Tuesday, July 18, 2006

Bohong


Mencari manusia jujur di dunia yang sudah gila ini adalah bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Karena pada hakikatnya diri kita adalah bukan diri kita ketika kita bercermin pada makhluk hidup lainnya. Kita hanya akan menemukan diri kita ketika bercermin melalui kaca hati dan bertanya, "Siapa aku?". Pertanyaan semacam ini bisa dilontarkan dan dihujamkan dalam relung hati kita yang paling dalam. Niscaya kita akan menemukan sederet jawaban mengenai siapa diri kita yang sebenarnya. Dalam alam kontemplatif kita akan menemukan diri kita yang sesunggunya. Diri yang banyak cacat, banyak kekurangan, dan banyak dosa. Bahkan kita akan menemukan diri yang terbiasa berenang dalam kubangan larangan Tuhan.

Maka bisa dimafhumi kita cenderung memakai topeng diri yang lain manakala kita bergaul dengan makhluk Tuhan yang lain. Ketika kita bergaul dengan suami, maka kita memakai topeng istri. Ketika kita bergaul dengan anak-anak kita, maka kita mengenakan topeng sebagai ibu atau bapak dari anak-anak. Ketika kita pergi ke tempat kerja, maka kita mulai memakai topeng lain sebagai karyawan. Dan masih banyak contoh lain yang kesemuanya menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk dengan seribu wajah. Kalau Rahwana cuma memiliki sepuluh wajah saja, maka kita lebih digdaya dibanding Rahwana si pencuri istri orang. Di sinilah kita dipaksa untuk selalu memakai topeng yang bermacam-macam.

Namun salahkah itu semua? Jawabnya adalah relatif. Maknanya kita diperbolehkan memakai topeng sesuai dengan kondisi dan tempat kita berada. Untuk menjadi suami yang baik, maka topeng manis dan murah senyum adalah keniscayaan untuk melanggengkan hubungan suami-istri. Malah Rasul sendiri memperbolehkan seorang suami berbohong tentang rasa masakan istri ketika sesungguhnya masakan buatan istri tak begitu memantik selera di lidah. Hal ini dilakukan agar suami mampu menyiram kebahagiaan dan kemesraan dalam jiwa sang istri. Betapa damai ketika topeng kita kenakan sesuai waktu, kondisi, dan posisi. Apa jadinya kalau seseorang tak mengenal posisi? Seorang kere akan berlagak bak bos sebuah bank untuk mengelabuhi gadis pujaannya, seorang preman berlagak suci masuk ke masjid dengan niat mencuri sandal, dan seorang penyelingkuh akan berlagak setia meski kebusukannya akan menyebar di depan hidung istrinya. Kalau tak mengenal waktu, kondisi dan posisi, maka topeng itu menjadi sangat tidak etis.

Konon ada seorang murid yang dipesan oleh gurunya untuk merahasiakan sebuah ilmu yang diberinya. Jangan sekali-kali rahasia itu diceritakan kepada kawan-kawan seperguruannya. Si murid pun mengangguk. Namun dalam kepalanya berkecamuk, "Kenapa guru mengajarkan aku berbohong?" Bukankah bohong itu merupakan jendela kemunafikan?." Si Murid berontak dengan nasihat gurunya. Dia pun tak mengindahkan nasihat gurunya. Dia bersikeras bahwa dia tak ingin berbohong, dia ingin menjadi manusia jujur dan terbuka. Diceritakanlah perihal ilmunya itu kepada semua kawan seperguruannya. Akhir cerita, si murid mendapatkan gurunya terbunuh karena racun yang dimasukan ke dalam makanannya. Dalam secarik pesan terakhirnya si guru menulis, "Muridku, inilah hasil dari kejujuranmu". Si Murid baru mengerti bahwa rahasia yang dia sebarkan ternyata menyulut iri dan dendam di kalangan sesama murid.

Dalam masa Nabi Yusuf, ketika Yusuf mengetahui adiknya Bunyamin bersama rombongan anak-anak Ya'kub, dia pun berpesan kepada penasihatnya agar jangan bercerita kepada siapapun perihal dia telah menyelipkan timbangan emas di dalam karung Bunyamin. Kebohongan Yusuf kepada penasihatnya ternyata berbuah kepada berkumpulnya semua keluarga Ya'kub yang diikuti taubat massal saudara-saudara Yusuf.

Bohong merupakan topeng yang sewaktu-waktu diperlukan. Topeng yang seyogyanya dipakai sesuai dengan waktu, kondisi dan posisi yang sesuai dengan tujuan mulia. Tuhan berpesan, "wa laa tulquu aydiyakum ilat tahlukah" (Janganlah kau ulurkan kedua tanganmu dalam jurang kehancuran). Gunakan topeng ini demi kedamaian dan kebaikan bersama.

Melbourne, 19 Juli 2006

No comments: