Friday, June 23, 2006

Ujian Nasional (lagi)


...

Seorang anggota DPR dari sebuah partai politik malah berkomentar nyleneh. Dia setuju kalau semua peserta UAN diluluskan dan tidak boleh satupun siswa yang dinyatakan gagal. Tanpa memberikan alternatif yang bijak, si anggota DPR ini lebih suka menambah masalah dan melempar segepok masalah lainnya. Mau jadi apa pendidikan nasional ini kalau tak memiliki kendali mutu melalui alat evaluasi? Apakah sekolah hanya akan menjadi lembaga seremoni dengan memberikan ijasah cuma-cuma? Mungkin pandangan dia ini diakibatkan pengalaman banyaknya anggota DPR dan DPRD yang memiliki ijasah "sihir".

Banyak orang tua dan para siswa yang menuntut ujian ulangan (remedial) untuk menebus ketidaklulusan mereka. Namun kenyataannya, pemerintah (sebagaimana diumumkan oleh wapres Jufus Kalla) menegaskan bahwa tidak akan diadakan ujian susulan. Mendiknas, Bambang Soedibyo, menetralisir dengan menawarkan para siswa yang gagal untuk mengikuti ujian Paket C yang setara SMA. Bahkan negara menjamin, sesiapapun yang mengikuti program Paket C, biayanya akan dijamin oleh negara. Dinyatakan pula bahwa secara undang-undang, ijasah kelulusan Paket C itu setara dan sama dengan ijasah SMA. Sehingga lulusan dari program ini memiliki hak melanjutkan ke perguruan tinggi atau mencari pekerjaan di tanah air ini. Namun, sesiapapun akan merasa pesimis dengan statemen ini. Siapa yang bisa menjamin bahwa perguruan tinggi-perguruan tinggi dan sektor-sektor formal di Indonesia tidak akan bersikap diskriminatif terhadap dua ijasah yang berbeda (meski dinyatakan sama level-nya)?.

Mengamati pembangunan pendidikan nasional, seakan-akan kita disuguhi tontonan drama babak bersambung. Namun satu babak dari drama tersebut tidak memiliki kaitan apapun dengan babak yang sebelumnya. Demikian pula dengan kebijakan pendidikan nasional. Terkesan ganti menteri, maka ganti kebijakan. Mutu pendidikan nasional tidak pernah dievaluasi secara mendasar dan radikal. EBTA ditambah dengan EBTANAS yang meniscayakan siswa harus memiliki NEM (Nilai Ebtanas Murni), kemudian EBTANAS dihapuskan menjadi UAN (Ujian Akhir Nasional) yang membawa petaka bagi kebanyakan siswa. Tak mengherankan angka kelulusan di DKI adalah 99.84% karena infrastruktur yang menjamin hal ini. Bagaimana dengan daerah-daerah tertinggal, daerah konflik, dan daerah krisis musibah alam? Intinya, pemerintah seakan menutup mata bahwa standarisasi sejatinya memerlukan prakondisi, yakni penataan infrastruktur dunia pendidikan nasional secara merata. Mutu guru pun tidak bisa dinafikan karena mereka merupakan "avan garde" dalam praktek pendidikan nasional.

Untuk mengeliminir konflik yang diakibatkan oleh pelaksanaan UAN ini, hendaknya pemerintah mengadakan "try-out" dan pengukuran validitas test agar bisa ditentukan standar kelulusan secara arif. Disamping itu, pemerintah juga harus bijak untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di semua pojok tanah air ini. Pelaksanaan wajar sembilan tahun atas biaya negara pun harus dijamin pelaksanaannya. Oleh karena itu yang terpenting saat ini adalah tunaikan janji pemerintah bahwa mereka yang gagal UAN bisa melakukan semacam ujian susulan pada program Paket C dengan biaya negara. Sertifikat yang dikeluarkan program ini harus dijamin keabsahan dan kesamaannya dengan ijasah SMA. sambil terus menata kekurangan pembangunan di sektor pendidikan ini.

No comments: