Sudah satu minggu lebih dua hari aku tinggalkan Ciputat yang penuh kehangatan. Kembali ke Melbourne bukan untuk belajar, tapi untuk menemani Yulia belajar di Universitas Melbourne. Bayangan yang selalu mampir ke dalam benakku adalah bertemu dengan semua kawan-kawan baikku. Pagi temaram dengan hiasan awan pekat di angkasa Melbourne. Tepat pukul 8.00 tanggal 19 Oktober 2008, pesawat Garuda sampai ke bandara Tullamarin setelah menempuh perjalanan kurang lebih enam jam dari Denpasar. Begitu keluar dari perut Garuda, hawa dingin serasa menjalar ke seluruh sudut ruangan. Saat itu penumpang penuh; kebanyakan bule Aussie yang mendambakan hangatnya bumi Bali yang dibalut katulistiwa.
Melbourne menjelang summer tetap saja menampilkan anomali musim. Dingin menusuk masih saja tersisa meski musim dingin sudah beringsut. Namun itu semua tak terasa ketika kulihat wajah-wajah ceria Pak John, Pak Dede, Pak Dadang, Pak Johana, Pak Widodo, Pak Eman, Pak Fery, dan Mas Tanto menyambut kami. Kami berjabat tangan erat dan hangat. Kemesraan dan persahabatan yang tak bisa dibayar dan ditakar dengan apapun. Inilah yang membuat aku rindu dengan tanah orang Aborigin ini. Negeri yang lebih dikenal sebagai benua kanguru.
Satu Ahad di kala fajar masih sembunyi. Eman menelepon untuk mengunjungi Westall untuk kali kesekian. Melbourne masih saja dibalut hawa menusuk di fajar itu. Dan Westall pun masih kokoh memamerkan noktah sejarah panjang masyarakat Indonesian mencari Tuhan.
Melbourne, 28/10/08
No comments:
Post a Comment