Sunday, September 28, 2008

Akhirnya

Hari ini, Senin 29 September 2008. Ibu kota di awal pekan seolah berbeda dari biasanya. Jalanan lengang, suasana mendung bergelayut memberikan nuansa duka melepas bulan suci kembali ke pangkuan-Nya, banyak toko, warung makan, dan gerai tutup pertanda si empunya ingin sekedar berleha di rumah atau balik kampung melepas lelah. Jakarta menjadi kota "normal" tanpa centang-perenang kemacetan yang tak pernah hilang. Hampir setiap hari semua saluran televisi memberitahukan kondisi arus mudik lebaran. Seolah semut-semut yang memanggul gula sedang kembali ke sarangnya. Jalur nagreg macet sepanjang 5 kilometer, sedangkan di Cirebon iringan kendaraan harus merayap pelan sepanjang 22 kilometer. Sebuah pemandangan yang biasa terjadi setiap tahun.

Mudiknya manusia pinggiran ini merupakan komoditas yang bermanfaat bagi isu sukses nasional tahun 2009 mendatang. Banyak parpol yang menyediakan program mudik gratis. Alhamdulillaaah, yang penting manfaat bagi rakyat kecil yang lagi tercekik nafas mereka memikirkan melambungnya semua harga kebutuhan pokok. Meski demikian, semua petinggi parpol harus sadar bahwa rakyat kita semakin cerdas. Bantuan apapun akan mereka terima, tapi hari penentuan adalah di tangan mereka. Mereka tak ingin lagi membeli kucing dalam karung. Meskipun sekarang kucingnya biasa bermain film, bernyanyi, atau jago pidato dan penjilat intelektual. Rakyat mungkin memilih bungkam untuk tak komentar. Selama ini mereka muak dijejali lawakan dan dagelan politik murahan yang menampilkan manusia dengan motif menggelembungkan perut sendiri. Rakyat hanyalah barang mainan yang diingat ketika hingar-bingar suksesi semakin kelihatan. Golongan putih penanda skeptisisme dan nafas ahimsa merupakan protes tanpa gerak masyarakat mayoritas. Mereka mampu melantunkan protes secara santun menanggapi berbagai kekecewaan yang bertubi-tubi.

Biarlah para politis dan badut-badutnya berebut hari para pemudik. Bagi saya, bangsa ini harus bisa lebih arif dan cerdas. Bangsa ini harus lebih bisa berfikir masa depan yang lebih cerah; sebuah masa yang bisa mencetak generasi muda lebih hebat lagi. Bukan mereka yang bersekolah tinggi tapi moral preman yang lebih dikedepankan. Kita butuh mereka yang memiliki integrasi moral tinggi. Ingat cita-cita Pak Bakri dan Bu Muslimah di SD Muhammadiyah dalam film Laskar Pelangi. Pak Bakri berulang-ulang mengatakan bahwa kelebihan SD-nya dibanding SD tetangga adalah kemampuannya menempa moral anak bangsa. Anak bangsa yang mau memberi sebanyak-banyaknya, bukan mereka yang selalu menerima sebanyak-banyaknya. Ramadhan adalah "training season" bagi para mukminin untuk bisa merenungi betapa moralitas adalah ekspresi dan bukti pengakuan kita atas kehadiran Tuhan di muka bumi ini. Adapun Idul Fitri adalah refleksi dan bukti moralitas yang berujud memberi kepada sesama. Idul Fitri adalah momen berbagi dan memberi.

Berbagi dan memberi merupakan ekspresi cinta kita kepada Yang Maha Memberi. Kesadaran kita atas barang titipan Tuhan akan mendorong kemauan berbagi dan memberi. Kita hanyalah tempat titipan belaka. Semua materi dan atribut yang menempel tak lain hanyalah "temporer attachment" yang sewaktu-waktu kembali kepada kefanaan. Ramadhan memang harus berakhir. Tapi akhir dari Ramadhan harus diiringi oleh wujud budaya berbagi dan memberi di kalangan umat Islam. Inklusivisme dan empati sosial di tengah derasnya arus egoisme dan individualisme akut masyarakat modern merupakan buah dari puasa yang transformatif. Di sinilah letak ajaran agama yang aplikatif dan liberatif. Akhirnya, selamat berlebaran, "Minal a'idiin wal faa'iziin".

Pasar Minggu, 29/09/08

No comments: