Monday, March 03, 2008

Sekolah Internasional


Pulang ke Jakarta membuatku terkesiap dengan berbagai model pendidikan di tanah air. Yang jelas saat ini terlalu banyak elitisme pendidikan muncul menjadi trend gaya hidup manusia kota. Sekolah-sekolah kaum elit semakin merajai peta pendidikan nasional. Sementara itu banyaknya sekolah yang ambruk dan hampir ambruk menjadi fenomena lain di alam pendidikan kita. Indonesia adalah negeri dengan warna kontras yang sangat kental. Antara kaum papa dan kaum kaya seolah menawarkan sebuah jurang dalam yang tak mungkin bisa ditimbun dengan serpihan nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini bukanlah sebuah pandangan pesimis atau apatis dalam memandang realitas sosial Indonesia. Sementara anggota DPR menikmati fasilitas negara yang dibayar oleh jerih tetes keringat anak bangsa, rakyat miskin semakin tergencet oleh kebijakan yang disokong para wakilnya. Rakyat miskin antre minyak tanah dan minyak goreng. Orang kaya antre di mall-mall mewah dan swalayan terkemuka untuk memuaskan nafsu 'shopping'-nya dengan menghamburkan jutaan rupiah. Orang kaya berduyun-duyun ke gerai telepon genggam mutakhir, sementara kaum miskin berebut sembako gratis hingga megap-megap hampir kehabisan nafas. Indonesia negeri dengan warna kontras.


Hidup konsumtif menjadikan masyarakat papa semakin suram. Mereka telah tercerabut dari akses ekonomis untuk mencicipi indahnya hidup. Impian mereka biasa dibangun melalui film-film India, telenovela, atau sinerton-sinetron murahan yang dibuat asal-asalan. Kebanyakan mengumbar kehidupan mewah tanpa berfikir perasaan manusia miskin yang menghuni kolong langit Indonesia. Kalau toh sebuah sinetron menggambarkan orang miskin, paling banter adalah orang miskin yang terus menikmati kesialannya yang kemudian menemukan mukjizat dari langit, bak dongeng Cinderella. Negeri dengan manusia konsumtif seolah membangun budaya tanpa identitas dan kepercayaan diri. Produk pertanian dalam negeri kalah di negeri sendiri ketika harus bersaing dengan buah-buahan, bawang merah, kacang kedelai, dan pisang tandan impor. Pakaian buatan dalam negeri kalah pamor dibanding merek-merek ekslusif dan glamor yang didatangkan dari luar negeri. Tak heran banyak produsen lokal yang sengaja membuat model dan produk dengan merek luar negeri agar bangsa ini semakin percaya diri. Orang miskin dipaksa menolak takdir dengan cara instan melalui label dan merek. Sementara itu orang kaya semakin menghamburkan kekayaannya berbelanja atau melancong ke luar negeri. Bila perlu duit haram pun diparkir di luar negeri!


Bangsa ini kehilangan kepercayaan dengan dirinya sendiri. Salah satu akibat dari penyakit akut ini adalah berdirinya sekolah-sekolah dengan papan nama super bombastis. Nama-nama yang tak lagi menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi nama-nama yang dibuat dengan bahasa Inggris, semisal Multicultural International School, International School, Lab School, Internationally Accreditted School, dan sebainya. Semua gila bahasa Inggris dan semua gila dan latah menggunakan kata-kata 'international'. Sampai-sampai sekolah-sekolah dengan label Islam pun tak mau kalah dengan menggunakan papan nama berbahasa Inggris dan terma 'international'. Kalau urusan biaya masuk, jangan tanya lagi. Sekolah-sekolah ini bisa menghabiskan puluhan ekor sapi jika seorang anak disuruh sekolah di sana. Bagi rakyat miskin tak usah bermimpi karena sekolah tersebut hanya dikreasi untuk orang kaya. Ada kawan saya yang mudah bergurau, kebetulan dia adalah salah seorang staff sekolah internasional. Dia bilang, "Lha kalau mau sekolah pintar dan fasilitas hebat, yah harus bayar mahal dong." Lagi-lagi saya harus mengernyitkan dahi mengingat anak-anak jalanan yang terpaksa membunyikan botol plastik berisi beras dan bernyanyi di dalam busa kota atau perapatan lampu merah. Mereka biasanya membagikan amplop kosong bertuliskan, "Bapak-ibu tolong saya. Saya ngamen untuk makan dan sekolah."


Ada lagi yang berpendapat bahwa sekolah-sekolah mahal memang dibuat agar orang-orang kaya di Indonesia tak lagi mengirimkan anak-anaknya sekolah di Australia, Amerika, atau Singapura. Cukup mereka mengirimkan ke sekolah dalam negeri bertaraf internasional! Lalu, ada perasaan getir dalam anganku, "Apakah ke depan tak akan menciptakan dikotomik masyarakat yang kontras hasil didikan lembaga pendidikan?, yakni masyarakat kaya dan masyarakat miskin yang dididik di dalam bilik yang berbeda." Bahkan dunia bisnis saat ini mampu mengkreasi taman bermain anak-anak yang diperuntukkan bagi keluarga elit. Mereka diperkenalkan dengan berbagai profesi elitis, seperti dokter, pramugari, bankir, dan eksekutif. Jangan harap ada profesi petani, tukang becak, tukang ojek, pedagang kaki lima, seniman, dan profesi yang dipandang orang sebagai profesi "non formal", pinggiran, dan kelas kere! Padahal profesi ini adalah milik mereka yang kreatif yang mampu berusaha mencari harta halal sehalal-halalnya. Lagi-lagi dunia Indonesia sudah menciptakan kapling sosial yang diametral.
Entah puluhan tahun ke depan generasi-generasi ini akan mewarisi negeri kontras Indonesia dan mereka akan membuat elitisme sosial yang mungkin berujung pada sebuah revolusi sosial. Hal ini mungkin saja terjadi karena kecemburuan orang-orang miskin yang selama ini digerus oleh proses pembangungan yang sejatinya disokong oleh kaum elit yang tak bernurani kerakyatan. Aku ingin membangun sebuah sekolah bertaraf internasional tanpa aku tuliskan "International' di papan nama sekolah itu; aku ingin membuat sekolah hebat, tapi menggunakan nama Indonesia, nama lokal tanpa perlu latah memakai bahasa Inggris. Sekolah hebat yang bisa menerima anak-anak orang miskin tanpa harus pusing berfikir tentang biaya. Tapi, inipun butuh modal yang tak sedikit. Mudah-mudahan ada orang-orang kaya yang mau kembali ke 'khithoh'-nya sebagai orang orang-orang miskin. Khitoh miskin bermakna sebuah kesadaran hakiki bahwa dahulu mereka terlahir dalam keadaan miskin dan telanjang, sedangkan harta yang mereka nikmati saat ini hanyalah titipin Sang Maha Kaya. Sebagai orang miskin, pastilah mereka mau mendukung sesama orang miskin. Aku ingin Indonesia lebih maju dalam kebersahajaan; aku ingin agar Indonesia lebih maju dengan dukungan warganya yang kreatif tanpa takut sengsara. Kemanjaan adalah kebodohan yang menafikan kreatifitas! Masihkah kita mau terperdaya oleh kemasan yang diberi nama yang sejatinya mengindikasikan inferioritas sebuah bangsa?


Ciputat, 3/3/2008


1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by the author.