Monday, March 24, 2008

Film Ayat-Ayat Cinta

Tulisan ini saya buat sebagai goresan kesan ketika saya menonton film Ayat-Ayat Cinta. Ada berbagai penyesuaian yang tidak sama dengan alur cerita yang tertuang di novel. Film ini untuk beberapa hal menjadikan cerita Ayat-Ayat Cinta menjadi janggal dan kering. Ada beberapa hal yang membuatnya kering. Kekeringan pertama adalah pada artikulasi bahasa Arab para pemainnya. Saya hanya menemukan logat dan fluency Arab pada dua orang saja, yakni seseorang yang bertemu dengan Fachri di dalam metro yang bercerita tentang kesebelasan Zamalek dan salah seorang sipir penjara.

Sayangnya bahasa Arab terasa kering ketika pemain yang memerankan tokoh lokal tak begitu piawai me"lanyah"kan ungkapan Arabnya. Memang benar bahwa mereka bukan penutur asli bahasa Arab 'amiyah. Adalah sebuah kelumrahan bila para pemain tak begitu menguasai gaya dan intonasi bicara, namun hal ini bukan merupakan apologi karena 'amiyah hanya muncul sekali-kali dan tak banyak. Mereka yang memerankan tokoh lokal harus lebih bisa mengartikulasikan dengan fasih dan alami, semisal Maria, Aishah, Noura, bapaknya Noura, serta Bahadur. Kalau Fachri masih bisa ditolelir karena dia merepresentasikan orang Indonesia yang ada di tanah Musa. Namun suara Fachri ketika membaca qira'ah Sab'ah pada surah al-Rahman sama sekali tidak membuat telinga saya percaya bahwa itu adalah suara pelakon Fachri. Dubbingnya terasa kasar.

Kekeringan kedua adalah penggambaran kekerasan yang tak begitu hidup. Ketika Bahadur menampar atau memukul Noura terlihat betapa ngambang tangan mengayun. Bahkan terlihat begitu jelas kalau tangan itu tak menyambar pipi Noura. Atau kekerasan yang dialami Fachri pun terasa kering dan kurang menyayat. Hal ini disebabkan efek yang belum bisa dibangun dengan cantik. Sayang sekali. Padahal bagian ini bisa menambah efek jiwa dalam film ini.

Kekeringan ketiga adalah pertemuan Fachri dengan Maria di atas jembatan Nil. Sayang sekali sungai Nil masih saja bernuansa India dengan bentuk beton-beton hias di atas jembatan Nil tersebut. Suasana Nil tak terasa. Begitupun ketika Fachri dan Maria bertemu di atas jembatan, mereka tak merefleksikan suasana Nil yang minimal ada lalu lalang manusia di sekitar mereka. Hanya dua orang saja. Padahal kita tahu Fachri adalah sosok yang sangat religius sekali. Agak aneh ketika Fachri bisa "berduaan" dengan Maria di sebuah sudut jembatan Nil yang sepi.

Kekeringan keempat adalah gambaran akademis yang tak terlihat. Seharusnya dalam film ini digambarkan suasana gedung dan universitas al-Azhar agar terlihat hidup. Sayang sekali gambar tentang al-Azhar tak terlihat nyata. Penggambaran fenomena akademis mahasiswa Indonesia di sana tak begitu jelas. Salut untuk tayangan Wisma Indonesia yang representatif sebagai tempat temu muka warga Indonesia di sana, khususnya para pelajar. But, peran pelajar di sana yang aktif dalam kegiatan pendidikan tak nampak jelas, semisal kegiatan pengajian di KBRI dan TPA di sana.

Kekeringan berikutnya adalah adanya pandangan negatif dari beberapa aktivis Muslim bahwa film ini lebih mengumbar cinta dibanding mewartakan tentang Islam moderat. Sosok Fachri yang suci seharusnya diperankan lebih indah dan apik andaikata ada bintang muda yang sudah bersuami-istri. Semisal adegan Fachri yang mencium kening Maria atau memeluk dia ketika jatuh adalah hal yang "melukai" beberapa aktivis Muslim. Tapi hal ini bisa dipahami dengan terbatasnya pemain muda yang tersedia dan bisa memerankan hal-hal tersebut tanpa menabrak koridor syari'at.

Bagaimanapun film ini patut diacungi jempol sebagai the starting point atau the stepping stone bagi film-film bernuansa Islami. Kita sudah semakin menderita dengan banyaknya film-film tak bermutu yang lebih menawarkan unsur birahi, syahwat, dan horor. Bangsa kita dibuat semakin bodoh dengan tayangan tak menyentuh. Kita rindu akan film-film yang menyentil dan menggelitik rasa kemanusiaan kita atas berbagai penderitaan anak-anak bangsa. Sayangnya berbagai sinetron kita tak menghargai perasaan orang miskin. Coba lihat, sebuah sinetron tentang orang miskin, namun pemain utamanya berdandan menor dan pakaian yang dipakai tak mencerminkan kemiskinanannya? Krisis ide ataukah krisis pemain yang berkualitas? Mengapa tak ada lagi film-film perjuangan yang mampu membangkitkan semangat kebangsaan, semisal film Diponegoro (Ratno Timur), Nopember 28 (Slamet Rahardjo), Cut Nyak Din (Kristin Hakim), Walisongo (Dedy Mizwar dkk)? Atau film-film Islami yang tak lagi menjejalkan keajaiban dan mukjizat Tuhan? Tapi film Islami yang riil dan menggambarkan usaha manusia yang mencitrakan Islam sebagai rahmatan lil'alamin?




Ciputat, 20 Maret 2008

No comments: