Tanpa sadar, memori pertemuan Tuti dan Hans membias pelan dalam angannya. Dia ingat, perkenalannya dengan Hans pun sebuah perkenalan yang tak disengaja. Saat itu ketika Tuti menaiki pesawat Garuda untuk berlibur ke
“Aku kerja sebagai kuli saja Mbak…”, kata Hans merendah.
“Sudah hampir empat tahun saya bekerja di
“Lho istri ditinggal-tinggal dong kalau begitu?”, Tuti menyelidik sambil tersenyum.
“Saya masih sendirian Mbak, belum ketemu yang cocok dengan hati saya”, sergah Hans.
“Ah, saya tak percaya. Anda yang memiliki pekerjaan mapan seperti ini belum memiliki pacar sekalipun!” Tuti semakin ingin tahu kehidupan Hans.
Sambil menghela napas Hans secara diplomatis berkata, “Dulu memang ada salah seorang kawan yang mengajak serius dengan saya. Namun, siapa yang bakalan tahu kisah hidup manusia selanjutnya. Kita pisahan karena perbedaan prinsip”.
Tuti mencoba membesarkan perasaan Hans, “Ah, Dik Hans. Yakinlah bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor. Masih banyak yang mau dengan Anda…”.
“Panggil saja Hans, tak usah pakai ‘dik’ ‘dik’ segala. Rasanya kok saya merasa jauh banget dengan Mbak”, ungkap Hans memotong kata-kata Tuti.
“Oh begitu. Kalau demikian, Hans harus panggil saja saya Tuti. Klop bukan?”. Entahlah, sebuah tanda tanya besar tiba-tiba menyergap. Tuti merasa senang berbincang dengan Hans. Meski Hans memiliki pautan usia yang lumayan jauh. Namun, Hans terlihat dewasa dalam pemikirannya. Ah... sesuatu yang tak dimiliki Paul.
Pembicaraan dua insan itu mengalir ke
bersambung...