Besok Kamis, 20 Maret 2008 bertepatan dengan 12 Rabi'ul Awal 1429 H. Konon tanggal tersebut adalah tanggal bersejarah. Tanggal yang menyentak sejarah dunia dimana pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun gajah (21 April 571M) itu lahir jabang bayi laki-laki yang bernama Muhammad. Sebuah nama yang terbukti mampu menggetarkan hati lawan dan menuangkan dahaga cinta di kalangan para sahabatnya. Sebuah nama yang belum pernah ada pada masa itu. Dari sudut nama, secara kultural, bayi ini akan mampu mendobrak kemapanan zamannya. Pada saat itu banyak orang yang memiliki nama-nama "pasaran" seperti Asad, Harits, Zubair, Tholhah, Amr, dan lain-lain. Namun, "Muhammad" adalah simbol yang mampu menggores sejarah dunia. Bahkan Michale H Hart saja mengakui kehebatan Muhammad sebagai manusia paling berpengaruh di dunia. Hanya dalam 23 tahun, Muhammad mampu menata peradaban manusia dalam selimut ketauhidan.
Tradisi penyembahan terhadap berhala diakhiri melalui konsep tauhid; pengakuan hakiki manusia atas kerendahan dan kefakiran diri. Tiada tuhan selain Allah meniscayakan kemauan manusia untuk menanggalkan segala tuhan-tuhan atau sesembahan selain Allah. Kalaulah dulu berhala masih berwujud patung-patung yang disembah, namun sekarang ini lebih berujud pada kapitalisme dan materialisme yang merasuk pada posisi sosial tertentu. Manusia lebih memuja uang dibanding memuja Allah. Manusia lebih memuji modalitas-modalitas semu yang berbentuk pangkat, gelar, jabatan, dan bahkan ilmu dan tingkat kesalehan karikatif. Ada manusia yang memandang dirinya serba narcis ketika orang lain mengidolakannya. Ada lagi yang menilai dirinya paling takwa dan paling alim dibanding manusia lain gara-gara jubah, janggut, jilbab, dan kayu siwak. Mereka tidak ingat nasihat Sang Nabi bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling mampu memancarkan nilai manfaat buat sesama. Ibadah individualis yang tak memiliki rekam jejak kesalehan sosial malah makin mengucilkan dirinya dari sosok uswah hasanah Nabi penutup zaman.
****
Oleh karena itu terdapat dua mainstreaming dalam mencermati individualisme di kalangan masyarakat Islam yakni inividualisme materi dan individualisme akidah. Individualisme materi mengakibatkan manusia menciptakan kerucut-kerucut kecongkakan berbasis pada modalitas materi. Elitisme di kalangan manusia membuat jurang pemisah yang begitu lebar antara si kaya dan si miskin. Padahal Islam hadir bagi manusia untuk meluluhlantakkan segala fragmentasi manusia berdasar strata apapun. Semua manusia sama di mata Allah, dan semua manusia dibedakan oleh fungsinya masing-masing di dalam tubuh umat. Islam boleh dikatakan sebagai "religion of non-priveleged classes" karena tak ingin membangun kotak-kotak sosial berdasarkan kasta ataupun modalitas materi. Semua manusia akan mengalami hari hisab sebagai proses kalkulasi amal yang amat detil. Dunia dipandang sebagai lahan ukhrawi yang disediakan sebagai pesemaian benih-benih amaliah yang buahnya baru bisa dipetik di alam surgawi. Ironisnya, manusia modern seolah masih melanggengkan elitisme yang sejatinya lahir dari paham individualisme berbasis modalitas.
Individualisme akidah meniscayakan perilaku manusia yang tak percaya diri pada dirinya sendiri. Rasa percaya diri dibangun melalui "waham-waham" kesalehan yang dijenuhi oleh justifikasi-justifikasi yang menistakan kelompok liyan. Pesan-pesan Nabi dan Allah dicicipi melalui lidah tekstual dan skriptural tanpa menelenjangi latar belakang historis dan filosofisnya. Tak ayal Islam sebagai sebuah agama yang menyatukan umat Islam justru "seolah" membuat umat semakin terfragmentasi oleh banyaknya pengarusutamaan pemikiran mazhabi. Hal ini berakibat munculnya klaim sepihak siapa yang paling patut disebut "ahlu sunnah wal jama'ah" bahkan klaim sebagai "salafus shalih" yang paling berhak atas surga Allah. Tak heran bila banyak perang atas nama Tuhan Yang Satu. Padahal makna tauhid bukan hanya pada sisi Uluhiyah, Rububiyah, dan asma wa shifat Allah, akan tetapi tauhid juga bermakna tauhid insaniyah sebagai bukti bahwa mereka adalah umat yang satu.
****
Kita dibuat sedih ketika sekelompok orang membakar sebuah masjid sambil meneriakkan Allah Akbar gara-gara berbeda corak pemikiran. Andai Tuhan hadir di tengah-tengah kita pastilah semua manusia tunduk dan malu atas semua perbuatannya. Hampir 1500 tahun yang lalu Rasulullah pernah khawatir akan kondisi umat Islam. Beliau mengatakan bahwa akan datang suatu masa dimana umat Islam tak lagi mampu memegang esensi agamanya. Beliau mengibaratkan bahwa pada zaman itu manusia mengenggam akidah Islam bagai mengenggam bara menyala. Para sahabat bertanya, "Apakah jumlah kami pada saat itu sedikit ?" Rasulullah SAW menjawab, "Bahkan kamu (umat Islam) pada saat itu jumlahnya lebih banyak, tetapi kualitas kalian bagai buih air bah yang hilang wibawa dan jatuh martabatnya (di mata musuh, yang ada bukan iman dan semangat jihad yang menyala, tetapi cinta dunia dan takut mati". (HR. Abu Dawud dan Bukhari).
Bahkan agama pada saat ini sudah menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Para da'i menjadi penjaja agama yang handal dengan segmen pasar yang berbeda-beda. Kebanyakan da'i menjadi patron bagi masyarakat urban atau masyarakat berduit tebal. Sedangkan da'i-da'i kampung atau para kyai langgar lebih banyak tenggelam asyik dengan umatnya di desa-desa dan kampung-kampung dalam luapan syahdu penuh kesahajaan. Mereka mampu menciptakan komodifikasi agama yang berujung pada pemuasan syahwat materi. Beberapa waktu lalu ada ribut-ribut yang memalukan bahwa seorang ustadz kondang merasa terhina atas tuduhan seorang mustami'nya bahwa dia lebih menghamba pada kaum berduit. Sang ustadz marah besar bahkan akan menyeret si mustami' ke meja hijau dan akan memperkarakannya sampai ke ruang pengap penjara. Dengan kata-kata pedas namun penuh sitiran ayat-ayat Tuhan sang ustadz mampu memojokan sang mustami' yang kritis itu. Ntah, peristiwa ini berujung di mana.
****
Lain lagi di kampungku. Banyak orang yang antusias untuk mengadakan peringatan maulid Nabi sebagai arena silaturahim dan menambah pengetahuan agama sekaligus menambah derajat cinta kepada Sang Nabi. Bahkan mereka sanggup iuran guna merenungi peristiwa penting ini. Tak dinyana dan tak diduga ketika aku menghadiri shalat Jum'at di sebuah masjid, sang khatib mengatakan, "Marilah kita melaksanakan agama Islam sebaik-baiknya. Sesungguhnya peringatan-peringatan maulid nabi itu adalah hadiah yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada umat Islam Indonesia. Umat Kristen memiliki perayaan Natal, maka mereka memberikan kesempatan buat kita untuk memiliki peringatan semisal itu. Tidak perlu kita membuat peringatan-peringatan yang menyerupai tradisi umat lain. "Man tasyaabaha biqawmin fahuwa minhum" (barang siapa yang menyerupai sebuah kelompok, maka dia adalah bagian dari mereka)!".
Aku sungguh bingung dengan paradigma yang dipakai si khathib ini. Apakah dia tak sadar bahwa peringatan maulid adalah simbolisasi dan penciptaan moment yang amat penting bagi masyarakat awam yang rindu akan nuansa agamis dan sosial. Akankah dia lebih suka berdiam diri atas gempuran budaya dan ideologi transnasional yang membumihanguskan kearifan Islam dan kearifna lokal? Bukankah peringatan maulid nabi bisa menjadi "entry-point" untuk sekedar mengingat siapa sejatinya Sang Rasululullah sebagaimana yang dilakukan oleh Shalahuddin Al-Ayubi (1137 M) ketika harus menanggapi melempemnya gairah umat Islam pada saat itu. Shalahuddin meyakini bahwa pada saat ancaman perang Salib semakin membayang, umat Islam tak memiliki gairah untuk memperkokoh barisan. Motivasi hanya bisa dibangunn bila mereka memiliki "sang idola". Maka Rasul pun dijadikan idola sekaligus ikon gerakan pembangunan umat. Saat itulah maulid Nabi menjadi peristiwa penting yang men"charger" semangat dan perjuangan kaum Muslimin.
Apapun simbol dan moment yang dibuat, biarkan dia menjadi ajang yang bisa dinikmati oleh semua orang. Maulid nabi bisa menjadi moment-moment peringatan, namun yang lebih penting dari itu semua adalah bagaimana kita mengikuti pribadi dan kepribadian Rasul penutup zaman ini, yakni akhlak yang "par-excellence". Aku yakin bahwa perilaku korup para pemimpin umat tak lain karena mereka telah meninggalkan ajaran Sang Rasul. Aku ingat kata-kata bijak Syauki Beyk yang mengatakan, "Sebuah bangsa akan bediri kokoh bila mereka berpijak di atas landasan moral yang kuat, namun sebuah bangsa akan hancur lebur ketika moralitas dinistakan." Mungkin saat ini agama tak lagi indah karena manusia tak mau lagi menggenggamnya dalam sanubari suci. Agama lebih menjadi hak bagi mereka-mereka yang mengklaim dirinya agamawan yang diberi titah untuk mewartakan "kebenaran" menurut isi perutnya sendiri.
Ciputat, 18 Maret 2008
No comments:
Post a Comment