Monday, March 03, 2008

Humanisme Pendidikan


Ada sebuah surat yang tak bernama berbunyi begini:

Dear Teacher,

I am a survivor of a concentration camp. My eyes saw what no man should witness: gas chambers built by learned engineers, children poisoned by educated physicians, infants killed by trained nurses, women and babies burned by high school and college graduates. So, I am suspicious of education.

My request is: help your students become human. Your efforts must never produce learned monsters, skilled psychopaths, educated Eichmanns. Reading, writing, and arithmetic are important only if they serve to make our children more human.

(Dikutip dari : Fiona Carnie. Alternative Approach to Education: a Guide for Parents and Teachers. NY:RoutledgeFalmer, 2003. hal. 9).

Kegundahan sang penulis surat agaknya menjadi kegundahan dan keresahan banyak pihak yang menjadi stakeholders pendidikan. Ketika anak-anak mereka disekolahkan di sebuah sekolah, perilaku mereka justru semakin buruk, mereka lebih piawai berbohong dan memanipulasi uang, mengalami penurunan sisi afeksinya, dan tidak lagi memiliki sensitifitas sosial dan kultural. Budaya kekerasan menjadi karakter utama ciri khas sekolah nasional. Murid sekolah dasar yang terlibat tawuran, narkoba, dan kecanduan film porno agaknya sudah jamak. Bahkan menurut keponakan saya yang masih duduk di kelas enam sebuah SD di pinggiran Jakarta, diantara kawan-kawannya, terdapat sekelompok siswi SD yang memiliki kebiasaan jalan-jalan di mall berlagak bagai perempuan nakal. Tidak hanya itu mereka memiliki 'gang' eksklusif penikmat film biru yang sepatutnya ditonton oleh orang dewasa.

Kaum akademisi dan intelektual ternyata pun membuang cagar intelektualitas dan menginjak-injak nilai-nilai akademik demi ekspresi anarkis. Sisi humanis dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka di-DO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar dengan maraknya 'ayam kampus' dan transaksi narkoba adalah wajah buram generasi muda Indonesia. Apa yang terjadi dengan mereka?

Sungguh sulit untuk menunjuk hidung penyebab semua ini. Kalau ada orang bertanya, "Siapa yang harus dipersalahkan?", maka salahkanlah kita semua sebagai sebuah sistem dan pranata hidup yang sistemik. Institusi pendidikan hanyalah partikel kecil dari sistem makro sebuah bangsa. Karena posisinya yang sentral sebagai penjamin denyut nadi kehidupan bangsa, maka institusi pendidikan selalu dituding sebagai biang keladi permasalahan sosial di masyarakat. Institusi pendidikan tidaklah berdiri sendiri dan ia tak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa ada proses dialektika terhadap perubahan zaman yang mengitarinya. Sangat susah untuk menjawab apakah institusi pendidikan yang mampu merubah haluan hidup masyarakat, ataukah masyarakat sendiri yang merubah arah tujuan pendidikan? Pertanyaan ini sama halnya dengan mana yang duluan telor ataukah ayam. Jika anak-anak yang dididik di institusi pendidikan malah menjadi tidak lebih baik, maka minimal kita harus menganalisa melalui beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, faktor internal. Faktor internal merupakan pengejawantahan kekuatan sebuah bangsa. Faktor sosialisasi dan pewarisan nilai sebagai bentuk pendidikan non-formal sudah tak berfungsi lagi. Pola dan norma hidup yang telah berubah menyebabkan perilaku manusia menjadi semakin tercabut dari akar lamanya. Proses pencabutan ini terjadi ketika masyarakat sudah tak patuh lagi dengan koridor nilai yang dihormati. Seorang anak yang tidak memiliki kenyamanan dalam rumah, cenderung untuk bertindak frontal dan aharmonis dengan lingkungannya. Watak asosial terjadi karena faktor pewarisan nilai negatif dalam rumah. Seorang anak yang terbiasa dengan fenomena judi menjadikan dia tak lagi melihat judi sebagai bentuk penyakit masyarakat. Renganggnya hubungan anak dengan orang tua berimbas kepada renggangnya kehidupan masyarakat. Individualisme terus menggerogoti intimasi kelompok masyarakat. Mereka seolah hidup di dalam sangkar besi (iron cage). Penguatan nilai-nilai lokal yang arif sudah tak laku lagi.

Kedua, faktor eksternal. Gempuran nilai dan budaya yang berasal dari luar membuat sebuah bangsa kehilangan identitasnya. Pasca reformasi sebagai pintu gerbang kebebasan manusia Indonesia ternyata mengakibatkan panen buah simalakama. Kebebasan yang tak dibatasi malah melanggengkan watak anarkisme dalam jiwa anak bangsa. Hal ini disebabkan kebebasan sekelompok orang boleh jadi merugikan sekelompok yang lainnya. Penzaliman menjadi tradisi unik bangsa ini, kezaliman lawan kezaliman. Demokrasi diterjemahkan secara serampangan, yakni kebebasan individu. Bangsa Indonesia dipaksa mencaplok idiologi yang tidak sesuai dengan kultur dan kepribadian bangsa. Kita lebih suka terperangkap dalam adagium "think locally, act globally". Dari hal ini, maka yang terjadi adalah manusia yang suka berpenampilan luar negeri, tapi otak dan perilaku merefleksikan selera rendah dan hina.

Di luar dua faktor itu adalah faktor negara yang belum maksimal memanggul palu hukum. Komitmen pemerintah untuk membangun generasi muda Indonesia ke depan harus dimulai dengan payung hukum yang jelas. Semua komponen dan potensi bangsa harus diarahkan demi tercapainya bangsa yang cerdas. "Mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai cita-cita nasional akan menjadi isapan jempol belaka kalau tak didukung oleh komitmen riil para penyelenggara pemerintahan. Komponen hukum digunakan untuk mendidik anggota bangsa yang bersalah. Komponen informasi disediakan untuk menambah wawasan para anak bangsa, bukan untuk menikmati fitnah duniawi. Komponen aparatur negara disiapkan untuk mengawasi dan memberi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kalau negara tak memiliki komitmen, maka yang ada adalah penghambaan para penyelenggara negara kepada para pemilik modal. Para pemimpin akan mengemis kepada para cukong dan membiarkan para rakyat semakin bodoh oleh proses pembodohan yang teratur dan sistemik. Para pemimpin takut tidak populis apabila harus berdiri atas nama rakyat. Di sinilah awal mula hilangnya humanisme di kalangan manusia Indonesia. Agama tak mampu lagi menjadi sumber inspirasi dan bertindak, karena insan agamanya pun terseret oleh kepentingan politis yang menghamba pada para pemilik rupiah.

Humanisme dalam pendidikan itu perlu agar para peserta didik mampu membangun empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Pendidikan harus lebih mampu menggali kearifan lokal dan ajaran agama yang mendukung konsep 'rahmatan lil-alamin' bagi semua makhluk. Pelajaran bahasa seharusnya diarahkan bagi kelembutan perasaan para peserta didik. Pendidikan matematika seharusnya diorientasikan bagi penyiapan anak-anak yang jujur dan mandiri. Pendidikan agama seharusnya lebih menitikberatkan pada bagaimana peserta didik mampu menghormati dan menghargai satu sama lain dalam wadah kerukunan umat. Agama diajarkan agar manusia menjadi lebih manusia, bukan terjerembab dalam kubangan hewani. Pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di atas itu semua, adalah kultur kondusif sebuah negara dan sekolah dimana peserta didik nyaman belajar harus diciptakan. Untuk menggali potensi humanisme pendidikan, maka filsafat pendidikan harus mampu merenungi sebuah pertanyaan yang mendasar, yakni "Kemana arah pendidikan nasional Indonesia." Apakah pendidikan bisa dianalogikan sebagai usaha menanam tanaman, membuat kompor, menyalakan api ataukah, menuang air ke dalam botol?

Wass,
Ciputat, 4/3/08

No comments: