In this condition, I was so gloomy and frustated.

It was often distressed when I had to devour books that full of difficult words and knotty discussion. I know it was due to my shortages and lacks of reading ability. When I was cornered by this reality, I felt so frustrated and poignant. In addition, I felt flummoxed as to the direction of my study. Sometimes I pushed myself to do something even writing a tiny peace of paragraph. But, I plunged myself into a point of darkness when sitting in front of the computer. My mind was lying idle and was not able to capture ideas let alone push them out from the head. In this frustrating situation, I emailed my supervisor about my obscurity in a hope that I could release myself from such a giddy situation. Additionally, meeting with my supervisor was quite impressive. I found the relationships between students and supervisors are no more than an ‘academic-friendship’. Discussion took place in informal way and there was no such an imposing ideas to me from my supervisor. I always found ideas were offered and suggested. The last decision was laid in my mind whether I accepted them or otherwise. Although it was deemed as an ‘academic-friendship’, be punctual and self disciplined was a must if I had to finish on time. Clearly, in such a friendly atmosphere of discussion I felt very much welcome and privileged in this campus. In short, I felt free from daunting burdens for a while.

To lessen the burdens of academic problems I tried to share my difficulties with my friends in the office and heard their experience in handling such problems. I needed to hear other people’s experiences when they ran into academic problems. I believed my problems were just the same as other international students'. Having nice friends was very beneficial and rewarding in terms of building self-esteem and confidence, not to mention forcing myself to practice my conversation skill in a friendly informal discussion. To develop a good friendship, sometimes we went to the cafés within the campus just for having yarn and refreshing mind and enjoying the fresh air.

In terms of writing up my thesis, I found that the more I wrote, the more I did not know; the more I read, the more I felt more stupid. It was like diving in a deep and dark ocean where I had to portray a clear picture of what I was attempting to unravel. Not only did I explore information from various
literatures, but I was also pushed to use my critical capacity in digesting such information. Like many other Asian students, I did not use to criticise and disagree openly against other people’s opinion, particularly those who were considered as knowledgeable people. I considered the authors from whom I borrow their ideas and my supervisor with whom I always discussed on my study as the knowledgeable people that had to be respected. For me, criticising them was seen culturally impolite and ethically unaccepted. I knew it was wrong perspective, and it indeed took times to be critical. I was told that to be critical, one should apply a negative thinking on everything and tried to question all phenomena surrounding ourselves.

Sharing our thoughts can also be carried out in formal forums, such as conferences and seminars. Through the financial support of the University’s travel grant scheme, I was able to attend and present my work at some occasions, such as national conference at the University of Queensland, Indonesian Conference at ANU, Post-Graduate Conference at Curtin University, International Symposium in Jakarta, International conference in Chiang Mai and the like. Monash was so generous in supporting students to disseminate their findings and work to a wider community inside and outside campus. The forums were very useful in building networks of intellectual and having feedbacks and appreciations from various people.

While I was struggling for the thesis writing-up, I suffered from ‘home-sweet-home’ syndrome. Admittedly, the problem encountered was not only stemming from academic arena, but also from the socio-psychological needs. I had to admit that I was often in need to eliminate my loneliness; I did not want to be only confined to my office and working in front of the computer. I needed a social activity to refresh my mind and just to escape for a while from my hurly burly study. Fortunately, the Faculty of Education always organised student trips every semester and informal afternoon tea with other International students every first Wednesday on each month. I considered these activities were a means of student socialisation and building friendships among International students. I still remembered that my first trip was going to the Great Ocean Road. I was very much delighted as this trip was not exclusively for a particular group of International scholarship students or a specific nation. To develop more 'socialisation' atmosphere, actually I need a kind of morning or afternoon tea forum in which students and staff could gather and know each other. Unfortunately, up to the present day, I could hardly recognise the names of the staff although there was a board of photos of the staff members displayed in the faculty’s foyer. Yet, for me it was no more than a gallery of photos, since there was no regular rendezvous for students and staff at this faculty. I only knew the names of those who were friendly in the faculty.

Socially and culturally, Monash University was rich of cultural diversity. Student centre was evidence where food was not dominated by Aussie food. Luckily, I met some Indonesian students and was involved in MIIS (Monash Indonesian Islamic Society) in which I could enjoy my home-country atmosphere, since this organisation invited monthly gathering to have discussion and taste Indonesian food! Fortunately, I also met some Indonesian elders who had been residing in Australia for many years. It was remarkably noticeable that the Indonesian students and the Indonesian permanent residents in Melbourne could assemble and strengthen the sense of Indonesian nationality in Australia. Perwira and Ikawiria were two social organisations in Melbourne for Indonesian people and those who were interested in Indonesia. Westall mosque is Indonesian Muslim venue where Indonesian Muslims find mosque with Indonesian flavour. Spiritual attachment to the home-country is very evident, especially when the most appalling Tsunami disaster hit Aceh. In Melbourne, Indonesians and other communities were hand in hand to collect donations to help the most victimised of Acehnese. To sum up, living in Australia does not mean that we are only busy with academic and campus lives, but life should not ignore our social activities either in campus or outside campus.

Thursday, May 04, 2006

Pilihan Hidup

“Coba pikirkan dulu Min sebelum kamu memutuskan jadi istri Kang Diran!”. Yu Kasmi terus saja mengulang kata-kata itu kepada Minah, anak gadisnya semata wayang yang agaknya lagi dimabuk cinta dengan seorang duda beranak dua.”Tidak Mbok, saya sudah berfikir terus tiap hari dan mempertimbangkannya masak-masak. Bahkan Minah pun terus berdo’a tiap malam Mbok. Namun, hasilnya tetap saja yang ada dalam lintasan pikiran Minah Cuma Kang Diran”. Minah meyakinkan ibunya sambil terus menyisir rambut panjangnya yang terurai. Ia lakukan itu di depan kaca lemari pakaian yang sudah buram berdebu.

Mbok Kasmi hanya menelan ludah dan menarik nafas panjang mendengar keyakinan Minah yang tak pernah surut. Sambil meninggalkan kamar anaknya, Mbok Kasmi bertanya lagi, “Tapi Mbok tidak yakin kalau kamu bakalan bisa menerima anak-anak Diran yang cacat itu Min…”.
“Tenang saja Mbok, yang namanya jodoh itu sudah diatur oleh Gusti Allah dan kenyataannya Minah selama ini bisa menerima mereka dan ngemong mereka”.
“Contohnya ketika kami jalan-jalan ke pantai Purwohamba, anak-anak langsung akrab dengan saya Mbok…”
“Saya senang dan ikhlash Mbok meskipun Tono cacat kaki dan adiknya, Tini tunanetra”.

Mbok Kasmi tak mau lagi mendengar kata-kata Minah yang menurutnya sudah tak mungkin lagi dirubah. Mbok Kasmi cuma khawatir bahwa Minah akan menyesal dikemudian hari. Minah anak pendiam dan tak pernah sekalipun berpacaran dan mengenal dekat seorang laki-laki. Berkali-kali tak terhitung sudah berapa banyak pemuda di desanya maupun tetangga desanya mencoba mendekatinya, Minah selalu saja menolak. Kepada Mbok Kasmi, Minah menyatakan bahwa semua pemuda yang berusaha mendekatinya tak ada yang sesuai dengan seleranya. Ada-ada saja alasan Minah. Misalnya, ketika Jalal anak Pak Karso, pengusaha batu bata di desanya berusaha mendekatinya, Minah malah berkata bahwa Jalal terlalu gendut dan pendek dan setiap bertandang ke rumah Minah, Jalal selalu saja memamerkan kekayaan ayahnya.

Tempo hari ada lagi Pujo, seorang pemuda desa tetangga yang bekerja di penggilingan beras Haji Ahmad. Pujo berusaha mencuri perhatiannya. Setiap saat Mbok Kasmi pulang dari pasar dan melewati jalan aspal di samping penggilingan beras, tanpa malu-malu Pujo menitipkan salamnya ke Mbok Kasmi untuk Minah.
“Mbok, baru pulang nih”, seru pujo ketika melihat Mbok Kasmi lewat depan tempat penggilingan. Saat itu Pujo sedang meyeruput kopi di warung kecil di pinggir pagar penggilingan. Ia memaksa diri keluar dari warung menyapa Mbok Kasmi.“Jangan lupa Mbok, sampaikan salam saya kepada Minah yah”.
“Iya, nanti Mbok sampaikan. Kenapa kamu tidak mau mampir saja langsung ke rumah?”.
“Wah… nanti saja Mbok kalau ada waktu senggang”, jawab Pujo sekenanya. Padahal dia merasa kurang percaya diri untuk mendekati Minah.

Ketika salam Pujo disampaikan kepada Minah, Minah Cuma menjawab, “Alah Mbok…Mbok… wong anak ingusan kok yah diladeni”. “Lagian untuk apa sih Mbok jadi tukang pos yang nggak mutu itu. Minah masih ingin sendiri kok, peduli apa dengan selentingan banyak orang mengenai Minah”.Mbok Kasmi Cuma mengurut dada mendengar respon Minah yang terus saja memandang negatif setiap pemuda yang mencoba mendekatinya. Ada saja kekurangan setiap pemuda yang berusaha menaruh hati kepadanya.
“Minah… si Mbok cuma tidak mau kalau semua orang pada ngerasani kita. Sudah tidak pantas kalau gadis seusiamu itu malah belum omah-omah!”. “Sudah begitu kamu itu sok pilah-pilih kayak Roro Jonggrang saja!”.“Ati-ati Minah, kalau banyak memilih ntar kamu malah dapat yang tidak mutu!”. Cerocosan Mbok Kasmi seakan memenuhi ruang tamu rumah kecil itu. “Duda juga nggak apa-apa Mbok asalkan sayang dan suka sama Minah” .“Hush!! Kamu ngomong apa sih. Kalau ada dewa lewat bisa kuwalat kamu!”, gerutu Mbok Kasmi. Minah cuma diam cengengesan.

*****
Seusai shalat Shubuh, Mbok Kasmi berpesan kepada Minah kalau ia akan pergi ke rumah Haji Syamsu untuk mengikuti pengajian bakda Shubuh. Lumayan dalam kegiatan itu Mbok Kasmi bisa bertemu dengan kawan-kawan lamanya. Tidak hanya itu dia merasa bahwa kehidupannya semakin bermakna jika mendengarkan ceramah-ceramah Haji Syamsu mengenai hakikat hidup.Mbok Kasmi masih ingat ketika Haji Syamsu berpesan, “Ibu-ibu dan bapak-bapak, ketahuilah bahwa hidup ini cuma mampir ngombe saja. Jadi kalau mampir mestinya harus balik ke tempat asal kita. Kita tidak mungkin ngendon lama-lama di rumah orang yang kita ampiri itu. Makanya tempat kembali kita itu yah cuma ke Gusti Allah…, rumah keabadian”. Mbok Kasmi masih ingat nasihat Haji Syamsu, ” Sejatinya manusia hidup itu harus selalu menelisik setiap dosa yang dilakukannya, karena nek besok mati yang bakal menjadi bekal kita Cuma amal shalih saja, nggih nopo mboteennnn?…”.

Ketika ingat wejangan Pak Haji, Mbok Kasmi jadi teringat Kardi, suaminya, yang meninggal akibat hanyut ketika menggali pasir di sungai Gung. Saat itu Kardi sendirian mengeruk pasir di pinggiran sungai dengan cangkul dan sekop. Ntah bagaimana ceritanya tiba-tiba air bah datang menggulung dan menelan Kardi. Kardi berusaha menyelematkan diri, namun usahanya gagal. Jenasahnya baru ditemukan keesokan harinya mengambang di pintu air di ujung desa di sebelah utara. Saat itu Minah baru berusia empat tahun. Minah belum tahu apa-apa mengenai kesedihan ditinggal ayah. Ia tidak tahu makna kehadiran seorang ayah. Sepeninggal suaminya, Mbok Kasmi berniat bahwa dia tidak akan kawin lagi. Tekadnya cuma satu, yakni ingin membesarkan dan mendidik Minah. Meski dimaki-maki banyak orang kalau menjanda itu banyak godaan dan fitnahnya, Minah bersitegang bahwa cinta pertamanya adalah Kardi dan tak akan menikah lagi. Padahal saat itu Mbok Kasmi masih tergolong muda, dua puluh lima tahun!. Ia bertekad untuk menjadi single parent di desanya. Semenjak itu ia bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan anak gadis semata wayangnya. Pekerjaan yang dia lakukan hingga saat ini adalah tukang cuci dan seterika.

Lamunan itu seketika buyar ketika tiba-tiba dia mendengar Bu Tumini memanggil dirinya untuk pergi bareng ke rumah Haji Syamsu, "Kasmi... hayoo berangkat wis awan ntar ketelat".“Eh Bu Tum, sebentar yah. Masuk dulu yah, saya mau pesen sama Minah”.“Min, tolong yah pakaian yang sudah dilipat itu diantarkan ke Bu RT yah. Mungkin Mbok pulang agak terlambat karena harus mengantar baju ini ke rumah Bu Yati.”“Ya Mbok”, sahut Minah sambil keluar dari dapur.“Tapi yang mana Mbok?. Baju yang sudah dilipat itu banyak. Yang warna apa?”.“Itu lho baju kurung warna merah. Katanya mau dipakai besok pada acara resepsi keponakannya di kota.”

******
Jam sembilan pagi. Sehabis bersih-bersih rumah, Minah sudah sampai di rumah bu RT untuk mengantarkan baju tersebut. Rumah tipe 36 yang halamannya ditumbuhi pohon jambu air serta pohon mangga Indramayu serasa rindang. Di depan rumah bu RT bersandar sebuah sepeda motor Honda keluaran terbaru warna hitam. Pintu rumah terlihat terbuka. Agaknya Pak RT sedang menerima tamu. Minah ragu sejenak untuk masuk. Ketika dia terpaku di depan rumah tersebut, bu RT melihatnya.“ Min…. jangan terbengong-bengong di luar Min! Masuk hayo masuk.”
“Nggak ada siapa-siapa kok hayo.”
Minah menengok ke arah suara yang memanggilnya itu. Di lihatnya bu RT dengan baju daster warna hijau. Bu RT wanita separuh baya namun gurat kecantikan masih saja nampak dari wajahnya. Wanita itu menghampiri Minah.“Ah, di sini saja Bu, lagian Pak RT kan lagi ada tamu”, Kata Minah sambil menunjuk sepeda motor itu“.
Oh… itu. Itu punya si Diran, adik iparku. Kebetulan dia mampir mumpung hari Minggu.”
“Udah lah mampir saja dulu. Ibu lagi nggoreng pisang. Sekalian saja nyicipi dan bawa beberapa bungkus untuk si Mbok yah.” Ujar bu RT sambil tersenyum dan menggamit lengan Minah. Ketika Minah masuk rumah itu, Bu RT memperkenalkan Minah dengan Diran yang belakangan diketahui berstatus duda beranak dua.

Ntah mengapa, ketika Minah berjabat tangan dengan Diran, ada perasaan lain yang menjalari tubuh Minah. Tatapan teduh mata Diran membuat hati Minah damai. Pada awalnya Minah merasa biasa saja. Namun ketika Diran terus saja bertandang ke rumah Minah, Minah mulai iba dan simpatik akan kesungguhan Diran.Kalau mau jujur sebenarnya Minah juga merasa heran mengapa dia bisa jatuh hati pada pria yang dua puluh tahun lebih tua darinya. Tidak hanya itu, Minah juga merasa bisa dekat dengan anak-anak Kang Diran, Tono dan Tini. Meski keduanya dilahirkan dalam keadaan tidak normal, Minah merasa bahwa tugasnya menjadi ibu akan lebih bermakna buat keduanya. Tono menderita lumpuh semenjak balita. Waktu itu kata Kang Diran, Tono awalnya menderita sakit panas dan sudah dibawa ke dokter dan orang pintar. Namun entahlah lama-lama kaki Tono semakin layu dan mengecil. Sekarang anak itu sudah tujuh tahun dan harus bergantung pada kursi roda. Sedangkan Tini, anak kedua Diran, semenjak lahir sudah tidak bisa melihat. Bola matanya tidak berfungsi. Semenjak kematian ibu mereka, Diran harus menghidupi kedua anaknya. Pekerjaannya sebagai guru SD inpres memang tak seberapa. Namun dia juga bekerja sambilan sebagai peternak ayam kampung di rumahnya.

Kalau dibanding-bandingkan dengan para pemuda yang naksir dirinya, Diran sebenarnya tidak tampan-tampan amat. Rambutnya sebagian sudah ditumbuhi uban. Kulitnya pun agak gelap dengan tubuh yang agak gemuk. Hidungnya tidak mancung dan tinggi badannya pun sedang-sedang saja layaknya rata-rata laki-laki di desanya. Entahlah, Minah tak habis pikir dengan perasaannya itu. Kenapa dia bisa jatuh hati dan simpatik terhadap Diran? Apa ini yang namanya jodoh? Atau mungkin inilah yang disebut pilihan hidup. Bagi Minah apapun yang terjadi kelak dalam rumah tangganya adalah konsekuensi dari pilihannya. Dia berjanji untuk tidak menyesali pilihannya itu. Yang terpenting hidup berumahtangga harus dilandasi dengan cinta. Yang terpenting baginya adalah mengasihi anak-anak Diran. Minah telah mantap dengan pilihan hidupnya, meski Mbok Kasmi mau bilang apa saja.

Di kamarnya, Mbok Kasmi sedang meratap sehabis shalat Maghrib. Mukenanya yang sudah pudar warna putihnya membalut semua tubuh tuanya. Tangannya ditengadahkan ke langit-langit rumahnya. Air matanya meleleh membasahi pipinya yang bergurat menunjukkan pahit-getirnya hidup yang telah ia lalui. Dia bermunajat kepada Tuhannya, “Duh Gusti Allah, andaikata pancen Diran adalah yang terbaik buat Minah, maka berilah kemuliaan dan kebahagiaan ya Allah. Jangan bebani Minah dengan beban di luar kemampuannya…”. Mbok Kasmi mengadukan perasaannya kepada Sang Khaliq atas pilihan hidup anak semata wayangnya.

Glossary:

Kuwalat (jw): akibat buruk; cengengesan (jw): tersenyum-senyum; nek (jw): kalau; ngombe (jw): minum; ngendon (jw): menginap; wis awan (jw); sudah siang; ati-ati (jw): hati-hati; omah-omah (berumah tangga); nggih nopo mboten (jw): ya apa tidak; pancen (jw): harus.

Wednesday, May 03, 2006

Bunga (Sambungan)

Tepat jam 11 siang. Pelataran Kantor Polisi Resort Tegal terlihat ramai. Sepeda motor berjejer di tempat parkir dan beberapa orang duduk menunggu didepan kantor bagian pembuat SIM. Terlihat juga beberapa orang menunggu giliran menunggang sepeda motor untuk mengikuti test mengemudi. Seorang petugas dengan seragam memanggil seseorang sesuai dengan nomor urutnya. Seorang pria separuh baya mendapatkan giliran untuk mengemudi. Ia tampak grogi ketika harus menginjak kuat tuas mesin motornya. Berkali-kali ia lakukan, si sepeda motor tak urung juga menderumkan mesinnya. Ada diantara kawan-kawannya yang nylethuk, “Udah deh Pak, saya wakilin saja. Yang penting khan dapat SIM lah…”. Yang lain tertawa riang mendengar celethukan itu. Orang yang di atas motor semakin kikuk dibuatnya.

Fitri memarkir mobil Avanza birunya. Siang itu terik mentari terasa menyengat kulit. Baru saja Fitri turun dari mobil, seorang laki-laki menyapanya, “Ada yang bisa saya bantu Bu? Ibu mau ngurus SIM atau perpanjangan?”. Ternyata calo yang berkeliaran di kantor polisi bisik Fitri dalam hati. Sambil tersenyum Fitri berkilah, “Nggak Mas, saya Cuma mau nemuin suami saya yang lagi tugas di sini…”. Terlihat wajah laki-laki itu berubah merah, namun dihalaunya dengan seulas senyum, “Oooohhh, kalau begitu maaf yah Bu, permisi….”. Laki-laki itu pergi berlalu entah kemana, Fitri tak ambil pusing dengan hal itu. Yang terbersit dalam pikirannya adalah ia ingin bertemu dengan Hendri yang saat ini pasti sedang kalut akibat perbuatannya.

Fitri bergegas ke kantor reserse dan menanyakan kepada petugas yang sedang duduk-duduk di sana. “Permisi Pak, saya istri Hendri. Bisakah saya menemui suami saya Pak?”. Seorang petugas dengan pangkat barada mempersilahkannya duduk. Ia terlihat ramah namun tatapan matanya tajam. “Silahkan duduk dulu Bu yah, nanti saya antar ke suami ibu. Yang jelas saat ini dia sedang diproses”, kata petugas jaga itu sambil berdiri dan tangannya menunjuk ke sebuah bangku kayu panjang bercat cokelat. Fitri tersenyum, “Terima kasih Pak, namun bolehkan saya diantar sekarang saja, karena jam 12 nanti saya harus menjemput anak saya di sekolah?’. Petugas itu mengangguk, “Baiklah kalau begitu, mari ikut saya Bu.”

Hati Fitri dag-dig-dug tak karuan menyusuri lorong koridor di dalam perut bangunan utama. Bangunan kokoh peninggalan Belanda masih menyimpan aroma kemegahannya. Persis di ujung koridor sebelah kanan. Petugas berhenti dan memanggil nama Hendri. “Saudara Hendri, istri Anda ingin bertemu dengan Anda”, kata-katanya tegas dan keras. Fitri melihat suaminya duduk di pojok sel tahanan dengan muka kuyu dan mata merah karena semalaman dia tak bisa tidur di ruang pengap. Rambutnya acak-acakan dan baju kaos yang ia kenakan pun kelihatan kusut. Petugas membukakan pintu jeruji besi itu. Suara gembok yang dicabut dari cincin pintu begeletak sehingga menimbulkan gema di dalam koridor. Hendri memandang Fitri dengan tatapan penuh penyesalan sekaligus malu. Petugas menggamit tangan Hendri dan membawa mereka berdua ke ruang tunggu. Sesampai di sana si petugas berkata kepada Fitri, “Maaf Bu, Ibu hanya diberi waktu 20 menit.” Petugas tersebut berdiri mematung di pojok ruangan mengawasi Fitri dan Hendri.

Hendri tertunduk lesu memandangi meja kayu berselimut kain taplak kusam bergambar kupu-kupu. Ia menghela nafas panjang. Sejurus kemudian ia berkata lirih, “Maafkan aku Fit. Seharusnya aku dengar kata-katamu. Aku malu.. aku malu sekali..”, Hendri sesenggukan sambil menutup wajahnya. Fitri tak tega menatap pemandangan yang sama sekali tak pernah dilihatnya. Suaminya tiba-tiba menangis di hadapannya. Suaminya tiba-tiba menyesali perbuatannya. Suaminya merasa malu atas semua perbuatannya!!! “Mas, sudahlah tak usah mengungkit yang lalu…”, suara Fitri damai menyoba mengusir galau sang Suami sambil tangannya diusap-usapkan di pundak Hendri dengan lembut. “Mungkin ini pelajaran yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Ketika hamba melenceng dari jalurnya, maka Dia luruskan jalan hamba-Nya itu. Insya Allah, ini merupakan bukti cinta Dia kepada Mas agar Mas berjalan lagi di atas hamparan rahmat-Nya”. Hendri tertunduk lesu, “Astaghfirullaah ya Allah… aku memang sering berlaku dosa dan aniaya atas diriku”. “Aku janji Fit, untuk memperbaiki diriku “, Hendri berkata dengan parau.

Hendri hanya mampu memasrahkan nasibnya kepada Yang Kuasa. Ia mengaku salah. Istrinya yang setia tak pernah sekalipun menyakiti perasaannya. Bahkan ia sering menistakan semua nasihat-nasihatnya. Ia membayangkan betapa kelam hari-harinya dalam rumah tahanan. Dan lebih kelam lagi ketika dia bebas dari penjara. Pasti banyak orang yang akan mencibir dan mencemoohnya. Ia pun malu pada anak-anaknya yang masih polos andaikata mereka tahu bahwa ayahnya adalah narapidana.

Hendri mengangkat wajahnya dan ditatapnya Fitri dengan penuh haru, “Insya Allah Fit, aku akan mendekatkan diriku pada Allah. Aku ingin belajar untuk menyucikan batinku dan menaburinya dengan nasihat-Nya”. Fitri pun ikut haru mendengar kata-kata suaminya. Petugas yang sedari tadi berdiri di pojok ruangan, tiba-tiba memberi tahu bahwa waktu 20 menit sudah usai. Tak terasa mata Fitri membasah, air mata mengambang di pelupuk matanya. Ia tak kuasa untuk menahan suaminya berlama-lama dengannya. Memang ada yang hilang dari dirinya ketika Hendri tak lagi tinggal di rumah untuk sementara. “Ya Allah semoga pelajaran ini merupakan kuntum bunga sorgawi yang engkau tanamkan di hati Mas Hendri”, bisik hati Fitri memenuhi relung jiwanya.

Tuesday, May 02, 2006

Bunga

Fitri hanya terdiam ketika mengetahui Hendri suaminya ditangkap polisi karena urusan narkoba. Telepon genggam yang ditempelkan di telinganya digenggam kuat. Suara Andi kawan sekantor suaminya di ujung sana terdengar datar, "Maafkan aku Fit, aku harus kasih tahu kamu tentang hal ini. Meski Hendri tak menginginkan kau tahu apa yang dia hadapi. Yang jelas dia sangat menyesal".

Fitri termangu dan tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mampu membayangkan wajah suaminya yang kusut di balik jeruji besi. "Terima kasih Ndi, sekarang juga aku ke kantor polisi untuk menjenguk Hendri", suaranya tercekat di tenggorokan karena menahan gumpalan emosi yang menyesakkan kepalanya. Dia sebenarnya sudah muak dengan semua ini. Pertengkaran demi pertengkaran tak pernah berkesudahan. Hendri tak mau mendengar keluhan Fitri yang selalu mengingatkan agar dia menjauhi benda haram itu.

Fitri masih ingat suatu malam beberapa hari yang lalu. Sehabis membereskan meja makan, Fitri menyeduh teh hijau dalam mug bergambar bunga tulip. Ia tahu bahwa Hendri paling suka teh hijau dengan mug spesialnya itu. Kemudian ia membawakan minuman tersebut kepada suaminya yang saat itu sedang duduk di pojok ruang menonton tayangan televisi. Diletakannya mug itu di atas meja kaca. "Silahkan Mas diminum", kata Fitri pelan seraya duduk di samping Hendri. Hendri menjawab, "Thanks Fit." Diseruputnya minuman itu sambil matanya tak lepas dari tayangan kesukaannya itu.

Fitri memberanikan diri untuk bicara, "Mas, mungkin bagi Mas bermain-main dengan benda haram itu nggak apa-apa. Namun lihatlah Mas wajah anak-anak kita Edo dan Wulan yang masih membutuhkan perhatian kita. Aku tak bisa membayangkan kalau mereka mengetahui kebiasaan buruk Mas ini. Disamping itu takutlah kepada Allah karena Mas menjerumuskan diri Mas ke dalam lobang kehancuran."

Meski mendengar kata-kata Fitri, Hendri masih saja tak beranjak dari benaman sudut sofa dan tak sekalipun tatapannya diarahkan kepada istrinya. Ia pura-pura menatap layar kaca yang terletak beberapa meter di depannya sembari memegang gelas yang isinya tinggal separuh. Fitri mencoba untuk berkata lagi, "Mas....". Namun Hendri memotong, "Cukup Fit, aku tak perlu kau nasihati banyak-banyak. Aku sudah tahu semua itu! Aku bosan diomongin terus! Mas janji suatu saat pasti berhenti, but bukan sekarang!!!" Hendri beranjak dari tempat duduknya dan melenggang meninggalkan Fitri yang duduk mematung di hadapannya. "Aku mau tidur, besok ada rapat di kantor", ujarnya sambil berjalan menuju kamar tidur. Fitri terdiam, matanya sembab.

(bersambung...)

Monday, May 01, 2006

Merenung 2 Mei


Dunia pendidikan di Indonesia ternyata memiliki ritualitas yang selalu dirayakan. Ritualitas yang terkadang melupakan esensi dan tujuan pendidikan itu sendiri, yakni "mencerdaskan kehidupan bangsa". Sebuah pertanyaan yang memenuhi ruang otak kita adalah, "Sudah lebih dari lima dekade bangsa ini merdeka, namun kenapa bangsa ini tak mampu menjadi bangsa unggul yang menatap dunia dengan ranah kecerdasan yang mapan secara emosional, intelektual dan spiritual?". Kita mungkin berharap bahwa bangsa ini adalah bangsa yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukanlah bangsa kuli dan pengemis di atas bumi nan kaya bak rangkai mutu-manikam.

Trilyunan rupiah dana pembangunan digelontorkan pusat dan daerah atas nama komitmen terhadap keberlangsungan dan sustainabilitas bangsa besar ini. Namun ironis, proyek pembangunan masih saja terfokus pada domain fisik dan kasat mata. Bahkan kita sudah terlalu jengah dengan maraknya kebocoran dana pembangungan yang ditilep oleh para pejabat korup. Walhasil, pembangunan dunia pendidikan hanya dipandang sebelah mata.

Terbukti, secara fisik, banyak gedung-gedung sekolah yang ambruk padahal usianya belum genap sepuluh tahun. Secara kultural, banyak siswa dan mahasiswa kita justru melepas jubah intelektualnya. Anarkisme menjadi watak para insan akademis kita. Mereka tak malu lagi untuk saling lempar batu di depan kampusnya sendiri. Tak jarang diantara mereka melacurkan moralnya demi keuntungan materi. Secara profesional, para pendidik tidak lagi menjiwai profesinya sebagai pendidik. Guru atau dosen hanyalah cita-cita "paksaan" dan profesi "pelarian" ketika persaingan sudah semakin memuncak. Materialisme menjadi tuhan bagi mereka ketika profesi sudah tak lagi menjanjikan kebahagiaan. Secara sosial, institusi sekolah menjadi alat untuk menyekat masyarakat ke dalam sekat-sekat ekonomi dan starata sosial. Sekolah kaum borju dengan biaya selangit menjadi fenomena ganjil bagi bangsa ini. Sekolah menjadi agen fragmentasi sosial karena melahirkan elit-elit baru dalam kotak ekslusifisme.

Merenungi tanggal 2 Mei, maka layak bagi kita untuk merenungi nasib bangsa Indonesia ke depan agar sejajar atau bahkan lebih unggul daripada bangsa-bangsa lain di dunia ini. Semoga....

Optimis


Pagi 2 Mei 2006

Mentari cerah menyapa dingin pagi di Suburb Clayton. Burung Magpie mendengkur pelan seolah enggan menikmati sapa hangat dengan lembar langit cerah. Rumput hijau yang terhampar di lapangan footy belakang rumah kostku masih terselimuti embun bening.

Aku bergegas menghirup gemerlap pagi dan menyambar tas sekolah menuju kampus yang hanya berjarak 20 menit dari tempat kostku. Ketika berjalan menyusuri jalan setapak di samping jalan aspal yang kanan-kirinya dihiasi dengan kokoh pohon-pohon mapel yang berdaun perak dan merah tua. Ah.. indahnya pagi di sini. Terbayang kota Jakarta di benakku yang selalu menawarkan hiruk-pikuk kemacetan yang tak berkesudahan. Bau asap dan bubungan polusi menyelimut pekat Jakarta yang tak pernah tidur.

Namun ada rindu yang tak pernah hilang. Jakarta pun menyimpan pesona yang tak semua orang mampu mencercapnya. Pedagang kerak telor, abang gorengan, mas tukang bakso yang selalu membunyikan mangkok atau alat masaknya ketika melewati komplek perumahan adalah diantara pesona yang menggoreskan rasa kangen. Aku tersenyum ketika ingat ibu kota yang memiliki warna-warni kontras dari sudut budaya dan sosialnya. Anyway, aku masih punya harap bahwa Indonesiaku pasti akan membaik dan sembuh dari sakitnya. Aku masih yakin bahwa ketika aku pulang nanti, peluk cium buat negeriku pasti akan hangat sehangat mentari di pagi ini.