Ujian Nasional Sadis
http://www.kompas.com/ver1/Dikbud/0606/20/120853.htm
Ujian nasional (UN) SMA pertengahan Mei lalu menelan banyak korban. Sebanyak 6.906 pelajar tak lulus, termasuk sejumlah pelajar yang diterima di perguruan tinggi negeri.
Rincian siswa yang tak lulus UN adalah 3.675 siswa SMA dari 62.179 peserta UN plus 3.231 siswa SMK dari 56.562 peserta ujian. Di antaranya siswa yang tidak lulus merupakan siswa yang sudah diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur khusus.
Nilai ujian nasional atau UN dijadikan satu-satunya penilai kelulusan siswa kelas III SMA dan sekolah sederakat seperti SMK. Standar kelulusan mencakup dua hal, yakni nilai per mata pelajaran miminal 4,26 dan rata-rata 4,51. Mata pelajaran yang diujikan dalam UN hanya tiga. Yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika (untuk jurusan IPA) atau ekonomi (untuk IPS) atau bahasa asing lain (untuk jurusan bahasa).
Di bawah standar itu, seorang siswa dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang. Sebab, mulai tahun ini tidak ada lagi ujian ulangan. Bayu Taruna dari SMAN 71 Duren Sawit, misalnya, dinyatakan tidak lulus karena memiliki nilai UN sebagai berikut: bahasa Indonesia 8,8, bahasa Inggris 9,2, dan matematika 4. Nilai matematika 4 jadi penghalang karena di bawah ketentuan minimal 4,26 meski nilai rata-ratanya mencapai 7,3 (jauh di atas standar 4,51).
Muhammad Al Farisi dari SMA Islam PB Sudirman bernasib sama dengan Bayu. Nilai UN bahasa Indonesia 8, bahasa Inggris 7,2, dan matematika 4. Fatma Wijayanti dari SMA Islam PB Sudirman memiliki nilai bahasa Indonesia 7,6, bahasa Inggris 8, dan matematika 3,67. Bayu, Farisi, dan Fatma memang bernasib sangat tragis. Sebab, ketiga pelajar itu sudah dilirik oleh perguruan tinggi negeri (PTN) sebagai siswa berbakat. Ketiganya diterima sebagai mahasiswa di PTN tanpa tes.
Program ini dikenal dengan sebutan Penelusuran Minat, Bakat, dan Kemampuan (PMBK). Program ini berbeda dengan program akselerasi yang mengandalkan uang masuk yang mahal. Bayu Taruna diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Pertanian Universitas Brawijaya (Unibraw), Muhammad Al Farisi di Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Fatma Wijayanti tercatat sebagai mahasiswa administrasi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Namun penerimaan itu dibatalkan karena PTN tidak menerima siswa yang tidak lulus sekolah.
Wakil Kepala Sekolah SMAN 71 Duren Sawit, Budi Susilo, mengatakan bahwa sekolah tidak bisa membatalkan ketidaklulusan siswa, walaupun sudah diterima di PTN. Sebab, penentu kelulusan adalah nilai UN. "Kami hanya ikut aturan dan kami tidak punya kewenangan apa-apa," kata Budi di ruang kerjanya SMAN 71 Duren Sawit.
Budi Susilo menjelaskan sejak kelas 1 hingga kelas 3 SMAN 71, prestasi dan perilaku Bayu Taruna sangat baik sehingga pihak sekolah mendukungnya untuk mendaftar ke Unibraw tanpa tes. "Kami kecewa sekali, karena murid yang kami pantau sejak kelas satu ini tidak lulus. Prestasi belajarnya selama tiga tahun tidak bisa menentukan kelulusannya," katanya.
Selain Bayu Taruna, di SMAN 71 Duren Sawit, masih ada 8 siswa dari jurusan IPA yang tidak lulus karena nilai matemati di bawah 4,26. Budi menambahkan bahwa orangtua yang anaknya tidak lulus sekolah, ada yang datang ke sekolah untuk meminta surat keterangan tidak lulus. Pasalnya, anaknya sudah diterima di perguruan tinggi swasta dan bila anaknya dinyatakan tidak lulus, harus membawa surat keterangan sebagai syarat meminta kembali uang pendaftaran dan uang kuliah di kampus tersebut.
Rasa kecewa juga diungkapkan orangtua dari Bayu Taruna, Bambang Purwosedono. Bambang menyebut sistem kelulusan dengan mengandalkan nilai UN sama sekali tidak adil. Ia akan mengadukan nasib anaknya ke Komisi X DPR RI yang membidangi masalah pendidikan. "Saya selaku orangtua kecewa. Anak saya kurang beruntung dengan adanya aturan seperti itu," kata Bambang yang juga mengajar fisika di SMA.
Ia bilang sistem pendidikan nasional atau sisdiknas yang berlaku sekarang ini tidak menghargai jerih payah para pendidik di sekolah. Pasalnya, saat kelulusan yang memberi penilaian akhir bukan guru yang bersangkutan melainkan pihak lain dalam hal ini Depdiknas. "Kami guru yang tahu kondisi di lapangan, tidak mungkin memberi penilaian ke siswa hanya dalam tempo 120 menit untuk satu mata pelajaran. Ini kurang adil," tutur Bambang yang sudah 20 tahun mengajar.
Bambang menambahkan bahwa anaknya stres, karena tidak menyangka tidak lulus sekolah. "Dia tidak mau mengulang belajar setahun lagi, stres, dan merasa cita-citanya kandas. Jerih payah anak selama tiga tahun tidak dilihat. Kalau dipikir-pikir, ya sudah anak tidak usah disekolahkan saja, tapi disiapkan hanya untuk UN. Orientasi bukan proses belajar di sekolah tapi ke UN," ucapnya.
Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta, Margani M Mustar, mengatakan pihaknya hanya bisa mengikuti peraturan sistem pendidikan yang diterapkan Depdiknas. "Ya, gimana, undang-undang sudah mengaturnya. Saya juga kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa, tapi semuanya kembali lagi ke undang-undang yang mengaturnya," katanya.
Ia berharap perguruan tinggi yang sudah menerima siswa SMA melalui jalur tanpa tes bisa memberi kelonggaran atau toleransi, dan menunggu siswanya hingga lulus ujian kembali. "Siswa yang sekarang tidak lulus bisa mengikuti paket C dengan belajar selama tiga bulan lagi, kemudian di bulan November bisa ikut ujian paket C," katanya. (Tan)Penulis: Martian Damanik
======================================================
Angka Kelulusan Ujian Nasional SLTA 91,43 Persen
http://www.kompas.com/ver1/Dikbud/0606/20/095138.htm
Persentase rata-rata angka kelulusan Ujian Nasional (UN) 2005/2006 untuk sekolah menengah lanjutan atas (SLTA) mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan UN tahun 2004/2005 lalu.
Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Bambang Suhendro, mengatakan untuk SMA dari 80,76 persen pada UN 2004/2005 menjadi 92,50 persen pada UN 2005/2006. Untuk Madrasah Aliyah (MA) dari 80,37 persen menjadi 90,82 persen, SMK dari 78,29 persen pada UN 2004/2005 menjadi 91, persen pada UN 2005/2006. "Rata-rata persentase kelulusan siswa SMA, MA, dan SMK meningkat dibandingan dengan UN tahun sebelumnya," kata Bambang ketika mengumumkan hasil UN di Gedung Depdiknas, Jakarta, Senin (19/6).
UN 2006 dilakukan serentak di seluruh Indonesia yang diikuti oleh 1.958.746 siswa SLTA, yakni SMA sebanyak 1.093.737 siswa, Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 221.801 siswa, dan SMK sebanyak 643.208 siswa SMK. Hasil UN ini diumumkan secara serentak di seluruh Indonesia pada Sabtu (17/6).
Ia mengatakan, UN merupakan salah satu pertimbangan kelulusan dari satuan pendidikan. Umumnya, penyelenggaraan UN tahun ini berjalan lancar baik persiapan, pelaksanaan, sampai dengan pemeriksaan hasil UN dengan melibatkan tim pemantau independen.
Lembar jawaban UN dikumpulkan dari ruang ujian ke penyelenggara ke tingkat sekolah/madrasah. Kemudian, dikumpulkan ke penyelenggara tingkat kabupaten/kotamadya dan penyelengara tingkat provinsi. Pemindaian (scanning) dilakukan di tingkat provinsi dan penilaian (scoring) di tingkat pusat.
Untuk setiap mata pelajaran yang diujikan di UN SMA/MA/SMK juga rata-rata meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk SMA, mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dari 6,57 menjadi 7,52. Bahasa Inggris dari 6,12 menjadi 7,54, dan matematika/ ekonomi/bahasa asing 6,54 menjadi 6,94.
Madrasah Alyah (MA) untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dari 6,46 menjadi 7,18, Bahasa Inggris dari 5,96 menjadi 7,16, dan matematika/ekonomi/ bahasa asing dari 6,44 menjadi 6,72. Untuk SMK, mata pelajaran bahasa Indonesia meningkat dari 6,13 menjadi 6,82, bahasa Inggris dari 5,61 menjadi 6,67, dan matematika dari 6,65 menjadi 6,98.
Peningkatan persentase kelulusan dan nilai mata pelajaran ini mengindikasikan terjadi peningkatan mutu pendidikan sekolah menengah secara nasional. "Hasil ini, antara lain disebabkan oleh kenaikan batas ambang batas rata-rata menjadi 4,50 dan kebijakan satu kali ujian, tanpa ulangan," ungkap Bambang.
Disparitas kelulusan antara SMA dengan MA, dan SMK juga menurun sebagaimana tampak dengan menurunnya jarak antara tingkat kelulusan tertinggi dengan tingkat kelulusan terendah pada UN tahun ini dengan tahun sebelumnya. Perbandingan tersebut adalah 2,13 menjadi 1,39 untuk SMA. Sebanyak 2,57 menjadi 1,47 untuk MA, dan 2,91 menjadi 1,36 untuk SMK.
Hasil UN di daerah bencana seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
Berdasarkan penilaian tersebut, lanjut Bambang, BSNP merekomendasikan kepada pemerintah, agar tetap melaksanakan ketentuan peraturan Mendiknas No 20/2005, yaitu untuk tahun pelajaran 2005/2006 UN dilaksanakan sekali.
Sementara itu, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Mutendik) Depdiknas, Fasli Jalal, mengatakan siswa yang tidak lulus ada dua opsi, yaitu kembali ke kelas tiga atau mengikuti program kelompok belajar (kejar) paket B (untuk SLTP) dan paket C (untuk SLTA) yang akan diselenggarakan pada Oktober mendatang. Penulis: I Made Asdhiana
Tuesday, June 27, 2006
Sunday, June 25, 2006
Kontemplasi
Satu tugas sudah aku penuhi
Gunungan masalah sudah aku lewati
Bahagia memenuhi relung dadaku
Aku bernafas lega
dan hari mendung pun nampak cerah
aroma dingin pun terasa hangat
Mendung pekat bak mozaik indah
memoles temaram senja
Namun, seakan Tuhan hendak mengujiku
ketika ku menapak pasti
ketika kusambut hari
kakiku tersandung batu kehidupan
kujatuh berguling dan terhempas tanpa daya
Aku berteriak tanpa peduli bahwa
dalam rongga jurang aku seorang diri
Aku sadar bahwa aku datang dari ketiadaan
Aku tak memiliki apa-apa
dan tak memiliki siapa-siapa
Aku merayap menopang tubuh
tanganku menggenggam erat akar jiwa
Dalam kesendirian di rongga sunyi
kuteringat derai tawa kawan sepermainan
kulihat nyinyir senyum para munafik
kutatap mimik tukang fitnah
kusepak ember-ember kusam yang berserak di dalam jurang
Sia-sia, tenagaku tak tersisa
Tuhan..... aku terlalu lemah dan bodoh
Hanya Engkau kawan sejati yang patut aku ajak berbagi
Selama ini
belum kutemukan seorang kawan yang mau bergandengan
bermesra dalam titian Ilahi
menutup rapat semua cela diri
mengunci liang nafsu bangkitkan gairah ibadah
Karena kutersandung batu ujian
Ku semakin erat mencengkram akar jiwa
agar ku kuat menopang tubuh
yang penuh dengan lumpur dosa
Ku ingin bersama Mu lagi
dalam rongga jurang sunyi
namun damai dalam sanubari
Ku tak punya apa-apa
dan ku tak punya siapa-siapa
Tangan-Mu lah yang kegandeng
tuk membimbingku menyusuri
gelap jurang menuju setitik cahaya hidayah-Mu
Melbourne, 26 Juni 2006
Gunungan masalah sudah aku lewati
Bahagia memenuhi relung dadaku
Aku bernafas lega
dan hari mendung pun nampak cerah
aroma dingin pun terasa hangat
Mendung pekat bak mozaik indah
memoles temaram senja
Namun, seakan Tuhan hendak mengujiku
ketika ku menapak pasti
ketika kusambut hari
kakiku tersandung batu kehidupan
kujatuh berguling dan terhempas tanpa daya
Aku berteriak tanpa peduli bahwa
dalam rongga jurang aku seorang diri
Aku sadar bahwa aku datang dari ketiadaan
Aku tak memiliki apa-apa
dan tak memiliki siapa-siapa
Aku merayap menopang tubuh
tanganku menggenggam erat akar jiwa
Dalam kesendirian di rongga sunyi
kuteringat derai tawa kawan sepermainan
kulihat nyinyir senyum para munafik
kutatap mimik tukang fitnah
kusepak ember-ember kusam yang berserak di dalam jurang
Sia-sia, tenagaku tak tersisa
Tuhan..... aku terlalu lemah dan bodoh
Hanya Engkau kawan sejati yang patut aku ajak berbagi
Selama ini
belum kutemukan seorang kawan yang mau bergandengan
bermesra dalam titian Ilahi
menutup rapat semua cela diri
mengunci liang nafsu bangkitkan gairah ibadah
Karena kutersandung batu ujian
Ku semakin erat mencengkram akar jiwa
agar ku kuat menopang tubuh
yang penuh dengan lumpur dosa
Ku ingin bersama Mu lagi
dalam rongga jurang sunyi
namun damai dalam sanubari
Ku tak punya apa-apa
dan ku tak punya siapa-siapa
Tangan-Mu lah yang kegandeng
tuk membimbingku menyusuri
gelap jurang menuju setitik cahaya hidayah-Mu
Melbourne, 26 Juni 2006
Friday, June 23, 2006
Ujian Nasional (lagi)
...
Seorang anggota DPR dari sebuah partai politik malah berkomentar nyleneh. Dia setuju kalau semua peserta UAN diluluskan dan tidak boleh satupun siswa yang dinyatakan gagal. Tanpa memberikan alternatif yang bijak, si anggota DPR ini lebih suka menambah masalah dan melempar segepok masalah lainnya. Mau jadi apa pendidikan nasional ini kalau tak memiliki kendali mutu melalui alat evaluasi? Apakah sekolah hanya akan menjadi lembaga seremoni dengan memberikan ijasah cuma-cuma? Mungkin pandangan dia ini diakibatkan pengalaman banyaknya anggota DPR dan DPRD yang memiliki ijasah "sihir".
Banyak orang tua dan para siswa yang menuntut ujian ulangan (remedial) untuk menebus ketidaklulusan mereka. Namun kenyataannya, pemerintah (sebagaimana diumumkan oleh wapres Jufus Kalla) menegaskan bahwa tidak akan diadakan ujian susulan. Mendiknas, Bambang Soedibyo, menetralisir dengan menawarkan para siswa yang gagal untuk mengikuti ujian Paket C yang setara SMA. Bahkan negara menjamin, sesiapapun yang mengikuti program Paket C, biayanya akan dijamin oleh negara. Dinyatakan pula bahwa secara undang-undang, ijasah kelulusan Paket C itu setara dan sama dengan ijasah SMA. Sehingga lulusan dari program ini memiliki hak melanjutkan ke perguruan tinggi atau mencari pekerjaan di tanah air ini. Namun, sesiapapun akan merasa pesimis dengan statemen ini. Siapa yang bisa menjamin bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi dan sektor-sektor formal di Indonesia tidak akan bersikap diskriminatif terhadap dua ijasah yang berbeda (meski dinyatakan sama level-nya)?.
Mengamati pembangunan pendidikan nasional, seakan-akan kita disuguhi tontonan drama babak bersambung. Namun satu babak dari drama tersebut tidak memiliki kaitan apapun dengan babak yang sebelumnya. Demikian pula dengan kebijakan pendidikan nasional. Terkesan ganti menteri, maka ganti kebijakan. Mutu pendidikan nasional tidak pernah dievaluasi secara mendasar dan radikal. EBTA ditambah dengan EBTANAS yang meniscayakan siswa harus memiliki NEM (Nilai Ebtanas Murni), kemudian EBTANAS dihapuskan menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional) yang membawa petaka bagi kebanyakan siswa. Tak mengherankan angka kelulusan di DKI adalah 99.84% karena infrastruktur yang menjamin hal ini. Bagaimana dengan daerah-daerah tertinggal, daerah konflik, dan daerah krisis musibah alam? Intinya, pemerintah seakan menutup mata bahwa standarisasi sejatinya memerlukan prakondisi, yakni penataan infrastruktur dunia pendidikan nasional secara merata. Mutu guru pun tidak bisa dinafikan karena mereka merupakan "avan garde" dalam praktek pendidikan nasional.
Untuk mengeliminir konflik yang diakibatkan oleh pelaksanaan UAN ini, hendaknya pemerintah mengadakan "try-out" dan pengukuran validitas test agar bisa ditentukan standar kelulusan secara arif. Disamping itu, pemerintah juga harus bijak untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di semua pojok tanah air ini. Pelaksanaan wajar sembilan tahun atas biaya negara pun harus dijamin pelaksanaannya. Oleh karena itu yang terpenting saat ini adalah tunaikan janji pemerintah bahwa mereka yang gagal UAN bisa melakukan semacam ujian susulan pada program Paket C dengan biaya negara. Sertifikat yang dikeluarkan program ini harus dijamin keabsahan dan kesamaannya dengan ijasah SMA. sambil terus menata kekurangan pembangunan di sektor pendidikan ini.
Wednesday, June 21, 2006
Ujian Nasional
Ujian Nasional ditengarai memakan banyak korban manusia. Puluhan ribu siswa sekolah menengah merasa nasib mereka bak telur di ujung tanduk ketika harus menghadapi sistem ujian nasional ini. Pasalnya standar nasional yang dijadikan patokan lulus adalah 4,25 pada masing-masing mata pelajaran yang diujikan yang meliputi Matematika, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Patokan ini dipandang sangat memberatkan siswa-siswa yang tak memiliki kemampuan seragam dalam mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Belum lagi heterogenitas infrastruktur pendidikan nasional yang masih timpang.
Walhasil pengumuman UAN kemarin menuai korban. Banyak orang tua tak habis pikir, begitupun banyak siswa yang tak bisa menerima hasil akhir sekolahnya. Siswa-siswa yang merasa tak "bego-bego" amat di kelasnya tidak bisa terima ketika "bad-luck" menghujam nasib sesaat. Bagaimana tidak? Belajar sekian tahun hanya diukur oleh ujian yang cuma berlangsung dua hari. Lebih parahnya seorang siswa dinyatakan tidak lulus karena nilai matematikanya di bawah 4,25. Sedangkan nilai bahasa Indonesianya 9, dan bahasa Inggrisnya 8 sama sekali tidak digubris. Yang terang dia dinyatakan gagal dan wajib mengulang tahun berikutnya. Kalau enggan, maka dipersilahkan mengikuti ujian bersama peserta Kejar Paket C yang setara SMA.
Ada lagi cerita seorang siswa yang sudah bangga diterima di sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di Yogyakarta. Namun karena nilai matematika dalam ujian nasional kemarin jeblok, maka kebanggaannya menjadi calon mahasiswa sirna seketika. Ironisnya dia diterima di jurusan MIPA yang nota bene "hanya" diperuntukan bagi mereka yang tak kenal "give-up" menggeluti nalar-nalar eksakta. Lain lagi cerita seorang siswi di Jakarta yang sudah mengantongi surat penerimaan beasiswa di luar negeri. Kabarnya dia mendapatkan beasiswa ke Jerman dan ke Australia untuk sekolah S1 di bidang psikologi. Sayang, dia harus malu dan menelan perasaan getir ketika salah satu nilai mata pelajaran dalam UAN membuatnya dinyatakan tidak lulus.
Yang paling bingung ternyata bukan hanya orang tua dan para siswa, namun Komnas HAM-pun dibuat kewalahan. Para orang tua siswa dan para siswa menuntut Komnas HAM untuk bertindak sesuai jalur hukum untuk menyeret Mendiknas ke meja hijau. Pasalnya gara-gara mendiknas lah anak-anak mereka menjadi tertekan dan frustasi. Seorang siswa diberitakan mengancam akan bunuh diri jika tidak diberi kesempatan untuk mengulang UAN tahun ini. Dia tidak mau menghabiskan usianya jika harus duduk kembali di dalam kelas. Ada-ada saja potret dunia pendidikan nasional ini. Mengapa gara-gara UAN banyak yang menjadi frustasi? Mengapa kecerdasan bangsa ini mesti ditentukan dengan ranah kognisi? Mengapa ranah afeksi, spiritual, dan emosional tidak menjadi sentuhan pendidikan nasional? Tidak heran kalau produk-produk pendidikan nasional lebih suka mendahulukan dengkul daripada akal.
(Sambung)
Walhasil pengumuman UAN kemarin menuai korban. Banyak orang tua tak habis pikir, begitupun banyak siswa yang tak bisa menerima hasil akhir sekolahnya. Siswa-siswa yang merasa tak "bego-bego" amat di kelasnya tidak bisa terima ketika "bad-luck" menghujam nasib sesaat. Bagaimana tidak? Belajar sekian tahun hanya diukur oleh ujian yang cuma berlangsung dua hari. Lebih parahnya seorang siswa dinyatakan tidak lulus karena nilai matematikanya di bawah 4,25. Sedangkan nilai bahasa Indonesianya 9, dan bahasa Inggrisnya 8 sama sekali tidak digubris. Yang terang dia dinyatakan gagal dan wajib mengulang tahun berikutnya. Kalau enggan, maka dipersilahkan mengikuti ujian bersama peserta Kejar Paket C yang setara SMA.
Ada lagi cerita seorang siswa yang sudah bangga diterima di sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di Yogyakarta. Namun karena nilai matematika dalam ujian nasional kemarin jeblok, maka kebanggaannya menjadi calon mahasiswa sirna seketika. Ironisnya dia diterima di jurusan MIPA yang nota bene "hanya" diperuntukan bagi mereka yang tak kenal "give-up" menggeluti nalar-nalar eksakta. Lain lagi cerita seorang siswi di Jakarta yang sudah mengantongi surat penerimaan beasiswa di luar negeri. Kabarnya dia mendapatkan beasiswa ke Jerman dan ke Australia untuk sekolah S1 di bidang psikologi. Sayang, dia harus malu dan menelan perasaan getir ketika salah satu nilai mata pelajaran dalam UAN membuatnya dinyatakan tidak lulus.
Yang paling bingung ternyata bukan hanya orang tua dan para siswa, namun Komnas HAM-pun dibuat kewalahan. Para orang tua siswa dan para siswa menuntut Komnas HAM untuk bertindak sesuai jalur hukum untuk menyeret Mendiknas ke meja hijau. Pasalnya gara-gara mendiknas lah anak-anak mereka menjadi tertekan dan frustasi. Seorang siswa diberitakan mengancam akan bunuh diri jika tidak diberi kesempatan untuk mengulang UAN tahun ini. Dia tidak mau menghabiskan usianya jika harus duduk kembali di dalam kelas. Ada-ada saja potret dunia pendidikan nasional ini. Mengapa gara-gara UAN banyak yang menjadi frustasi? Mengapa kecerdasan bangsa ini mesti ditentukan dengan ranah kognisi? Mengapa ranah afeksi, spiritual, dan emosional tidak menjadi sentuhan pendidikan nasional? Tidak heran kalau produk-produk pendidikan nasional lebih suka mendahulukan dengkul daripada akal.
(Sambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)