Friday, December 29, 2006

Kedekatan

Tuhan itu Maha Dekat. Bahkan dalam salah satu sabdanya dikatakan bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher manusia. Kedekatan Tuhan sebagai postulat yang tak bisa dibantah merupakan dasar teologis yang harus kita terima. Namun kedekatan-Nya tidak bisa hanya dipahami "taken for granted" tanpa upaya menata nalar akan keberadaan kita dan keberadaan Tuhan. Andai kita ingin mendekatinya, maka ada sarana yang membutuhkan simbol-simbul interaktif.

Di sinilah Tuhan Maha Tahu kemampuan makhluk-Nya. Tuhan yakin bahwa hamba-Nya tak akan mampu menggapai ufuk nalar teologisnya bermesraan dengan Sang Maha andai menafikan simbol. Qurban yang secara bahasa bermakna pendekatan merupakan simbolisasi pendekatan seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Kita yakin bahwa Tuhan tak butuh makan, karena Dia adalah Yang Maha Memberi makan. Tuhan tak perlu pertolongan dan suguhan kita. Tuhan tidak rakus dan tidak pernah kurang apapun. Namun simbolisasi qurban merupakan upaya bijak Tuhan agar manusia mau tunduk atas perintah-Nya. Dengan melaksanakan qurban, maka kita dibangkitkan kesadaran religius akan keberadaan Tuhan Yang Maha Memerintah.

Dahulu orang berqurban dengan menyembelih binatang piaraannya dan dagingnya ditaruh di depan berhala-berhala batu. Upaya ini merupakan bentuk ekspresi komunikasi manusia untuk mengakui keberadaan yang maha segala maha. Kemudian Islam membawa revolusi dan dekonstruksi makna simbol. Qurban bukan lagi dilihat dalam bentuk sajian. Namun qurban dinilai berdasarkan niat dan tujuan si pelaku qurban. Qurban dimaknai melalui ekspresi sarat pengabdian sosial. Daging yang dulu hanya diperuntukan bagi benda-benda mati yang diberhalakan. Dalam perspektif Islam, daging qurban diberikan kepada fakir dan miskin. Inilah revolusi sosial Islam tanpa menghancurkan tradisi qurban itu sendiri. Motivasi qurban yang dibungkus keimanan dan ketakwaan adalah esensi qurban itu sendiri.

Hewan qurban adalah simbol belaka agar kita lebih mendekat kepada Sang Khalik. Bagi kita yang tak mampu untuk menyembelih hewan qurban, maka lakukan qurban dengan cara apapun yang mampu mendekatkan diri kita kepada Allah SWT dan meninggikan kesalehan sosial kita.

Melbourne, 30 Desember 2006

Thursday, December 21, 2006

Mak

Mak ...
Rambute wis akeh sing putih
Uwane ngubengi sirah
Kulite rai wis pating tekuk
Pipine tambah kempot
Sering mriyang katisan
Ayune ilang
Tapi kebecikane Mak belih bisa tak bayar

Mak..
Sampean dhaning tambah gering
Awake tambah kuru
Akeh pikiran yah Mak?
Mikiri apa?
Mikiri umur?
Mikiri Bapak sing wis ora ana?
Mikiri donya sing wis ora nggenah
Udan salah mangsa
Lenga sing larang
Beras sing angel dituku
Apa mikiri anak-anak sing kangelan diatur?

Aku kemutan Mak
Mbiyen nalikane Sampean tangi jam 2 bengi
Maring pawon tumandang gawe
Esuk jam 7, Sampean lunga maring pasar
Dodolan sega lengko karo Kang Suwargi Bapak
Kadang rame lan kadang sepi
Ning Sampean karo Bapak belih pernah kesel

Mak...
Saiki Bapak wis ora ana
Sampean mestine ngrasa sepi
Bocah-bocah wis gedhe kabeh
Dina tuwa arep apa?
Moga tambah perek karo Sing Gawe Urip
Dongakna Bae anak-anake Sampean
Pangapurane sing akeh yah Mak
Inyong pengin nggawe Mak Bungah

Melbourne, 22 Desember 2006

Tuesday, December 19, 2006

Naif

Menjelang natal, suasana kampus semakin sepi saja. Kantin yang biasa dijejali banyak mahasiswa terlihat lenggang bak kampus mati. Pohon natal berkerlip di balik etalase student shop terkesan tak peduli dengan suasana ini. Christmas day, season greetings, new year, shoppings dan seabreg simbol-simbol kapitalis tiba-tiba menyeruak di depan mata. Esensi natal sebagai kelahiran Sang Pembawa Kasih dan Cinta seakan terkubur oleh tradisi konsumerisme brutal. Tahun baru sebagai tahun refleksi menjadi begitu naif karena dijenuhi dengan hingar bingar bahagia semu.

Bisakah kita meloncati libido materialisme, kemudian berkontemplasi dalam kedamaian spiritual? Lepas dari simbolisme yang penuh perangkap. Persetan dengan pelencengan makna hidup ini. Kasihan orang-orang papa yang harus menjadi batu-batu kecil yang terus dihempas oleh gelombang egoisme. Mereka dimarjinalkan oleh gaduh dunia yang dihiasi oleh genderang individualisme. Hilangnya empati dan kepedulian sosial merupakan akibat dari semangat egoisme yang menggelora. Semakin runtuhkah hakikat kemanusiaan seorang manusia? Sehingga sering manusia tidak dimanusiakan oleh manusia lain? Bahkan dinistakan dan dihewankan. Bila perlu menjadi daging korban bagi pemangsa-pemangsa culas.

Pemangsa-pemangsa ini sering memakai baju rohaniawan, baju politisi, baju orang bijak, dan baju dewa penolong yang mengaburkan pandangan objektif orang-orang papa marjinal ini. Mereka memanfaatkan kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keputusasaan para papa. Apa yang bisa membebaskan mereka dari cengkeraman para pemangsa? Kenapa citra agama begitu naif di tangan para pemeluknya? Kemana jargon "Tuhan cinta manusia", ketika orang-orang kaya justru berkubang dalam kepuasaan indivualismenya? Layaklah ketika Tuhan memperlihatkan kuasanya untuk meluluhlantakan semua berhala yang mereka sembah selama ini.

Meblbourne 20 Desember 2006

Sunday, December 17, 2006

Haji

Waktu merambati jalan nafasku.
Melilit nasibku dan membuhul ayun langkahku.
Waktu mengantarku dengan setia menelusuri lorong panjang
yang tak kuketahui tapal batasnya.
Aku diantar waktu untuk membuka banyak gerbang berliku.
Ini kali aku diantar untuk melewati gerbang Zulhijjah.
Ini kali aku diajak untuk menikmati taman Zulhijjah.
Di sekian jengkal nafasku.
Aku lihat gerbang Zuhijjah bertengger kokoh
tak bergeming dalam terpaan kadar Ilahi.

Tinggal sejengkal aku kan sampai ke depan gerbang itu.
Ku lihat banyak sahabat yang hiruk pikuk berlari mendekatinya.
Mereka dibalut kain ihram dan bau harum surgawi.
Bergegas mereka alunkan "Labbaiiik Allahumma labbaiik..."
Aku penuhi panggilan-Mu Ya Rabb...
Terdengar suara menggema di balik gerbang yang tinggal sejengkal itu.
"Wahai tamuku, datanglah, masuklah, nikmatilah cawan-cawan pahalaku..."
"Wahai tamuku, campakkan semua rengkuh setan dan ikatan nafsu dalam dirimu."
"Lebur dirimu dalam pusaran tawaf
dan lesatkan jiwa kalian di antara Shafa dan Marwa.
agar kalian moksa menggapai nirwana"

Malam ini aku berjalan bersama mereka.
Namun pakaianku bukanlah ihram seperti mereka.
Aku masih dibalut pakaian biasa.
Aku hanya berkata, "Kawan, kalian akan menikmati ruang Zulhijjah dengan manasik".
"Sedangkan aku, akan menikmatinya di ruang sunyi yang dicumbu oleh tarian Rumi".
Semoga kita bertemu di sana di depan gerbang Zulhijjah.
Kulihat kawan-kawanku mulai bergegas kencang
Melesat bagai kilat berhambur menuju gerbang Zulhijjah
dimana Ilahi membawanya menari mengitari kuasa-Nya
dan menapaki sejarah kasih umat manusia.


Melbourne, 18 Desember 2006

Wednesday, December 13, 2006

Pisah


Tiga hari lalu aku dapat email dari Mbak Georgi bahwa dia harus meninggalkan Monash karena akan mengisi jabatan professor di Universitas Ballarat. Aku tersentak dengan hal ini. Ada perasaan bangga dan sedih menyatu yang tiba-tiba menyergap perasaanku. Bangga karena Mbak Georgi dipromosikan menjadi professor dalam bidang sosiologi pendidikan, dan sedih karena harus berpisah dengan Mbak Georgi yang selama ini banyak membantu dalam proses kandidatur.

Langsung saja aku jawab email dia seperti ini, " I read a sad email from you today, as you're leaving Monash..." Wuah sok melankolis! Tidak... tidak melankolis. Aku merasa sedih saja kalau orang-orang baik kemudian semakin berkurang dari garis edar hidupku. Ada kekhawatiran bahwa orang-orang baik akan menjadi makhluk langka di sekitarku. Aku minta kesediaannya untuk meluangkan waktu santainya dan minum kopi jam 10.30 pagi hari Rabu.

***

Hari ini aku janjian dengan Mbak Georgi untuk ngopi di Den, sebuah cafe mungil di bawah perpustakaan. Jam 10.30 pagi, aku bergegas ke kantornya di lantai tiga. Aku lihat pintu kantor ternganga sedikit. Sepertinya Mbak Georgi sudah menungguku. Aku ketuk pelan karena takut mengejutkan dia. Tak ada jawaban, aku ketuk sekali lagi. Dan suara Mbak Georgi pun terdengar, "Come in!!! Ah you're so quite!!. Let's have some coffee..." Aku lihat Mbak Georgi mengenakan kaus hitam dibungkus blazer warna hitam pula. Di lehernya terlilit kain syal warna violet. Aku mengangguk.

Kami berjalan bareng dari gedung nomo 6 menuju ke Den. Aku bilang ke Mbak Georgi kalau aku yang nraktir kopi. Dia pesan kopi late hitam, sedangkan aku pesan kopi late biasa. Kami duduk di luar cafe di deretan kursi dan meja yang berjajar sepanjang koridor. Mbak Georgi bercerita banyak mengenai hasil-hasil risetnya yang berkaitan dengan diaspora masyarakat Yunani di Australia. Ternyata masyarakat Yunani memiliki keterikatan luar biasa dengan tanah kelahirannya di Athena sana. Bahkan kebudayaan dan bahasa Yunani ditularkan secara setia oleh komunitas ini kepada generasi-generasi yang lahir di Australia. Sehingga identitas bangsa Yunani terjaga. Mereka terbiasa bercakap dalam bahasa Yunani di rumah dan bahasa Inggris di arena publik.

Melalui keluarga, sekolah, media massa, kebijakan politik, dan peran-peran tokoh sentral keturunan Yunani, bangsa ini berusaha menjaga siapa diri mereka sesungguhnya. Aku jadi teringat orang-orang Indonesia yang kebanyakan tinggal di benua ini. Orang Indonesia lebih suka berbicara dalam bahasa Inggris dengan anak-anaknya. Bahkan suatu ketika aku pernah bertemu dengan seorang ibu-ibu paruh baya yang bercakap dengan bahasa Indonesia namun dimedokin ala orang bule. Tak heran generasi muda Indonesia yang lahir di Australia sudah terlalu kaku, kalau tak boleh dikatakan tidak bisa, untuk berbicara dalam bahasa Indonesia. Inikah sebuah fenomena bangsa inferior yang terlalu cepat melukar jati dirinya. Atau mungkin aku salah menilai. Ah, negeriku sayang, negeriku malang!

Melbourne 13 Desember 2006

Wednesday, December 06, 2006

Studi


Akhir November lalu di suatu siang, aku hampir tak percaya ketika pembimbingku bilang bahwa aku dinyatakan lulus ujian doktorat! Sekian detik aku terdiam dan ada rasa haru yang tak terhingga atas nikmat yang tak terduga ini. Pembimbingku, Mbak Georgi, langsung menyalamiku, "Selamat Pak Doktor Suparto!" Senyum Mbak Georgi mengembang manis. Dia bangga bahwa salah seorang muridnya berhasil. Ntah berapa banyak murid-muridnya yang sudah menggondol doktor di bawah bimbingan dia.

Ada rasa malu yang tak terhingga menyergapi diriku ketika dipanggil dengan sebuah gelar baru. Rasanya aku tak pantas menyandang titel itu. Aku masih merasa bodoh dan bebal. Bahkan sepertinya titel akademik ini makin menghakimiku untuk menyodorkan bukti-bukti intelektualitas akademis yang aku rasa masih cetek-cetek amat. Aku jawab kepada Mbak Georgi, "Actually I am quite shy by this. I don't deserve to put a "doctor" before my name!". Kata-kataku tulus dan tak bermaksud menutupi ekspresi semuku. Aku memang masih belum layak; aku merasa bodoh dan dungu; aku malu. Mbak Georgi hanya tertawa terbahak, "C'mon Suparto! Yes you do!"

Alhamdulillah Ya Allah!. Desir nafasku menyentil ceruk hati yang paling dalam dan menggetarkan bahana terima kasih yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Aku biarkan ruang hatiku diisi nyanyian syukur dan tarian zikir yang mendayu dalam dekapan hangat musim semi. Ternyata itu bukanlah satu-satunya berita terbaik yang aku terima hari itu. Aku ternyata diberi kesempatan untuk melakukan penelitian lagi untuk program post-doctoralku. Aku dapat beasiswa lagi! Allah Akbar!! Begitu agung nikmat-Mu ini. Aku sadar bahwa nikmat-Mu itu lebih agung dari alam maya ini. Bahkan pengabdianku pada-Mu tak seimbang dengan karunia-Mu hari ini. Semoga Engkau selalu membimbingku. Aku yakin Engkau selalu bersamaku dan mendengar pintaku. Cinta, sayang, dan kasih-Mu adalah lautan dan hamparan panorama nikmat yang tak bosan aku reguk.

Melbourne, 7 Desember 2006.

AA Gym


Kasus nikah lagi AA Gym adalah hal biasa. Namun menjadi luar biasa karena AA milik banyak orang, AA terkenal, dan AA memang da'i kondang (beda dengan saya yang da'i kandang). Di sinilah publik yang merasa memiliki langsung bereaksi. Coba kalau yang nikah lagi itu tetangga saya yang kuli bangunan dan nggak dikenal banyak orang, tak akan ada gaung sumir bergema dimana-mana. Paling juga cuma riak kecil dalam radius sekian meter.

Saya tahu bahwa banyak kaum perempuan yang merasa teriris hatinya melihat AA nikah lagi. AA dipandang oleh banyak perempuan menodai komitmen AA membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun ada juga yang memandang bahwa pernikahan AA yang kedua ini untuk menguji konsep "manajemen qalbu" yang AA ajarkan selama ini. Apakah qalbu bisa disentuh oleh menejemen yang adil? Ataukah ini untuk menentang kecenderungan nurani yang biasa bergejolak, melayang, dan bahkan menghempas tanpa kendali? Saya berharap AA bisa membuktikan pada orang banyak bahwa qalbu AA bisa merangkul dua istri di rumah. Mungin nanti AA bisa membuat konsep baru mengenai "manajemen cinta" untuk meyakinkan para kaum hawa bahwa cinta adalah sesuatu yang ajaib dan tak pernah surut meski usia semakin beringsut. Cinta adalah oksymoron yang menggebu yang merengkuh damai dalam ikatan jiwa.

Kembali ke AA yang memang terkenal itu dan menjadi milik banyak orang. Keputusan AA menikah lagi pastilah sudah ditimbang matang-matang. Satu hal yang tak bisa kita pungkiri adalah kasus AA bakalan menjadi komoditas politik sementara pihak untuk mengambil keuntungan dari suara mayoritas perempuan. Banyak politisi serasa menemukan ide untuk berbicara mengenai perjuangan dan perlindungan hak perempuan. Tak kurang pula pemerintah berencana merevisi UU perkawinan yang mengatur larangan beristri lagi. Bak pahlawan kesiangan, mereka akan berkoar tentang ganyang poligamier! Saya yakin diantara mereka yang menentang pasti ada yang didukung oleh motivasi moral.

Apapun dalihnya, publik figur, seperti AA, memang riskan menentukan sikap. Bak layang-layang. Semakin tinggi, semakin kencang angin berliuk dan salah-salah "gusrak" layang-layang nyangkut di tiang listrik! AA pasti tahu resiko yang bakal dihadapinya. Namun jangan sampai kita berkesimpulan bahwa ada yang salah dalam ajaran Islam. Dus, bisakah kita mencoba untuk menghargai bahwa apa yang dilakukan AA saat ini hanyalah sebuah pilihan. Pilihan bisa saja benar dan bisa saja salah. Tergantung Sang Korektor Mutlak yang akan menilaianya. Kita do'akan saja agar AA dan kedua istri dan anak-anaknya bisa menikmati samudera rahmat-Nya. Semoga AA bisa adil. Pasti Pak Puspo yang dari Solo saat ini sedang tersenyum riang karena calon anggota baru bakalan bergabung untuk menerima award. Selamat menyantap ayam bakar A...

Melbourne, 6 Desember 2006

Monday, December 04, 2006

Curiga


Senin sore jam 2 aku sudah diingatkan untuk datang tepat jam 6 sore di rumah Ibu Centil. Katanya si Abi, anaknya yang nakal banget, akan berulang tahun yang kelima. Aku jawab saja, "Insya Allah Bu". "Awas lho kalau nggak datang karena saya perlu Mbah memberikan do'a dalam acara ini!!". " Saya tidak mengundang banyak orang, karena tahu sendiri nafas saya bisa putus kalau harus menjamu sekian banyak orang", katanya sambil berapi-api. Aku bayangin kalau dia nyerocos sambil monyongin mulutnya. Aku tahu Ibu Centil itu memang suka centil. Dia sering bercerita kalau dulu ketika mudanya, dia digandrungi banyak pemuda. Dari yang jalan telanjang kaki hingga mereka yang mengendarai merci. Untunglah aku tidak bertanya lebih jauh, apakah diantara mereka ada duda beranak tiga yang naksir dia?

Tepat jam 5 sore aku bergegas dari kampus ke rumah Pak Haji. Sudah satu bulan aku tinggal dengan keluarga Pak Haji yang sederhana ini. Mentari begitu menyengat dan menggigit kulit gelapku. Wah, bisa lek-lok dengkul nih kalau harus jalan sejauh satu kilo dari kampus ke rumah dengan cuaca yang begitu panas. Tak apalah, aku bergegas mengayunkan langkahku sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Aku sendiri heran. Aku kan tidak bisa menyanyi kok memaksa diri untuk menyanyi. Apa saja yang melintas dibenak pikiranku, aku jadikan nyanyian. Aku tak peduli orang-orang yang berlalu lalang dan berpapasan denganku mendengar nyanyi kacau itu. Intinya aku ingin menghibur diri sendiri.

Tak terasa perjalanan satu kilo sudah terlampaui. Sesampai di rumah jam menunjukan 5.30 sore. Ah, aku harus mandi dan shalat terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah Ibu Centil. Oh iya, aku lupa memperkenalkan siapa itu Ibu Centil ini. Dia kawan baikku dan kawan baik banyak orang. Hobinya menari dan menyanyi. Satu hal yang tidak bisa lepas dari kebiasaan dia adalah "nyerocos" apa saja dan merasa suaranya yang paling bagus. Aku harus menghargai daya kreativitas dia; meski terkadang sumbang di telinga. Kelebihan lain yang dimilikinya adalah cita rasa masakan dan berdandannya. Dia pengin tampil beda dan tak ingin disamakan dengan ibu-ibu kelompok arisan yang kerjaannya "ngrumpi" dan "gossiping". Dia pengin tampil lebih intelek dan lebih laki-laki katanya. Dengan bangga dia tunjukkan jam tangan laki-laki yang selalu dia pakai. Ibu Centil adalah salah satu diantara kawan-kawanku lainnya, seperti Ibu Heboh, Ibu Kagetan, Ibu Komentar, dan Ibu Ngantuk.

Tepat jam 6 sore. Jemputan belum datang. Rencana akan pergi dengan Pak Haji ternyata molor. Pak Haji masih berada di jalanan. Untungnya Pak Diam datang mengetuk pintu. Senyum cerah menghias wajahnya, "Mbah sudah ditunggu!". "Baik, sekarang saja kita berangkat", begitu kataku. Kita pun meluncur. Ternyata di rumah Ibu Centil sudah banyak tamu. Ada Ibu Heboh, Ibu Komentar, Bapak Ngantuk, Bapak Gundul, Bapak Cihui, dan lain-lainnya. Begitu aku sampai, Ibu Heboh langsung mulai heboh, "Mbah bagaimana nih?! Orang Indonesia memang suka jam karet!! Mending kita makan saja sekarang!". Ibu Heboh ngomong sambil beranjak dari kursinya. Dia lupa bahwa acara do'a harus didahulukan. Dasar Heboh, baru lapar langsung saja heboh!.

Jam 7.30 sore acara dimulai. Kita mulai berdo'a. Aku memimpin do'a agar semua yang hadir dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang bersyukur. Giliran Si Abi meniup lilin. Riang sekali dia ketika meniup deretan lilin kecil yang memagari tepi kue tart cokelat. Aku bergumam dalam hati, "Semoga Allah memberi kesehatan dan menjadikannya anak yang sholeh". Setelah pemotongan kue tart, acara dilanjut dengan shalat Maghrib berjama'ah. Aku minta Ustadz Arswendo untuk menjadi imam. Aku tidak ingin memonopoli acara. Sehabis shalat, barulah acara makan-makan dimulai. Entah apa yang terjadi, Ibu Centil dan Ibu Heboh terlihat kasak-kusuk. Seolah hidung mereka mengendus sesuatu yang tidak beres. Tatapan mereka menatap Bapak Kecil yang berdiri di pojok dan menyepi dengan dunianya. Agaknya dia tidak ingin bercampur dengan kelompok iseng tawa ini. Aku tak ambil pusing dengan hal itu. Biarlah orang lain punya dunianya, sebagaimana aku pun punya duniaku. Buat apa menyemai curiga jika kedamaian bisa kita tanam subur dalam semak hati kita?

Melbourne, 5 Desember 2006