Thursday, March 27, 2008

Agama: kacamata memandang Tuhan

Untuk sebagian kalangan, agama dapat dilihat dalam dua dimensi, yakni dimensi figurative dan dimensi propagandis. Dimensi figurative memandang agama sebagai sebuah sistem simbol yang diyakini memiliki makna transcendental bagi manusia. Simbol yang mengakibatkan manusia “ready to die” atau siap mati ketika simbol sakral dihina atau dinistakan. Bahkan Ernest Rennan menyatakan bahwa agama bisa dibidik melalui simbol rasional. Agama adalah suatu proses hidup yang ditandai dengan bertambah hebatnya rasio dan tingginya penemuan ilmu dan teknologi. Agama simbol ini lebih mendasarkan pada sesuatu yang kasat mata dan “tangible”.

Sedangkan bila dipahami dari perspektif propagandis, maka agama adalah sesuatu yang mendorong manusia untuk merasa bahagia. Pemahaman ini lebih melihat agama sebagai sesuatu yang tak membatasi manusia. Biarkan manusia berlaku apa saja asal tidak menginjak-injak hak orang lain. Bahkan kaum propagandis memahami agama sebagai opium bagi masyarakat; sesuatu yang memabukkan dan membuat masyarakat tidak menyadari atas realitas di sekitarnya. Agama sebagai pelarian dari berbagai permasalahan dunia. Manusia cenderung melepas diri dari hiruk pikuk duniawi dan terlena dalam pelukan asketisme mutlak. Atau manusia terlalu bermesraan dengan agama dunia yang berisi hingar-bingar materialisme hingga lupa akan keseimbangan dimensi spiritual dan material.

Bagi Marx, agama adalah sistem ideologi yang yang dibutuhkan guna mendesak kaum tertindas. Agama akan lenyap ketika masyarakat tanpa kelas sudah terbentuk. Oleh karena itu agama lebih membawa kezaliman dan kekejaman dehumanisasi. Sedangkan menurut Freud, agama adalah sebatas obsesi neurosis belaka yang secara “built-in” merupakan bagian dari kesadaran manusia. Adapun bagi Durkheim, agama bisa dipandang sebagai bentuk penghambaan masyarakat atas dirinya sendiri. Peter Berger, salah seorang sosiolog terkenal, percaya bahwa agama adalah kreasi manusia yang berusaha mengungkap kosmos yang kramat dimana kekuatan maha dahsyat bersembunyi. Oleh karena itu segala sesuatu bisa dipandang kramat, semisal sungai, kota, candi, masjid, manusia, kalimat, batu, dan waktu. Sehingga bisa disimpulkan bahwa agama adalah sebuah system simbol yang berperan membangun kehendak dan motivasi yang yang kuat, kokoh, dan tahan lama pada diri manusia dengan cara membuat berbagai konsepsi tentang aturan umum mengenai apa yang ada dan membungkus konsepsi-konsepsi tersebut dengan aura faktualitas yang nampaknya realistis (Geertz, 1968:4).

****

Sebuah pertanyaan yang terus bergelayut dalam semua pemeluk agama adalah sejauh mana agama dapat berkontribusi dalam perubahan sosial? Semua definisi di atas lebih melihat agama sebagai sesuatu di luar dirinya dan mempengaruhi pandangan hidup orang yang meyakini pengaruh simbol-simbol tersebut. Keyakinan terhadap ayat-ayat Tuhan akan memunculkan keyakinan bahwa Tuhan itu memerintah dan meminta manusia melakukan kehendak Tuhan bagi kemaslahatan hidup di dunia. Jika ajaran Tuhan yang terdapat dalam kitab suci sudah tak diabaikan lagi, maka sejatinya manusia telah kafir akan eksistensi Tuhan. Bagaimana bisa dikatakan percaya, ketika kata Tuhan tak diyakini lagi. Bahkan Dia sering diinjak-injak oleh segala perilaku keseharian kita. Tuhan diingat ketika manusia terpuruk kedalam musibah yang diciptakannya. Manusia menangis memanggil Tuhan ketika dia merasa teraniaya. Tuhan nampak ketika manusia memakai simbol yang meninabobokan esensi agama sebagai pembangkit motivasi hidup. Lihatlah simbol di kaos yang bertuliskan “Islam is my way of life”, “Islam adalah masa depan”, “Tebarkan selamat”, dan sebagainya. Justru agama sering membuat manusia lari dari hari ini dan lelap dalam selimut apatis dan pasrah yang tak produktif.

Seyogyanya agama mampu membuat manusia kreatif dan mengaktualkan hidup ini lebih indah. Indah karena Tuhan cinta pada keindahan. Bahkan seharusnya manusia mampu membawa konsep surga dalam semua lembar peradabannya. Lihatlah istana Alhamra yang dibangun dengan konsep surga, dan lihat pula bentuk tata kota modern yang sesungguhnya ingin menghadirkan keindahan surgawi dalam ranah duniawi. Kesemua bentuk fisik tersebut adalah kehendak manusia sebagai hasil aktualitas imijinasi tentang alam ide surgawi. Bukankah hal ini bisa ditarik dalam domain diri manusia sebagai makhluk surgawi yang selalu menyipta keindahan, baik keindahan perilaku maupun keindahan bentuk?

****

Destruksi ekologi alam kehidupan manusia sehungguhnya lebih dikarenakan manusia sudah tak lagi mendengar suara Tuhan. Rumah suci sudah tak lagi memiliki daya tarik karena Tuhan telah lenyap dalam pandangan batin manusia. Jelaga tebal telah menutup kesadaran akan hadirnya Sang Maha dalam kehidupan manusia. Sehingga, agama yang berbasis pada teosentris (semua berpusat pada Tuhan) seakan terkikis dalam arena kehidupan manusia. Seorang supir taksi bercerita kepada saya bahwa seorang kawannya yang pernah berkunjung ke China berkisah. Di China banyak orang yang tak yakin akan Tuhan, namun mereka berusaha untuk hidup jujur dan tak ingin menyakiti sesama. Kawannya itu berseloroh bahwa menaruh sandal di depan rumah tak bakalan hilang meski tak ada Tuhan. Sedangkan kalau di Indonesia apapun bisa hilang meski bangsa ini lebih dari 90% percaya akan hadirnya Tuhan. Agama mereka adalah hukum dan Negara yang mampu mengkondisikan manusia berbuat sesuai dengan keadaban manusiawi. Manusia bisa membangun budi-pekerti dan kesalehan sosial karena hukum yang bermain cantik.

Negeri Arab yang dikenal sebagai negeri para nabi pun lebih banyak dihiasi manusia tak berkeadaban. Penindasan manusia atas manusia lain tak pernah jenuh menghiasi lembar kelam negeri ini. Berapa banyak tenaga kerja wanita kita yang menderita pelecehan seksual dan kezaliman di negeri para nabi ini. Eksklusfisme golongan syarif dan sayid atas golongan paria terasa sekali dalam hubungan sosial keseharian. Simbol Ka’bah sebagai rumah suci seakan tak mampu membuat manusia takut akan hukuman Tuhan. Bahkan di musim haji sekalipun maling dan copet berkeliaran bebas di Masjidil Haram. Manusia menyakiti manusia lain untuk berebutan mencium batu hitam di pojok Hajar Aswad. Mungkin fenomena semacam ini semakin menegaskan bahwa manusia sudah tak lagi bisa merasakan kehadiran Tuhan apalagi mau mendengar dan mematuhi kata-kata Tuhan. Hal ini berakibat munculnya mimpi-mimpi hadirnya sang nabi akhir zaman yang mampu mengingatkan akan kehadiran Tuhan. Oleh karena, adalah sebuah lelucon jika berbagai pihak memandang perlunya diturunkan nabi setelah Sang Mustafa. Konon, nabi baru diperlukan agar manusia mendengar seruan Tuhan. Namun sayangnya nabi-nabi baru tersebut tak memiliki legitimasi Ilahiyah dan mukjizat kenabian apapun yang dapat membangun keyakinan para manusia yang jahil ini.

Ciputat, 27/03/08

2 comments:

Anonymous said...

Assalamualaikum..

Mbah Parto, apa kabarnya? Lama kita ngga ngobrol2 ya...

Bener mbah, apa yang ditulis mengenai persepsi tentang agama/tuhan yang beragam, menurut saya, timbul karena proses perekaan manusia. Padahal, jika kita mau berusaha lebih untuk merasakan keberadaan sang khaliq, mungkin persepsi abstrak dan penyimbolan tsb tidak perlu terjadi.
Kita masih sering menuhankan akal manusia yang terbatas, sehingga sesuatu yang tidak bisa "ditampung" akal ini, akan menjadi di-nihilkan.

Banyak contoh2 dalam kehidupan sehari2 yang kalau ditelusuri, bisa menjadi "bukti" mengenai eksistensi-Nya. Tapi, sekali lagi, ini menjadi tidak berarti karena kita sering me-nafikan-nya, sering malas, juga sering lupa/khilaf.

Seandainya saja, kita mau berusaha "mendengarNya", "melihatNya", "merasakanNya", "melepaskan kesadaran kita kepadaNya", maka akan terbuka "hijab" itu sehingga semuanya menjadi sangat jelas dan kongkrit. Semua hal2 yang tak terbayangkan akan menjadi nyata dihadapan kita.

Mungkin ini menjadi PR kita mbah, bagaimana menyebarkan berita baik ini, menjadikan Nya sebagai acuan kongkrit, bukan abstak, bukan rekaan, bukan simbol, sehingga bisa memicu terbentuknya semangat menyebarkan kebaikan, sebagai mana peran yang sudah disematkan, khalifah ard, untuk mendistribusikan rahmat keseluruh alam.

Wallahu 'alam bi shawab
Istiari Widodo

Mbah Parto said...

Mas Wid,

Yang perlu kita hadirkan di dunia adalah agama yang bisa memberikan tetes kebahagiaan bagi mereka yang papa di dunia ini. Bukankah dunia adalah ladang akhirat. Kita sering melupakan ladang ini, dan berebut sebuah dunia panen raya pahala. Padahal dunialah tabungan dan tempat pesemaian benih yang baik. So, sangat naif kalau berebut surga, tapi dunia malah diabaikan. Tuhan Maha Melihat. Dia tidak buta. Kitalah yang sering buta karena tak pernah merasakan hadir-Nya. Sampai ketemu lagi Mas Wid.