Wednesday, June 21, 2006

Ujian Nasional

Ujian Nasional ditengarai memakan banyak korban manusia. Puluhan ribu siswa sekolah menengah merasa nasib mereka bak telur di ujung tanduk ketika harus menghadapi sistem ujian nasional ini. Pasalnya standar nasional yang dijadikan patokan lulus adalah 4,25 pada masing-masing mata pelajaran yang diujikan yang meliputi Matematika, Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Patokan ini dipandang sangat memberatkan siswa-siswa yang tak memiliki kemampuan seragam dalam mata pelajaran-mata pelajaran tersebut. Belum lagi heterogenitas infrastruktur pendidikan nasional yang masih timpang.

Walhasil pengumuman UAN kemarin menuai korban. Banyak orang tua tak habis pikir, begitupun banyak siswa yang tak bisa menerima hasil akhir sekolahnya. Siswa-siswa yang merasa tak "bego-bego" amat di kelasnya tidak bisa terima ketika "bad-luck" menghujam nasib sesaat. Bagaimana tidak? Belajar sekian tahun hanya diukur oleh ujian yang cuma berlangsung dua hari. Lebih parahnya seorang siswa dinyatakan tidak lulus karena nilai matematikanya di bawah 4,25. Sedangkan nilai bahasa Indonesianya 9, dan bahasa Inggrisnya 8 sama sekali tidak digubris. Yang terang dia dinyatakan gagal dan wajib mengulang tahun berikutnya. Kalau enggan, maka dipersilahkan mengikuti ujian bersama peserta Kejar Paket C yang setara SMA.

Ada lagi cerita seorang siswa yang sudah bangga diterima di sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di Yogyakarta. Namun karena nilai matematika dalam ujian nasional kemarin jeblok, maka kebanggaannya menjadi calon mahasiswa sirna seketika. Ironisnya dia diterima di jurusan MIPA yang nota bene "hanya" diperuntukan bagi mereka yang tak kenal "give-up" menggeluti nalar-nalar eksakta. Lain lagi cerita seorang siswi di Jakarta yang sudah mengantongi surat penerimaan beasiswa di luar negeri. Kabarnya dia mendapatkan beasiswa ke Jerman dan ke Australia untuk sekolah S1 di bidang psikologi. Sayang, dia harus malu dan menelan perasaan getir ketika salah satu nilai mata pelajaran dalam UAN membuatnya dinyatakan tidak lulus.

Yang paling bingung ternyata bukan hanya orang tua dan para siswa, namun Komnas HAM-pun dibuat kewalahan. Para orang tua siswa dan para siswa menuntut Komnas HAM untuk bertindak sesuai jalur hukum untuk menyeret Mendiknas ke meja hijau. Pasalnya gara-gara mendiknas lah anak-anak mereka menjadi tertekan dan frustasi. Seorang siswa diberitakan mengancam akan bunuh diri jika tidak diberi kesempatan untuk mengulang UAN tahun ini. Dia tidak mau menghabiskan usianya jika harus duduk kembali di dalam kelas. Ada-ada saja potret dunia pendidikan nasional ini. Mengapa gara-gara UAN banyak yang menjadi frustasi? Mengapa kecerdasan bangsa ini mesti ditentukan dengan ranah kognisi? Mengapa ranah afeksi, spiritual, dan emosional tidak menjadi sentuhan pendidikan nasional? Tidak heran kalau produk-produk pendidikan nasional lebih suka mendahulukan dengkul daripada akal.

(Sambung)

No comments: