Wednesday, April 15, 2009

Caleg


Pemilu 2009 sebagai perhelatan demokrasi Indonesia sudah selesai. Pendidikan politik untuk rakyat berjalan dengan timbunan pertanyaan dan makian. Golongan tidak memilih semakin banyak karena tak lagi percaya dengan sistem demokrasi amburadul. Memilih wakil mereka tanpa kenal kapasitas dan integritas mereka adalah sebuah kebodohan. Kaum terpelajar banyak menyatakan tidak memilih. Mahasiswa saya di kampus pun dengan enteng menyatakan "golput" terhadap pemilu.

Ibu saya yang sudah tua saja memutuskan malas menyontreng karena kertas suara terlalu lebar dan gambar partai terlalu banyak. Dia hanya tahu gambar lama PNI atau Golkar dan Kabah. Dia hanya tahu ada paku "glugu" yang digunakan untuk mencoblos. Beliau cerita kalau saat pemilu, beliau lama terpekur di bilik suara. Kebetulan kakakku ada di bilik samping. Ibuku berbisik, "Haryati, priben cara milihe? Gambar sing dicoret sing endhi?". Haryati tidak mendengar atau karena takut dia dinilai mempengaruhi otak pemilih lain. Akhirnya ibuku menutup kembali kertas suara dan memasukkan ke dalam kotak tanpa menentukan pilihannya. Saya acungi jempol buat ibu saya yang cerdas untuk memutuskan tidak memilih karena hal teknis yang tak humanis. Dikiranya orang Indonesia itu sama cerdasnya dengan para pegiat KPU atau para intelektual pendiri partai.

Pemerintah sudah saatnya membatasi jumlah parpol demi kenyamanan para pemilih. Apa sih urgensinya membuat banyak parpol dan banyak bendera? Bendera dan atribut parpol merusak pemandangan. Foto-foto dan poster yang ditempel sembarang menambah kesan kumuh dan semrawut. Belum lagi pohon yang dikorbankan untuk memampang foto caleg mereka. Mbok ya bersatu dan samakan visi dan misi kalau memang mereka ingin membangkitkan Indonesia yang sudah lama terjengkang karena krisis multidimensi.

Tapi di sisi lain mereka dinilai mampu menggeliatkan ekonomi rakyat sesaat. Tukang jahit dan sablon kebanjiran order. Pedagang asongan semakin banyak menyedot uang dari acara kampanye. Pemulung semakin tambah rejeki karena botol dan sampah plastik begitu menggunung setelah resepsi kampanye usai. Orang mencipta sampah dan berkah secara bersamaan. Belum lagi manusia-manusia dengan mindset proyek bisa berhip-hip hura-hura karena dapat persenan dari rekanan. Ke depan bagi mereka yang masih beronani dengan syahwat politik, lebih baik sumbangkan pikiran dan uang Anda ke masyarakat langsung. Tak perlu berfikir mendapat untung. Anda berbuat baik demi rakyat adalah kepahlawanan yang akan digores dengan tinta emas memori kebajikan.

Para caleg saat ini sedang menunggu hasil. Bagai orang yang menunggu takdir kematian. Bagi mereka yang menang, senyum mengembang dan pundi-pundi uang semakin terbayang. Bagi mereka yang jadi pecundang, masa depan semakin runyam dan kelam. Uang ratusan juta semakin tak jelas arahnya. Hutang ke sana ke mari harus dibayar. Sudah jamak beritanya bahwa banyak mantan caleg yang menderita depresi, gila, kena serangan jantung, dan meninggal dunia. Betapa mereka tidak gila dan edan seumur-umur. Mereka tidak memiliki jiwa mengabdi dan ikhlash melakukan sesuatu. Mereka ingin timbal balik keuntungan berlipat. Mereka orang-orang kere yang tidak siap untuk kalah. Mereka "dikerjai" oleh trend menjadi politisi yang digaji tinggi. Usaha memperbaiki nasib malah berubah petaka yang mencoreng muka sendiri. Mereka ingin seperti artis yang hanya dengan modal terkenal dan kemampuan pas-pasan bisa lolos ke Senayan.

Rumah sakit gila sudah menyiapkan ruang VIP (Verry Insane People) untuk nginap barang beberapa bulan. Mereka tidak mungkin ditaruh di rumah karena bakal menjadi olok-olok tetangga. Atau menjadi makian banyak orang karena obral 1001 janji yang berujung pepesan kosong. Depresi semakin menghujam ke relung kejiwaan mereka. Butuh waktu lama untuk menjadi manusia normal. Modal sudah menguap, tinggal badan berkalang kemiskinan yang tak menyisakan kepedulian orang lain.

Caleg yang tak mampu menginap di ruang VIP, akhirnya membuat onar. Semisal caleg gagal yang meminta barang sumbangannya ditarik kembali. Urusan teve yang disumbangkan kepada pangkalan ojek yang kemudian diminta kembali merupakan anomali. Sumbangan karpet kepada majlis taklim yang diminta kembali semakin bisa menakar integritas mereka. Entahlah saya tidak tahu berapa persen sih caleg yang betul-betul berjuang untuk rakyat dan mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan bersama? Jangan-jangan caleg terpilih saat ini pun akan sama hanya menghabiskan anggaran negara. Kerja mereka tidur ketika sidang dan narasi intelektual dari mulut mereka hanya sampah bertaburan. Rakyat kembali ditipu.... sampai kapan "kebo bungkang nyabrang kali bengawan"? Kapan saya akan bisa melihat rakyat melek dan memilih calon mereka dengan cerdas tanpa motivasi duit? bagi yang minta jadi caleg, mending Anda berfikir ulang kalau belum siap untuk kejatuhan stress!

Ciputat, 20/4/09

No comments: