Monday, December 04, 2006

Curiga


Senin sore jam 2 aku sudah diingatkan untuk datang tepat jam 6 sore di rumah Ibu Centil. Katanya si Abi, anaknya yang nakal banget, akan berulang tahun yang kelima. Aku jawab saja, "Insya Allah Bu". "Awas lho kalau nggak datang karena saya perlu Mbah memberikan do'a dalam acara ini!!". " Saya tidak mengundang banyak orang, karena tahu sendiri nafas saya bisa putus kalau harus menjamu sekian banyak orang", katanya sambil berapi-api. Aku bayangin kalau dia nyerocos sambil monyongin mulutnya. Aku tahu Ibu Centil itu memang suka centil. Dia sering bercerita kalau dulu ketika mudanya, dia digandrungi banyak pemuda. Dari yang jalan telanjang kaki hingga mereka yang mengendarai merci. Untunglah aku tidak bertanya lebih jauh, apakah diantara mereka ada duda beranak tiga yang naksir dia?

Tepat jam 5 sore aku bergegas dari kampus ke rumah Pak Haji. Sudah satu bulan aku tinggal dengan keluarga Pak Haji yang sederhana ini. Mentari begitu menyengat dan menggigit kulit gelapku. Wah, bisa lek-lok dengkul nih kalau harus jalan sejauh satu kilo dari kampus ke rumah dengan cuaca yang begitu panas. Tak apalah, aku bergegas mengayunkan langkahku sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Aku sendiri heran. Aku kan tidak bisa menyanyi kok memaksa diri untuk menyanyi. Apa saja yang melintas dibenak pikiranku, aku jadikan nyanyian. Aku tak peduli orang-orang yang berlalu lalang dan berpapasan denganku mendengar nyanyi kacau itu. Intinya aku ingin menghibur diri sendiri.

Tak terasa perjalanan satu kilo sudah terlampaui. Sesampai di rumah jam menunjukan 5.30 sore. Ah, aku harus mandi dan shalat terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah Ibu Centil. Oh iya, aku lupa memperkenalkan siapa itu Ibu Centil ini. Dia kawan baikku dan kawan baik banyak orang. Hobinya menari dan menyanyi. Satu hal yang tidak bisa lepas dari kebiasaan dia adalah "nyerocos" apa saja dan merasa suaranya yang paling bagus. Aku harus menghargai daya kreativitas dia; meski terkadang sumbang di telinga. Kelebihan lain yang dimilikinya adalah cita rasa masakan dan berdandannya. Dia pengin tampil beda dan tak ingin disamakan dengan ibu-ibu kelompok arisan yang kerjaannya "ngrumpi" dan "gossiping". Dia pengin tampil lebih intelek dan lebih laki-laki katanya. Dengan bangga dia tunjukkan jam tangan laki-laki yang selalu dia pakai. Ibu Centil adalah salah satu diantara kawan-kawanku lainnya, seperti Ibu Heboh, Ibu Kagetan, Ibu Komentar, dan Ibu Ngantuk.

Tepat jam 6 sore. Jemputan belum datang. Rencana akan pergi dengan Pak Haji ternyata molor. Pak Haji masih berada di jalanan. Untungnya Pak Diam datang mengetuk pintu. Senyum cerah menghias wajahnya, "Mbah sudah ditunggu!". "Baik, sekarang saja kita berangkat", begitu kataku. Kita pun meluncur. Ternyata di rumah Ibu Centil sudah banyak tamu. Ada Ibu Heboh, Ibu Komentar, Bapak Ngantuk, Bapak Gundul, Bapak Cihui, dan lain-lainnya. Begitu aku sampai, Ibu Heboh langsung mulai heboh, "Mbah bagaimana nih?! Orang Indonesia memang suka jam karet!! Mending kita makan saja sekarang!". Ibu Heboh ngomong sambil beranjak dari kursinya. Dia lupa bahwa acara do'a harus didahulukan. Dasar Heboh, baru lapar langsung saja heboh!.

Jam 7.30 sore acara dimulai. Kita mulai berdo'a. Aku memimpin do'a agar semua yang hadir dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang bersyukur. Giliran Si Abi meniup lilin. Riang sekali dia ketika meniup deretan lilin kecil yang memagari tepi kue tart cokelat. Aku bergumam dalam hati, "Semoga Allah memberi kesehatan dan menjadikannya anak yang sholeh". Setelah pemotongan kue tart, acara dilanjut dengan shalat Maghrib berjama'ah. Aku minta Ustadz Arswendo untuk menjadi imam. Aku tidak ingin memonopoli acara. Sehabis shalat, barulah acara makan-makan dimulai. Entah apa yang terjadi, Ibu Centil dan Ibu Heboh terlihat kasak-kusuk. Seolah hidung mereka mengendus sesuatu yang tidak beres. Tatapan mereka menatap Bapak Kecil yang berdiri di pojok dan menyepi dengan dunianya. Agaknya dia tidak ingin bercampur dengan kelompok iseng tawa ini. Aku tak ambil pusing dengan hal itu. Biarlah orang lain punya dunianya, sebagaimana aku pun punya duniaku. Buat apa menyemai curiga jika kedamaian bisa kita tanam subur dalam semak hati kita?

Melbourne, 5 Desember 2006

No comments: