Tuesday, November 27, 2007

Mengiring Kawan Berhaji


Dengan muka berseri Junaedy Anasril (43 tahun) mantap melangkah turun dari mobilnya. Disamping kanan kirinya adalah Wanny, sang istri tercinta, dan Felicity, sang anak gadis semata wayangnya. Di belakang terlihat bapak mertuanya dan ayah angkatnya, Pak Anas. Junaedy dikenal oleh kawan-kawannya dengan nama John. Nama ini bukan berarti Junaedy lebih suka dilabeli sesuatu yang berbau Barat atau Australia. Itu hanyalah untuk memudahkan panggilan saja. Hari ini John sudah mantap untuk menjadi tamu Allah. Kemantapan hati John bukanlah sebuah hasil dari proses instan.

Sekedar ilustrasi latar belakang John, si orang Padang ini. Dia datang ke Melbourne ketika usianya baru menginjak 16 tahun. Kedatangannya karena dia ingin mengikuti pamannya, yang sekarang jadi ayah angkatnya, Pak Nas. John sempat tinggal lama di sebuah daerah yang Bernama Laverton. Pamannya dikenal sebagai salah seorang sesepuh orang awak di ranah Melbourne. Saat itu John yang hanya tamat SMP sangat mendambakan sebuah kehidupan yang sukses; sebuah kehidupan yang mampu merubah nasib buruknya. Dia ingin meninggalkan aroma ketidaktentuan hidup di tanahnya sendiri. John ingin menggapai bintang di tanah rantau. Disamping itu, sebagai orang Minang, John tak layak untuk berdiam di kampung menjadi bujang lapuak! Dia tak tanggung-tanggung merantau ke Melbourne. Sayang, pergaulan yang salah membawanya ke sebuah arena kelam yang menyeretnya berkubang di dalam lumpur dosa. John yang lugu, saat itu sudah terbiasa menikmati arus dunia gemerlap yang penuh hiasan maksiat. Barang haram dan judi adalah hiburan tetap selama akhir pekan. John mengaku bahwa dulu dia terbiasa dengan "gelek", istilah untuk obat-obat terlarang.

Meski menikmati kebebasan di tanah Kanguru ini, John adalah pekerja ulet yang bisa mengumpulkan banyak uang. Alhamdulillah, di Melbourne inilah John bertemu Wanny dan akhirnya memutuskan untuk menikah pada tahun 1998. Bersama sang istri tercinta, mereka akhirnya mampu membeli sebuah rumah di daerah Hallam. John yang pekerja keras di sebuah pabrik pintu dan jendela tak menyadari bahwa suatu hari dia harus mengalami kecelakaan permanen yang merubah haluan hidupnya, yakni kecelakaan saraf pinggang yang membuatnya tak lagi bisa bekerja dengan baik. John harus rela berhenti bekerja dan menjadi penjaga anak dan pengangguran di rumah. Hal ini jelas membuat John semakin kalut dan sensitif. Tekanan psikologis dan psikis yang membuatnya mudah marah. Pertengkaran demi pertengkaran seakan menjadi bumbu pedas yang menghiasi rongga rumahnya. Tak ada hari tanpa sumpah serapah bila sang penyakit sudah mulai menghujam di pinggangnya. Wanny dan Feli merasa hidup bak di dalam neraka.

Di saat dia dibelenggu kekalutan jiwa, di awal tahun 2005, seorang sahabat karibnya, Ayman, mengajaknya untuk menyambangi masjid. Ayman bilang bahwa ke masjid itu sudah jamak bagi orang yang mengaku Islam. Ayman adalah sahabat John sesama "preman" pada masa mudanya. Mereka berdua terbiasa menikmati dugem di akhir pekan. Gaji satu minggu bisa saja ludes di meja judi ataupun sekedar menikmati "gelek". Namun Ayman sudah berubah. Ayman yang sekarang berbeda dengan Ayman 10 tahun yang lalu. Ia sudah menemukan apa yang menjadi tujuan hakiki hidupnya. Masjid adalah tempat dia menandaskan semua kepasrahan dan kebahagiaan spiritual.

Walhasil, John tergerak untuk datang ke masjid dan berkenalan dengan beberapa jamaah di sana. Awal dia datang ke masjid, aku masih ingat, dia hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. Tak disangka dan diduga, John tertarik pada kesejukan hawa masjid yang dipenuhi dengan suasana keakraban dan persehabatan. Hawa masjid yang memancarkan cahaya Allah dan ketenangan batiniah yang tak terhingga. John mulai tertarik untuk membuka lagi kitab suci yang lama tak disentuhnya. Dia mulai lagi benamkan jidatnya di atas tikar sembahyangan sebagai pengakuannya atas semua hina dan khilaf di hadapan Rabb Yang Maha Agung. Kesungguhan John berbuah. Dia tak lagi malu memakai kopyah bila ke masjid, tak malu kalau diminta azan di masjid, dan tak malu ketika diminta melantunkan ayat-ayat Qur'an. John menjadi sosok lain yang mampu membalilk sejarah hidupnya. Hanya nur Allah yang mampu menerangi hatinya dan merontokkan semua jelaga dosa yang sudah sekian lama menempel.

Suatu hari John mengutarakan keinginannya untuk pergi haji. Dia ragu bahwa ilmunya tak seberapa dibanding kawan-kawan lainnya. Namun dia ingin sekali pergi ke tanah suci. Bahkan dia dengan sungguh-sungguh berkata kalau lah dia tak jadi berhaji, maka duit yang dia tabung akan disumbangkan kepada orang-orang miskin di kampungnya. Demikianlah John "baru" ini bertekad. Aku bilang kepadanya, "Kalau lah Pak John mantap dengan keputusan itu, tak usahlah banyak berfikir. Insya Allah, Pak John akan mendapatkan sesuatu yang paling berharga dalam hidup pak John. Pak John pergi sebagai tamu Allah". John pun terdiam. Seminggu kemudian dia datang lagi kepadaku dengan membawa berita bahwa dia sudah mendaftarkan diri untuk pergi haji tanggal 28 Nopember, hari Rabu. Sebuah berita yang membahagiaakan perasaanku. Selama dua hari kami berdiskusi tentang makna umrah dan haji serta manasik yang mengiringinya. John mendengarkan dan merekam dengan seksama. Bahkan dia hafalkan ucapan talbiyah "Labbaika allahumma labbaik....". Semangat betul nih John.

Dan hari ini pun tiba. Jam 10 pagi aku bertemu lagi dengan dia di bandara Tulamarin. Kulihat dia memakai setelan putih-putih. Baju koko dan celana putih serta songkok putih menghias kepalanya yang sudah dicukur rapi. John melambaikan tangannya, terlihat senyum cerahnya menyambutku dan kawan-kawan lainnya. Saat itu aku bersama Pak Dede, Ria, Mei, dan Imam bermaksud melepas dan mendoakan kepergiannya. Dia ungkapkan cita-citanya bahwa dia ingin menjadi haji mabrur sepulang dari haji dan ingin menggapai berkah hidupnya. Sebelum kami mengantar John ke gerbang doane, kami berlama-lama mengawetkan moment kebersamaan dengan menyeruput kopi dan menikmati donat di sebuah kafe di salah satu sudut di bandara Tulamarin. Namun, kami tak mampu mencegah moment kebersamaan itu beranjak meninggalkan kita karena John harus segara pamit berangkat. John harus take off menaiki SQ ke Singapura jam 11am, kemudian esok harinya jam 1pm waktu Singapura dia bertolak ke Jedah bersama dengan rombongan haji lainnya. Wajah Wanny nampak kuyu dan kelopak matanya tak mampu menahan bulir air mata ketika detik perpisahan harus muncul. Kami pun harus mengantarkan John di depan pintu keberangkatan yang dijaga oleh dua petugas bandara. Kami berpamitan. John menangis sesenggukan ketika memeluk istri tercinta. Feli tak mau dipeluk ayahnya. Feli pun ikut menangis haru melepas kepergian ayahnya. Hanya saling maaf memaafkan saja yang bisa kami ungkapkan dan doa agar perjalanan John selamat dan berkah hingga tujuannya. Yah, kami semua berharap berjumpa lagi untuk mendengar kisah selanjutnya di bulan Desember akhir. Semoga Allah menemanimu John!
Allahummaj 'alhu khajjan mabruuran!

Melbourne, 28 Nopember 2007

1 comment:

Anonymous said...

Haji mabrur adalah impian semua orang.