Tuesday, March 04, 2008

Ayat-Ayat Cinta



Hari Minggu, 2 Maret 2008, sepulang diskusi seharian di Wisma Syahida, aku langsung menikmati air dingin dari dispenser di rumah. Ketika aku sedang asyik menikmati acara berita di teve, istriku menghampiriku dan bercerita bahwa dia baru saja pergi ke Depok untuk menyaksikan sebuah film Indonesia dengan sang keponakan. Aku heran karena selama ini dia adalah orang yang paling nyinyir kalau berbicara film Indonesia. Selalu dia katakan bahwa film Indonesia tak mampu membuat kita cerdas; film Indonesia tak memiliki sensitifitas sosial; film Indonesia hanya mengumbar amarah dan makian, dan sebagainya. Namun kali ini dia malah kesengsem dengan sebuah film Indonesia.

"Kok tumben sih pake acara nonton film Indonesia. Film apa yang kau tonton Yul?", tanyaku menyelidik.
Dia menjawab sambil tersenyum manis, "Ayat-Ayat Cinta."
Aku bertanya lagi, "Bagus filmnya?".
"Bagus deh, kayaknya rugi kalau nggak nonton. Film yang menguras rasa sensitif para penontonya. Bahkan begitu bubar aku surprised banget banyak yang tak berani menatap satu sama lain, karena muka penonton banyak yang sembab larut dalam arus cerita film ini," jelasnya.

Dia meneruskan, "Penonton dibuat tak bergeming dan perhatian mereka tersedot oleh sequel film yang terus terbagi dalam deretan klimaks." Wah, istriku kok kayak pengamat film saja. Aku jadi penasaran dibuatnya.
"Ya sudah kalau begitu, nanti nonton lagi denganku yah," sungutku, karena merasa ditinggal nonton film bagus buatan Indonesia. Aku lebih bangga menonton film-film cerdas karya anak bangsa dibanding harus menonton film-film impor yang hanya mengandalkan pemain terkenal atau film lokal yang hanya bertema horor dan birahi. Banyak film Indonesia yang bagus, semisal Daun di atas Bantal (1998) dengan sutradara Garin Nugroho dan Berbagi Suami (2006) dengan sutradara Nia Dinata adalah contoh film-film berbobot yang masih tersisa dari zaman kalatida perfilman Indonesia.

****

Keesokan harinya, Senin sore, sepulang dari kampus, istriku membawakanku novel berjudul "Ayat-Ayat Cinta" yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy. Novel yang bersampul wajah seorang perempuan yang tertutup kain sorban. Namun sorot mata birunya yang tajam seolah menyiratkan gairah hidup. Novel setebal 418 halaman itu diserahkan kepadaku untuk dibaca. Kebetulan nih, sebelum nonton filmnya, aku harus baca dulu novelnya. Kebetulan aku suka membaca novel dan cerpen dari semenjak SD. Aku ingat novel-novel yang sempat aku lahap belasan tahun silam, seperti Lima Sekawan tulisan Enid Blyton, Hercule Poirot dan Sherlock Holmes tulisan Agatha Christie, Petualangan Huckleberry Fin oleh Mark Twain, The Hardy Boys oleh Franklin W. Dixon, dan lain-lain. Hidup itu penuh gairah bila diisi dengan membaca cermin kehidupan yang dipetik dari alam imajinasi atau realitas keseharian. "Thanks, Yul. I'll read it later. Much appreciated!", kataku sambil praktek berbahasa Inggris untuk memicu dia belajar lagi bahasa Inggrisnya karena tak lama lagi dia harus ke Australia untuk ambil PhD bidang keperawatan.

Selepas shalat Maghrib, aku ambil novel bersampul kuning itu sambil duduk di lantai dan bersandar di pinggir tempat tidur. Aku mulai membaca halaman demi halaman kisah Ayat-Ayat Cinta ini. Sudah bisa ditebak siapa penulisnya, gumamku. Pasti punya latar belakang pesantren dan pernah hidup di Kairo sana. Gaya bahasanya luwes dan puitis. Novel dimulai dengan suasana musim panas di Kairo yang seolah membakar negeri Musa itu. Hembusan angin yang bergulung membawa gulungan debu panas menjadi pembuka suasana negeri bersejarah itu. Cerita berpusat pada sosok Fachri yang digambarkan sebagai seorang pelajar yang ulet, dewasa, dan alim. Komitmen religiusitasnya sangat tinggi. Sebagai pekerja keras dan aktivis dakwah, Fachri yang mandiri terbiasa dengan kegiatan ceramah, menerjemahkan buku, dan talaqqi qira'ah sab'ah dengan seorang Syeikh di sana, disamping rutinitasnya sebagai seorang pelajar S2 bidang tafsir di Universitas al-Azhar.

Novel ini memang berbeda dibanding novel-novel biasa. Kelebihannya adalah kesantunan alur cerita yang lebih mengajak pembaca memahami model pergaulan Islami. Nuansa Islam diramu bukan sebagai sebuah ibadah kaku, namun sebagai nilai dan pandangan hidup tokoh sentral dalam novel ini. Bahkan Fachri yang sangat alim ini digambarkan sebagai sosok yang terbuka. Tidak hanya terbuka sebagai mahasiswa yang bisa bergaul dengan siapa saja, namun pandangan Islamnya merefleksikan sebuah keislaman yang moderat tidak ekslusif dan memahami keragaman. Hal ini bisa dilihat betapa seorang turis yang juga wartawan, bernama Alicia, memutuskan untuk memeluk Islam setelah beberapa kali berdiskusi tentang pandangan Islam soal perempuan dan terorisme. Tidak hanya dia, salah seorang perempuan yang mati-matian mencintai Fachri hingga mengalami penyakit bronto Laila-Majnun pun kemudian memeluk Islam sebelum ajal merenggutnya karena kesengsem dengan kepribadian Fachri yang bisa bergaul dengan keluarganya yang Koptik.

****
Novel ini menggambarkan pergulatan seorang Fachri di tanah rantau yang jauh terpisah dari orang tuanya. Seorang pemuda dari keluarga petani miskin di pelosok desa yang tak terjangkau telepon dan pos. Bermodalkan duit hasil penjualan tanah warisan, Fachri pergi mengembara ke Mesir untuk mengais lautan ilmu. Sosok yang mandiri dan mampu membuat jadwal kehidupan berdasarkan keyakinan agamanya membuat dia banyak dikagumi oleh banyak perempuan. Ada empat perempuan, dalam novel ini, yang memperebutkan hati Fachri. Mereka adalah pertama, Maria, gadis Koptik yang tinggal di apartemen yang sama. Maria tinggal bersama keluarganya. Gadis periang yang hafal surat Maryam dan begitu perhatian terhadap Fachri akhirnya harus menelan pil pahit karena Fachri telah menikahi gadis lain. Kekecewaan yang membuatnya sakit tak sadarkan diri beberapa lama. Atas permohonan keluarganya dan restu sang istri, Fachri menikahi Maria di penghujung hidupnya. Maria pun pernah menjadi malaikat penolong saat Fachri di rawat di rumah sakit karena terkena heat-stroke dan meningitis. Dia secara diam-diam membayar semua biaya rumah sakit dari uang tabungannya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun. Sungguh sebuah pengorbanan cinta.

Kedua, Nurul, seorang mahasiswi Indonesia anak seorang kyai terkenal di Jawa Timur. Nurul pun mengakui keterlambatannya mengungkapkan cinta kepada Fachri karena terganjal malu. Bahkan dalam sebuah suratnya, Nurul menginginkan agar Fachri menikahinya untuk mengobati cinta yang tak mungkin padam. Nurul sering mengirim sms atau telepon ke Fachri, namun Fachri selalu dingin dalam merespon. Padahal dalam hati kecil Fachri, Fachri pun merasakan adanya getar cinta buat Nurul. Bahkan kawan-kawan satu flatnya sering menggoda Fachri bahwa Nurul adalah "the right choice". Cintapun kandas tanpa memiliki.

Ketiga, gadis bernama Noura yang ia selamatkan dari kekejaman ayah angkatnya. Noura berhasil melarikan diri dari keluarga kejam tersebut atas bantuan Fachri dan sahabat-sahabatnya. Noura selalu disiksa dan diperlakukan kasar oleh semua anggota keluarga angkatnya. Noura yang berkulit putih dan berambut pirang kemudian menemukan keluarga aslinya. Noura sempat mengungkapkan perasaan cintanya yang menggebu kepada Fachri melalui surat. Bahkan dia rela untuk menjadi seorang hamba cinta bagi Fachri. Noura pun harus menelan pil pahit, Fachri tak bisa menerima cintanya. Noura yang kecewa ternyata memfitnah Fachri atas kehamilan yang dia alami. Namun, dalam pengadilan terbukti bahwa ayah angkatnya lah yang telah memperkosa Noura. Penderitaan Fachri di sebuah penjara bawah tanah menjadi kisah pilu tersendiri dalam novel ini karena pencitraan politik di Mesir yang sangat buram.

Keempat adalah Aisha, gadis keturunan Jerman yang paling beruntung. Dialah yang berhasil menambatkan cintanya di hati Fachri. Pertemuan pertama di metro membuatnya jatuh hati pada budi pekerti Fachri yang luar biasa. Gadis kaya raya yang memiliki warisan perusahaan dengan omset jutaan dollar meminta Fachri menjadi suaminya. Bahkan kesalehan Aisha digambarkan begitu sempurna. Meski dialah sang pemilik harta, namun Aisha memperlakukan Fachri sebagai sang pemimpin keluarga. Kriteria istri bagi Fachri adalah seorang yang shalihah dan mau tinggal di Indonesia. Tak dinyana dan diduga, ternyata Aisha menyatakan kesanggupannya untuk tinggal di Indonesia. Kelembutan Aisha tercermin dari kebesaran hatinya untuk mengizinkan suaminya menikahi Maria yang sedang sekarat. Itupun karena Aisha ingin menyelamatkan sang suami dari jerat hukum yang dipasang Noura. Adapun Maria adalah saksi kunci atas apa yang terjadi. Maria sempat sadar ketika Fachri menyanggupi untuk menikahinya dan membisikkan kata-kata cinta yang membakar semangat hidup Maria.

****
Agaknya novel ini adalah satu jalinan yang berisi lekuk-lekuk kehidupan yang berisikan jaring-jaring cinta di tanah Musa. Cinta digambarkan sebagai sesuatu yang menyala tanpa batas waktu. Cintapun diekspresikan tanpa vulgar dalam cawan kesantunan meski cinta pun tak perlu memiliki. Novel inipun berkisah tentang perilaku perempuan modern yang lebih bisa ekspresif menyatakan cinta. Daun-daun cinta yang terbakar menghangatkan racikan kisah dalam novel ini. Fachri bagaikan intan yang diperebutkan di pasaran cinta. Novel ini juga menyelipkan pesan tentang Islam yang substantif. Bukan Islam yang berbalut di atas kulit tanpa jiwa.

Nah, setelah aku baca novelnya, nanti akan aku tonton filmnya. Sudah barang pasti kalau film akan lebih memiliki efek dan deviasi alur untuk lebih menghidupkan cerita. Ayat-Ayat Cinta mudah-mudah saja bisa menjadi starting point bagi produktivitas novel-novel romantis yang santun serta munculnya film-film cerdas yang mendidik.

Ciputat, 5/3/2008

1 comment:

Anonymous said...

Ass. Wr.Wb,

Mbah Parto... nah ada juga sisi romantisme dari kawan kita yang setia ini. Buktinya tetarik juga dgn Ayat-Ayat Cinta he..he... Enjoy ya!!

Ayat-Ayat Cinta Made me stronger inside!

I would like to take this moment to share with you and reflect on what I have learnt that has made me realise how we often take things for granted in this day and age.

A respected scholar has once said to me "sharing information that can take a new role in one's life is also rewarding."

Never has a book bought tears so strongly flowing down my face then this book. I started reading the book, and although it was hard to start off, just last night after more than 1 month I didn’t realize i’ve completed reading the whole book. I didn’t realize that I was having tears in my eyes all along. and when i did realize it, that was when i started to cry…

I cried not because of the romance. those tears I have shed were not for a fiction. they do not reflect tears that I shed watchingTitanic or the type of movies which made you cry like real as if you were one of the characters in them.

My heart cried not because I feel for the characters inside the book.

This was real. I cried for me, I cried for my mother, rahimahallah.

I cried and felt for my father, my children, my husband, my siblings and both my extended families and friends.

Yet the tears I felt I know deep in my heart was that I cried as I still have not reached the level where my love for Allah will make me as strong as fahri.

I often worry just by the thought of the tests and trials I am sure i will have to endure each time the iman increases, each time my love for Allah rises up to another higher level.

I cried because I have yet to dream of Abdullah ibn Mas’ud. I cried because I have yet to see Sayyidatina Maryam in my dream. I have yet long to dream of our Prophet Muhammad, peace and blessings be upon Him and His family. istajib, ya rabb!

The book brings you to a new level in life and what made me feel totally affected was especially by the tortures the author had mentioned in the book. The pain, the humiliation, the anger., and still, despite of them all, “fahri” could keep his cool and calmly recall the torture the past ‘ulama had to go through, the past prophets and ‘ulama, they had gone through the worst.

They were executed. They had their hands nailed and their skins ripped,and did it ever cross my mind that we may you think that their love for Allah decreases after all those torments? NO. Their belief in Allah simply grew and escalated to a higher level. Their desire to meet Allah became intensely unbendable.

For myself, I know that i have to go through if not the exact same, a very similar situation. and I hope that when the time comes, I would be as strong as if not stronger than “fahri”.

Marriage is something extremely wonderful. it can also be a reason for Allah to test us. Reading this book simply made me hold on rigidly to what that had been said on the previous post.

I have recieved numerous emails from my lovely sisters who has so often enough share their thoughts on the standards I have set for my husband. Sincere advices were given were that I should be willing to accept a man not that high of a standard to be my partner. However, I still go with whatever Allah has in store for me. this is what I want. but Allah knows better what I really need. I am leaviing everything to Allah, the All-Knowing, the Most Wise.

An off-track. back to the purpose. I found myself asking this question.

Which would I prefer, a test from Allah physically, or emotionally?

All of our beloved prophets endured BOTH physical and emotional tests. Most of the people of Allah endured BOTH. Rabi’atul adawiyah endured both. Sayyiduna hussain endured both. Radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

My parents, my children, my husband, brothers and sisters, families and friends all endured both physical and emotional tests. So what made me think that I could go on with this life without anymore tests? What made me think that all the tests I have recieved were the worst test for me and nothing could be more worse than that?

What made me think that I could get to see Allah for free, without those tests? What made me think that I have to sacrifice no more??

A mother’s love for her child would make her give her all to see her child happy.

A lover’s love would make him/her jump off a building, slash the wrist, elope, disobey the parents, simply to satisfy their needs to be with the other lover.

and us.. we are the slaves of Allah.. Allah loves each of us no matter how bad we have been treating Him all along.

He gave us all available kinds of halal, good food to eat, all kinds of colourful water to drink, very beautiful place to live in, clothes to cover our awrah with. but what have we done to simply show our gratitude if not our love to Him?? if alhamdulillah, we have found the most beautiful love for Allah, what is the biggest sacrifice we have ever made for Him??

it is always about us, isn’t it?
OUR life.
OUR love story.
OUR happiness.
OUR sadness.
OUR wealth.
OUR jobs.
ours, ours, ours.
us, us, us.
when will it ever be about ALLAH?
when will it ever be for ALLAH?

I sincerely recommend this book to all of you who have yet to read. Read this book and let’s just not feel sorry for the characters. let’s just not dream of a “fahri” for a husband.

Feel sorry for ourselves.

Feel sorry for living such a life so distant from Allah all this while.

Feel sorry for we still have a lot more to do to finally be with the true love of all loves, Allah.

This book. it is just like a tasawwuf book, very delicate, very smooth and so much an awakening call.

I also would like to deeply dedicate my full appreciation to the author of the book, jazakallahu ahsanal jazaa’. may Allah have mercy on him and his family, may Allah reward his toil with nothing but the best, may Allah bestow upon him good health and the best ilham.

" Cinta adalah sebuah anugerah dan kegilaan karena cinta tidak pernah mengenal logika.

Apapun akan dilakukan untuk cinta, cinta tak pernah bisa mati karena ia hidup dialam yg tidak tersentuh oleh alam logika dan tak pernah ada yg bisa menghentikan cinta kecuali ALLAH SWT."

Wassalam,

Ria