Thursday, December 27, 2012

Habibie dan Ainun


Menonton film yang diangkat dari kisah cinta Habibie dan Ainun membuat saya makin mengapresiasi karya-karya sineas Indonesia. Film bermutu semacam ini selayaknya ditonton oleh masyarakat Indonesia untuk mengetahui bahwa kisah cinta ternyata bisa dituangkan dalam karya sinematografi tanpa nuansa murahan. Cinta ditampilkan begitu elegan, fantastis, natural, namun sederhana. Kesederhanaan cinta dalam film ini ditampilkan dengan sangat luar biasa. Kesederhanaan bukan bermakna apa adanya dan cenderung datar. Film ini mampu menyuguhkan makna cinta yang berasal dari hati nurani dua makhluk manusia dengan apik dan cantik. Salut untuk Hanung Bramantio, Reza Rahadian, dan Bunga Citra Lestari.

Sedikit catatan dalam film ini adalah penampakan tokoh yang selalu awet muda dari tahun 1960an hingga tahun 2000an. Saya tak menyangka bahwa Habibie dan Ainun bisa terus muda dalam rentang waktu empat dekade lebih. Penampilan Reza yang menokohkan Habibie pada sisi acting memang luar biasa, namun perubahan fisik Habibie semestinya dimaksimalkan pada diri Reza. Habibie masih saja ramping hingga masa lengsernya Habibie dari kursi kepresidenan. Munculnya pesan sponsor yang vulgar mengurangi konsentrasi menonton film ini, misal munculnya alat-alat komestik bermerek Wardah, satu kaleng biskuit Chocolatos, dan kemunculan e-toll Bank Mandiri di pintu Toll pada saat Habibie berkunjung ke Bandung. Wah..wahh..wahh...



Di samping cinta yang disuguhkan dalam film ini, realitas leadership nasional menjadi tema utama yang tak kalah pentingnya. Habibie menunjukkan keseriusannya untuk menata negeri ini. Meski beliau dipandang sebagai orang dekat Soeharto, namun Habibie menunjukkan gaya kepemimpinan yang unik yang berbeda dengan pendahulunya. Pada masanya, pintu informasi dibuka lebar-lebar dan keran demokrasi diperkenalkan secara masif. Meski harga demokrasi sungguh menyakitkan, Indonesia harus menjadi "the leading democratic country in the world". Timor-Timur lepas dari pangkuan Indonesia adalah biaya mahal yang diakibatkan oleh demokrasi melalui referendum. Cemoohan musuh-musuh Habibie yang melabelkan Habibie sebagai bayang-bayang Orde Baru adalah hal yang menyakitkan hingga dia dituduh telah melakukan korupsi.

Masih ingat dalam benak saya bahwa pada masanya (21 Mei 1998 - 20 Oktober 1999),  Habibie sanggup menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang waktu itu masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000  hingga nilai tukar rupiah menguat pada level Rp 6500 per dolar AS; nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya.

Meski banyak kreasi positif yang dilakukan Habibie, namun dia harus jatuh dari kursi kekuasaan tanpa pembelaan. Saat dia memasuki gedung MPR dalam acara Sidang Umum MPR tahun 1999, betapa para anggota dewan  memaki dan berteriak "huuuuuuuuuuuu" kepada beliau. Sungguh menyakitkan dan tak pantas dilakukan oleh orang-orang terhormat yang mengatasnamakan rakyat. Pidato pertanggungjawabannya ditolak dan Habibie harus lengser dari panggung kekuasaan pada 20 Oktober1999. Seiring dengan turunnya Habibie dari kursi kepredisenan, maka cita-cita nasional untuk memajukan teknologi kedirgantaraan Indonesia pun kandas di jalan. Cita-cita Indonesia memiliki industri pesawat semakin tidak jelas. Padahal pada tahun 1995 pesawat karya anak bangsa CN 250 Gatotkaca pernah melayang di kolong langit Nusantara atas kerja keras dan keseriusan Habibie. Wajar manakala Habibie menangis sesenggukan dalam pelukan Ainun ketika dia memandang sedih CN250 yang teronggok di hangar PT DI dalam kondisi berdebu dan dilupakan sejarah


Berikutnya adalah profesionalisme. Sejelek-jeleknya Soeharto, Beliau masih mau menghargai para profesional, teknokrat, dan ilmuwan anak negeri.  Habibie rela pulang kampung ke Indonesia atas sokongan Soeharto dan melepas jabatannya sebagai wakil presiden bidang teknologi pada  Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman. Bandingkan dengan sekarang di mana orang-orang pintar Indonesia  tersebar di seantero dunia. Diaspora intelektual menjadi nyata manakala negeri ini tak mau memberi tempat untuk para ilmuwan idealis yang berniat suci untuk membangun negeri. Ironisnya, Indonesia menjadi sarang intelektual oportunis. Tengoklah pada masa lalu banyak intelektual pengritik pemerintah. Seolah mereka adalah garda moral dan pengusung spanduk kesalehan, namun banyak di antara mereka yang sekarang berenang dalam pusar kekuasaan. Walhasil, kritisisme dan idealisme lenyap bak embun diterpa sinar mentari. Profesionalisme yang ditunjukan Habibie seolah menjadi barang langka di dunia yang dijenuhi oleh fitnah materialisme ini.

Di atas semua, sosok Habibie menjadi sentral dalam alur sejarah nasional Indonesia. Mengapa? di sampingnya ada wanita yang tulus mencintainya. Simak ungkapan Ainun ketika Habibie tak bisa tidur karena memikirkan Timor-Timur, "Jika kamu tidak bisa memimpin tubuh kamu sendiri, bagaimana kamu bisa memimpin 200 juta tubuh yg ada dinegri ini?". Yah, cinta yang menjadi nyawa dalam kehidupan ini menjadikan film ini begitu layak untuk ditonton. Cinta menjadi eliksir dalam hidup.

Ciputat, 26 Desember 2012.