Monday, March 17, 2008

Bertemu keluarga

Indonesia itu negeri yang penuh dengan kehangatan. Kehangatan yang terus tercipta dalam segala bulir kisah manusianya dan segala iklim yang menyelimutinya. Indonesia adalah negeri dengan 1001 kisah bak di negeri Aladin. Konon kisah Ali-Baba adalah kisah lama yang menjadi nafas ketika republik ini dibangun. Pemberantasan korupsi ternyata malah menyeret mereka yang seharusnya memenggal kepala para koruptor. Seorang jaksa yang mengepalai program pengendusan harta karun triliunan yang hilang malah menerima suap secara terang-terangan. Pengentasan kemiskinan semakin tak jelas ujungnya karena semakin hari, semakin banyak rakyat miskin yang harus tersingkir dari perkotaan. Rakyat miskin adalah penghuni tanah pedesaan nan kumuh atau daerah tertinggal yang dihiasi gisi buruk. Perkotaan bukan tempat yang pas bagi mereka yang papa. Mereka dipandang sebagai penganggu ketertiban dan perusak keindahan kota.

Namun, sebagai warga "ndeso" aku masih layak memiliki identitas sebagai "wong ndeso" yang karena "takdir" harus mengais rejeki di kota besar Jakarta. Sebagai guru aku merasa bangga meski gaji tak seberapa. Apa yang bisa dikorupsi dari seorang guru? Mau korupsi kertas, kapur, buku tulis, spidol, atau jadi penjilat bagi penilik atau pengawas? Ah, aku tak punya bakat untuk itu. Yang jelas aku merasa menikmati profesi sebagai guru; sebuah profesi yang pernah aku citakan saat ku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku kagum benar dengan guru-guruku itu. Mereka santun, berdedikasi tinggi, dan memang berjiwa guru. Mereka menampilkan dirinya sebagai sosok bijak dan sosok yang anggun untuk ditiru. Namun. saat ini aku tak menemukan lagi sosok seperti mereka. Yang ada adalah keluhan dari banyak guru yang tak bisa hidup hanya bergantung menjadi guru.

****

Berbulan lamanya tak menghirup udara kampung halaman membuatku merasa jenuh. Saat ku sedang sendiri, sering terlintas banyak bayang wajah orang yang kukasih. Wajah almarhum ayah, almarhum kakek, almarhumah nenek, almarhum paman, almarhumah bibi, dan wajah ibuku yang semakin keriput. Mereka adalah orang-orang yang sanggup menanamkan kesederhanaan dalam diriku. Kebersahajaan adalah nirwana yang bisa dinikmati dalam arus hegemoni materialisme yang akut. Biarlah dianggap "wong aneh" di zaman edan ini. Yang penting "nrimo lan sadermo anglakoni" (menerima dan menerima apa adanya). Jangan "neko-neko", lakukan hidup sesuai dengan kemampuan. Demikian nasihat yang masih terekam dalam sanubariku.

Tanggal 7 Maret, 2008. Aku sempatkan diri untuk mudik ke kampung halaman. Istriku tak bisa ikut karena banyak tugas di kampus. Tak apalah, aku mudik sendirian untuk kembali menginjakkan kakiku di kampung penuh kenangan. Jakarta bagiku adalah tempat singgah, sedangkan kampung halaman adalah tempat ku menikmati hidup penuh perenungan. Slawi Ayu tak lagi seayu dulu. Bangunan bersejarah sudah banyak digerus oleh palu pembangunan. Manusia rakus lebih suka menikam memorinya sendiri. Bahkan mereka tak ingin generasi muda menyimpan koleksi kebanggan atas masa lalu nenek moyangnya.

Kerusakan ekologis semakin kentara. Sungai dekat rumah yang dulu pernah menjadi tempatku bermain telah kering dan tercemar. Dulu masih banyak ikan yang bisa dipancing, seperti lele, wader, mujahir, sepat, nila, dan betik. Sekarang semua telah lenyap karena manusia telah merusak kawasan hidup mereka. Pohon yang berderet rindang di sepanjang jalan pun telah ditebang dan diganti dengan pohon palem yang gersang. Aku jelas kehilangan suasana rindang masa laluku. Saat ku tilik sawah ladang yang biasa aku lalui dengan ayahku sambil bersepeda sore, tak lagi ada burung pipit berkicau atau emprit mencuri padi. Burung gagak atau burung elang yang berkitar gagah tak lagi kulihat. Bahkan yang menjadi aku semakin terenyuh adalah anak desa yang sudah "gagah-gagahan" memanggul bedil angin untuk menembak burung gereja dan emprit yang masih tersisa. Semua lahan telah menjadi perumahan. Gersang nian kampungku. Kemana lagi akan kutemukan nuansa masa lalu? Untuk bernafas saja rasanya aku harus berebut dengan banyak manusia lain karena deretan rumah semakin menjejali kawasan hunian yang semakin sumpek. Tempat bermain anak pun sudah tak ada lagi. Semua berubah menjadi bangunan angkuh yang tak menyisakan rasa "kamanungsan".

Di kampungku, banyak rumah yang dibangun dengan model kota. Semua rumah sudah dikelilingi oleh pagar tinggi. Apakah hal ini menunjukkan rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan penghuninya? Atau sebagai bentuk pengejawantahan individualisme dan egoisme zaman? Entahlah. Yang jelas aku tak lagi mampu menatap keayuan kampungku. Saat kuberjalan mengitari kota Slawi Ayu. Hanya sudut kumuh yang penuh sampah menjadi hiasan keayuannya. Sampah dibiarkan menumpuk dan membusuk. Lalat berpesta sambil menari dan menyanyikan dengung keriangan mencemooh kemalasan manusia.

Aku masih ingat ketika setiap pulang sekolah, pastilah aku mampir ke Pasar Slawi untuk menemani ayah dan ibuku jualan nasi hingga jam 5 sore. Terkadang aku tak canggung untuk membangun pertemanan dengan anak gelandangan dan pengemis yang biasa mangkal di pasar. Sampai-sampai aku pun mengikuti kemana mereka pergi dan tahu dimana mereka tinggal. Lorong jembatan adalah hotel mewah yang biasa mereka singgahi, atau emperan toko adalah losmen yang biasa mereka nikmati. Terkadang akupun mencari buah-buahan yang tercecer di pasar bersama mereka. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku menikmati buah-buah yang bercecer di lantai pasar bersama kawan-kawanku itu. Sekarang pasar itu sudah tak ada lagi. Sudah dibuldoser dan diganti oleh ruko-ruko mewah. Sementara pedagang kecil harus lari ke pasar yang terletak di tengah pesawahan, Pasar Trayeman! Berdagang tak laku, membuat mereka lesu. Masa depan suram dan kematian pasti membayang akibat hari kelabu terus mengharubirukan kehidupan mereka tak terkecuali kehidupan ayah-ibuku. Tahun 1991 adalah tahun mushibah bagi para pedagang kecil akibat keangkuhan proses pembangunan yang tak memihak rakyat kecil.

****

Ironisnya, di dekat bekas lokasi Pasar Slawi, sekarang telah berdiri toko-toko besar yang menancapkan taring monopoli usaha. Lagi-lagi para pedagang kecil menjerit tak mampu bersaing. Gusti Allah, mengapa banyak manusia yang berasal dari desa tak mau memperjuangkan masyarakat desa yang mampu mandiri tanpa mengemis sesiapapun. Mengapa banyak anak desa yang menjadi pejabat sudah begitu lupa penderitaan orang-orang desa? Saat ku berkumpul dengan keluargaku. Aku tatap wajah ibuku yang sudah tak lagi muda. Sakit-sakitan. Apalagi kalau cuaca hujan dan dingin, maka kambuhlah penyakitnya. Aku sedih dengan kondisi kampungku dan aku harus sedih melihat kenyataan bahwa waktu adalah pelumat kehidupan yang maha dahsyat. Yah, mungkin karena waktu yang bergulir terus, maka banyak perubahan yang tak kuiinginkan. Andai aku memiliki tali kekang waktu, maka akan aku hentikan perubahan dan kematian. Lunturnya ayu kampungku, apakah karena waktu yang terus bergulir itu? Ataukah manusia yang tak peduli lagi bahwa waktu akan membinasakan mereka?

Ciputat, 17/8/2008

1 comment:

Anonymous said...

Salaam, mbah ustadz. Apakabar?