
Tarian tersebut diklaim sebagai "Tarian Tradisional Melayu" dan dimodifikasi namanya menjadi Tarian Barongan. Padahal kita tahu sendiri apa definisi Melayu itu? Untuk mendifinisikan sesuatu disebut Melayu, maka harus memenuhi beberapa variablel. Salah satu variabelnya adalah Islam dan semangat etnosentrisme sempit. Menurut Perlembagan Persekutuan dalam perkara 160(2) bahwa yang dapat disebut sebagai orang Melayu adalah mereka yang 1) beragama Islam; 2) berbahasa Melayu; 3) mengamalkan adat-istiadat Melayu; dan 4) lahir sebelum atau pada hari "kemerdekaan" Malaysia baik berada di Semenanjung Malaysia atau di Singapura dan tinggal di kedua wilayah tersebut. Sedangkan Tari Barongan yang ditayangkan dalam situs resmi tersebut tidak menunjukkan sisi keislamannya sebagaimana yang digariskan dalam variabel Melayu. Agaknya hal ini merupakan bentuk kebohongan publik. Untuk menjustifikasi klaim "kemelayuannya", maka diciptakanlah kisah Islam bagi kesenian ini agar terkesan valid. Dalam situs itu disebutkan :
"Barongan menggambarkan kisah-kisah di zaman Nabi Allah Sulaiman dengan binatang-binatang yang boleh bercakap. Kononnya, seekor harimau telah terlihat seekor burung merak yang sedang mengembangkan ekornya. Apabila terpandang harimau, merak pun melompat di atas kepala harimau dan keduanya terus menari. Tiba-tiba Pamong (Juru Iring) bernama Garong yang mengiringi Puteri Raja yang sedang menunggang kuda lalu di kawasan itu. Pamong lalu turun dari kudanya dan menari bersama-sama binatang tadi. Tarian ini terus diamalkan dan boleh dilihat di daerah Batu Pahat, Johor dan di negeri Selangor."

Perang terbuka atas produk budidaya ini ternyata terjadi pula di dunia maya. Perang blog pun tak terhindarkan. Fenomena ini bisa dilihat di dua website yang mewakili weltanschaung yang berbeda. Sila tengok perbezaan kita Pak Cik dan Mak Cik:
http://ihateindon. blogspot. com/
http://www.malingsi a.com
Ada lagi sebuah berita (dari Kantor Berita Bernama) tentang demonstrasi besar2an di Jakarta yang mengusung tema anti-malaysia. Dalam berita tersebut dikisahkan betapa hebatnya sang Duta Besar Malaysia untuk RI, Datuk Zainal Abidin Mohamed Zain, yang mampu membubarkan (bahasa Malaysianya: menyuraikan) demonstran hanya dalam waktu TIGA MENIT SAJA. Dan dengan HANYA 50 KATA SAJA sang Datuk bisa meredam amarah para demonstran di Jakarta kemarin. Seolah2 sang Datuk memang sakti mandraguna bisa membubarkan 1000 manusia yang lagi marah dan siap meluluhlantakkan Malaysia. 1000 orang Indonesia bertekuk lutut di bawah komando sang Datuk. Simak beritanya di sini.
"Kemlinthinya" Malaysia merupakan proses panjang atas ketidakberdayaan kita menghadapi krisis multidimensi. Krisis multideminsi ini telah berimbas pada pengikisan rasa percaya diri kita yang paling esensi. Salah satu krisis yang paling telak menghantam struktur masyarakat kita adalah krisis perut. Krisis perut telah mampu menggerus akal sehat dan hati nurani manusia kebanyakan. Korupsi yang merajalela dan budaya amuk yang sudah tertanam dalam setiap rentak perilaku kita adalah berawal dari krisis ini. Agama manapun tak akan bisa menentramkan dan meluruskan jalan umat jika krisis perut belum pula disentuh. Manusia Indonesia lebih terjerat untuk memikirkan perutnya sendiri dibanding melihat kekayaan yang ada dalam genggam tangannya yang sejatinya bisa digunakan untuk menyejahterakan semua anak negeri.
Krisis perut berimbas kepada krisis budaya yang diakibatkan hilangnya jati diri kita atas nama "impian semusim". Jenuh dan jengah dengan kesusahan dan kelaparan yang terjadi saban harinya, masyarakat kita butuh arena pelarian dengan menikmati banjir kapitalisme dan nafsu rendahan yang dibawa oleh berbagai media massa melalui tayangan dan lenggak-lenggok yang tak lagi menghargai adat ketimuran. Hampir semua tayangan di pentas layar kaca lebih menggambarkan budaya lain yang tidak membangkitkan kesadaran kita untuk bangkit dan kreatif. Media massa jarang memperkenalkan nuansa "cintaku negeriku" yang "membabar" siapa jati diri kita dan apa yang kita miliki. Kalau toh ada, paling hanya ditempatkan pada pojok halaman yang jarang disorot mata atau di sudut jam tayang yang tak banyak lagi penontonnya. Walhasil, kita jadi terlena bahwa kekayaan yang ada di genggaman tangan kita telah "dicuri" secara biadab tanpa mengindahkan etika bangsa yang pernah bercengkrama di atas lintas "titian muhibah".
Hilangnya rasa percaya diri kita sudah begitu kompleks hingga menghantui kita-kita yang tinggal di tanah seberang sekalipun. Ketidakpercayaan diri berimbas kepada hilangnya jiwa nasionalisme kita; hilangnya kebanggaan sebagai orang Indonesia yang memiliki memori kolektif tentang Indonesia. Seberapa tingginya kita kenalkan Indonesia kepada orang non Indonesia? Seberapa tingginya kita perkenalkan Indonesia kepada anak-anak kita? seberapa tingginya kita cinta terhadap produk Indonesia? Jangan terkejut kalau kita jumpai anak-anak Indonesia yang tak lagi "ngeh" diajak berbicara bahasa Indonesia; dan jangan heran pula kalau kita bertemu anak Indonesia yang tak lagi tahu asal muasal dirinya. Jangan heran pula kalau sebagian kita lebih bangga memakai produk-produk asing dibanding hasil kreativitas dan cucuran keringat bangsa sendiri. Kita mungkin harus malu bila bersanding dengan mereka yang berasal dari --- hanya contoh saja-- bangsa Yunani, India, dan China. Betapa mereka masih begitu lekat terhadap jati diri dan asal mausul mereka. Betapa mereka masih setia untuk mewariskan jati dirinya kepada anak cucu mereka. Dus, jangan salahkan kalau ternyata bangsa lain lebih mampu mendapatkan manfaat dari semua kekayaan yang ada dalam genggam tangan kita karena kita tak lagi mau dan mampu menghargai dan menjaganya.
Melbourne, 30 Desember 2007
No comments:
Post a Comment