Tuesday, May 02, 2006

Bunga

Fitri hanya terdiam ketika mengetahui Hendri suaminya ditangkap polisi karena urusan narkoba. Telepon genggam yang ditempelkan di telinganya digenggam kuat. Suara Andi kawan sekantor suaminya di ujung sana terdengar datar, "Maafkan aku Fit, aku harus kasih tahu kamu tentang hal ini. Meski Hendri tak menginginkan kau tahu apa yang dia hadapi. Yang jelas dia sangat menyesal".

Fitri termangu dan tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mampu membayangkan wajah suaminya yang kusut di balik jeruji besi. "Terima kasih Ndi, sekarang juga aku ke kantor polisi untuk menjenguk Hendri", suaranya tercekat di tenggorokan karena menahan gumpalan emosi yang menyesakkan kepalanya. Dia sebenarnya sudah muak dengan semua ini. Pertengkaran demi pertengkaran tak pernah berkesudahan. Hendri tak mau mendengar keluhan Fitri yang selalu mengingatkan agar dia menjauhi benda haram itu.

Fitri masih ingat suatu malam beberapa hari yang lalu. Sehabis membereskan meja makan, Fitri menyeduh teh hijau dalam mug bergambar bunga tulip. Ia tahu bahwa Hendri paling suka teh hijau dengan mug spesialnya itu. Kemudian ia membawakan minuman tersebut kepada suaminya yang saat itu sedang duduk di pojok ruang menonton tayangan televisi. Diletakannya mug itu di atas meja kaca. "Silahkan Mas diminum", kata Fitri pelan seraya duduk di samping Hendri. Hendri menjawab, "Thanks Fit." Diseruputnya minuman itu sambil matanya tak lepas dari tayangan kesukaannya itu.

Fitri memberanikan diri untuk bicara, "Mas, mungkin bagi Mas bermain-main dengan benda haram itu nggak apa-apa. Namun lihatlah Mas wajah anak-anak kita Edo dan Wulan yang masih membutuhkan perhatian kita. Aku tak bisa membayangkan kalau mereka mengetahui kebiasaan buruk Mas ini. Disamping itu takutlah kepada Allah karena Mas menjerumuskan diri Mas ke dalam lobang kehancuran."

Meski mendengar kata-kata Fitri, Hendri masih saja tak beranjak dari benaman sudut sofa dan tak sekalipun tatapannya diarahkan kepada istrinya. Ia pura-pura menatap layar kaca yang terletak beberapa meter di depannya sembari memegang gelas yang isinya tinggal separuh. Fitri mencoba untuk berkata lagi, "Mas....". Namun Hendri memotong, "Cukup Fit, aku tak perlu kau nasihati banyak-banyak. Aku sudah tahu semua itu! Aku bosan diomongin terus! Mas janji suatu saat pasti berhenti, but bukan sekarang!!!" Hendri beranjak dari tempat duduknya dan melenggang meninggalkan Fitri yang duduk mematung di hadapannya. "Aku mau tidur, besok ada rapat di kantor", ujarnya sambil berjalan menuju kamar tidur. Fitri terdiam, matanya sembab.

(bersambung...)

No comments: