“Coba pikirkan dulu Min sebelum kamu memutuskan jadi istri Kang Diran!”. Yu Kasmi terus saja mengulang kata-kata itu kepada Minah, anak gadisnya semata wayang yang agaknya lagi dimabuk cinta dengan seorang duda beranak dua.”Tidak Mbok, saya sudah berfikir terus tiap hari dan mempertimbangkannya masak-masak. Bahkan Minah pun terus berdo’a tiap malam Mbok. Namun, hasilnya tetap saja yang ada dalam lintasan pikiran Minah Cuma Kang Diran”. Minah meyakinkan ibunya sambil terus menyisir rambut panjangnya yang terurai. Ia lakukan itu di depan kaca lemari pakaian yang sudah buram berdebu.
Mbok Kasmi hanya menelan ludah dan menarik nafas panjang mendengar keyakinan Minah yang tak pernah surut. Sambil meninggalkan kamar anaknya, Mbok Kasmi bertanya lagi, “Tapi Mbok tidak yakin kalau kamu bakalan bisa menerima anak-anak Diran yang cacat itu Min…”.
“Tenang saja Mbok, yang namanya jodoh itu sudah diatur oleh Gusti Allah dan kenyataannya Minah selama ini bisa menerima mereka dan ngemong mereka”.
“Contohnya ketika kami jalan-jalan ke pantai Purwohamba, anak-anak langsung akrab dengan saya Mbok…”
“Saya senang dan ikhlash Mbok meskipun Tono cacat kaki dan adiknya, Tini tunanetra”.
Mbok Kasmi tak mau lagi mendengar kata-kata Minah yang menurutnya sudah tak mungkin lagi dirubah. Mbok Kasmi cuma khawatir bahwa Minah akan menyesal dikemudian hari. Minah anak pendiam dan tak pernah sekalipun berpacaran dan mengenal dekat seorang laki-laki. Berkali-kali tak terhitung sudah berapa banyak pemuda di desanya maupun tetangga desanya mencoba mendekatinya, Minah selalu saja menolak. Kepada Mbok Kasmi, Minah menyatakan bahwa semua pemuda yang berusaha mendekatinya tak ada yang sesuai dengan seleranya. Ada-ada saja alasan Minah. Misalnya, ketika Jalal anak Pak Karso, pengusaha batu bata di desanya berusaha mendekatinya, Minah malah berkata bahwa Jalal terlalu gendut dan pendek dan setiap bertandang ke rumah Minah, Jalal selalu saja memamerkan kekayaan ayahnya.
Tempo hari ada lagi Pujo, seorang pemuda desa tetangga yang bekerja di penggilingan beras Haji Ahmad. Pujo berusaha mencuri perhatiannya. Setiap saat Mbok Kasmi pulang dari pasar dan melewati jalan aspal di samping penggilingan beras, tanpa malu-malu Pujo menitipkan salamnya ke Mbok Kasmi untuk Minah.
“Mbok, baru pulang nih”, seru pujo ketika melihat Mbok Kasmi lewat depan tempat penggilingan. Saat itu Pujo sedang meyeruput kopi di warung kecil di pinggir pagar penggilingan. Ia memaksa diri keluar dari warung menyapa Mbok Kasmi.“Jangan lupa Mbok, sampaikan salam saya kepada Minah yah”.
“Iya, nanti Mbok sampaikan. Kenapa kamu tidak mau mampir saja langsung ke rumah?”.
“Wah… nanti saja Mbok kalau ada waktu senggang”, jawab Pujo sekenanya. Padahal dia merasa kurang percaya diri untuk mendekati Minah.
Ketika salam Pujo disampaikan kepada Minah, Minah Cuma menjawab, “Alah Mbok…Mbok… wong anak ingusan kok yah diladeni”. “Lagian untuk apa sih Mbok jadi tukang pos yang nggak mutu itu. Minah masih ingin sendiri kok, peduli apa dengan selentingan banyak orang mengenai Minah”.Mbok Kasmi Cuma mengurut dada mendengar respon Minah yang terus saja memandang negatif setiap pemuda yang mencoba mendekatinya. Ada saja kekurangan setiap pemuda yang berusaha menaruh hati kepadanya.
“Minah… si Mbok cuma tidak mau kalau semua orang pada ngerasani kita. Sudah tidak pantas kalau gadis seusiamu itu malah belum omah-omah!”. “Sudah begitu kamu itu sok pilah-pilih kayak Roro Jonggrang saja!”.“Ati-ati Minah, kalau banyak memilih ntar kamu malah dapat yang tidak mutu!”. Cerocosan Mbok Kasmi seakan memenuhi ruang tamu rumah kecil itu. “Duda juga nggak apa-apa Mbok asalkan sayang dan suka sama Minah” .“Hush!! Kamu ngomong apa sih. Kalau ada dewa lewat bisa kuwalat kamu!”, gerutu Mbok Kasmi. Minah cuma diam cengengesan.
*****
Seusai shalat Shubuh, Mbok Kasmi berpesan kepada Minah kalau ia akan pergi ke rumah Haji Syamsu untuk mengikuti pengajian bakda Shubuh. Lumayan dalam kegiatan itu Mbok Kasmi bisa bertemu dengan kawan-kawan lamanya. Tidak hanya itu dia merasa bahwa kehidupannya semakin bermakna jika mendengarkan ceramah-ceramah Haji Syamsu mengenai hakikat hidup.Mbok Kasmi masih ingat ketika Haji Syamsu berpesan, “Ibu-ibu dan bapak-bapak, ketahuilah bahwa hidup ini cuma mampir ngombe saja. Jadi kalau mampir mestinya harus balik ke tempat asal kita. Kita tidak mungkin ngendon lama-lama di rumah orang yang kita ampiri itu. Makanya tempat kembali kita itu yah cuma ke Gusti Allah…, rumah keabadian”. Mbok Kasmi masih ingat nasihat Haji Syamsu, ” Sejatinya manusia hidup itu harus selalu menelisik setiap dosa yang dilakukannya, karena nek besok mati yang bakal menjadi bekal kita Cuma amal shalih saja, nggih nopo mboteennnn?…”.
Ketika ingat wejangan Pak Haji, Mbok Kasmi jadi teringat Kardi, suaminya, yang meninggal akibat hanyut ketika menggali pasir di sungai Gung. Saat itu Kardi sendirian mengeruk pasir di pinggiran sungai dengan cangkul dan sekop. Ntah bagaimana ceritanya tiba-tiba air bah datang menggulung dan menelan Kardi. Kardi berusaha menyelematkan diri, namun usahanya gagal. Jenasahnya baru ditemukan keesokan harinya mengambang di pintu air di ujung desa di sebelah utara. Saat itu Minah baru berusia empat tahun. Minah belum tahu apa-apa mengenai kesedihan ditinggal ayah. Ia tidak tahu makna kehadiran seorang ayah. Sepeninggal suaminya, Mbok Kasmi berniat bahwa dia tidak akan kawin lagi. Tekadnya cuma satu, yakni ingin membesarkan dan mendidik Minah. Meski dimaki-maki banyak orang kalau menjanda itu banyak godaan dan fitnahnya, Minah bersitegang bahwa cinta pertamanya adalah Kardi dan tak akan menikah lagi. Padahal saat itu Mbok Kasmi masih tergolong muda, dua puluh lima tahun!. Ia bertekad untuk menjadi single parent di desanya. Semenjak itu ia bekerja serabutan untuk menghidupi diri dan anak gadis semata wayangnya. Pekerjaan yang dia lakukan hingga saat ini adalah tukang cuci dan seterika.
Lamunan itu seketika buyar ketika tiba-tiba dia mendengar Bu Tumini memanggil dirinya untuk pergi bareng ke rumah Haji Syamsu, "Kasmi... hayoo berangkat wis awan ntar ketelat".“Eh Bu Tum, sebentar yah. Masuk dulu yah, saya mau pesen sama Minah”.“Min, tolong yah pakaian yang sudah dilipat itu diantarkan ke Bu RT yah. Mungkin Mbok pulang agak terlambat karena harus mengantar baju ini ke rumah Bu Yati.”“Ya Mbok”, sahut Minah sambil keluar dari dapur.“Tapi yang mana Mbok?. Baju yang sudah dilipat itu banyak. Yang warna apa?”.“Itu lho baju kurung warna merah. Katanya mau dipakai besok pada acara resepsi keponakannya di kota.”
******
Jam sembilan pagi. Sehabis bersih-bersih rumah, Minah sudah sampai di rumah bu RT untuk mengantarkan baju tersebut. Rumah tipe 36 yang halamannya ditumbuhi pohon jambu air serta pohon mangga Indramayu serasa rindang. Di depan rumah bu RT bersandar sebuah sepeda motor Honda keluaran terbaru warna hitam. Pintu rumah terlihat terbuka. Agaknya Pak RT sedang menerima tamu. Minah ragu sejenak untuk masuk. Ketika dia terpaku di depan rumah tersebut, bu RT melihatnya.“ Min…. jangan terbengong-bengong di luar Min! Masuk hayo masuk.”
“Nggak ada siapa-siapa kok hayo.”
Minah menengok ke arah suara yang memanggilnya itu. Di lihatnya bu RT dengan baju daster warna hijau. Bu RT wanita separuh baya namun gurat kecantikan masih saja nampak dari wajahnya. Wanita itu menghampiri Minah.“Ah, di sini saja Bu, lagian Pak RT kan lagi ada tamu”, Kata Minah sambil menunjuk sepeda motor itu“.
Oh… itu. Itu punya si Diran, adik iparku. Kebetulan dia mampir mumpung hari Minggu.”
“Udah lah mampir saja dulu. Ibu lagi nggoreng pisang. Sekalian saja nyicipi dan bawa beberapa bungkus untuk si Mbok yah.” Ujar bu RT sambil tersenyum dan menggamit lengan Minah. Ketika Minah masuk rumah itu, Bu RT memperkenalkan Minah dengan Diran yang belakangan diketahui berstatus duda beranak dua.
Ntah mengapa, ketika Minah berjabat tangan dengan Diran, ada perasaan lain yang menjalari tubuh Minah. Tatapan teduh mata Diran membuat hati Minah damai. Pada awalnya Minah merasa biasa saja. Namun ketika Diran terus saja bertandang ke rumah Minah, Minah mulai iba dan simpatik akan kesungguhan Diran.Kalau mau jujur sebenarnya Minah juga merasa heran mengapa dia bisa jatuh hati pada pria yang dua puluh tahun lebih tua darinya. Tidak hanya itu, Minah juga merasa bisa dekat dengan anak-anak Kang Diran, Tono dan Tini. Meski keduanya dilahirkan dalam keadaan tidak normal, Minah merasa bahwa tugasnya menjadi ibu akan lebih bermakna buat keduanya. Tono menderita lumpuh semenjak balita. Waktu itu kata Kang Diran, Tono awalnya menderita sakit panas dan sudah dibawa ke dokter dan orang pintar. Namun entahlah lama-lama kaki Tono semakin layu dan mengecil. Sekarang anak itu sudah tujuh tahun dan harus bergantung pada kursi roda. Sedangkan Tini, anak kedua Diran, semenjak lahir sudah tidak bisa melihat. Bola matanya tidak berfungsi. Semenjak kematian ibu mereka, Diran harus menghidupi kedua anaknya. Pekerjaannya sebagai guru SD inpres memang tak seberapa. Namun dia juga bekerja sambilan sebagai peternak ayam kampung di rumahnya.
Kalau dibanding-bandingkan dengan para pemuda yang naksir dirinya, Diran sebenarnya tidak tampan-tampan amat. Rambutnya sebagian sudah ditumbuhi uban. Kulitnya pun agak gelap dengan tubuh yang agak gemuk. Hidungnya tidak mancung dan tinggi badannya pun sedang-sedang saja layaknya rata-rata laki-laki di desanya. Entahlah, Minah tak habis pikir dengan perasaannya itu. Kenapa dia bisa jatuh hati dan simpatik terhadap Diran? Apa ini yang namanya jodoh? Atau mungkin inilah yang disebut pilihan hidup. Bagi Minah apapun yang terjadi kelak dalam rumah tangganya adalah konsekuensi dari pilihannya. Dia berjanji untuk tidak menyesali pilihannya itu. Yang terpenting hidup berumahtangga harus dilandasi dengan cinta. Yang terpenting baginya adalah mengasihi anak-anak Diran. Minah telah mantap dengan pilihan hidupnya, meski Mbok Kasmi mau bilang apa saja.
Di kamarnya, Mbok Kasmi sedang meratap sehabis shalat Maghrib. Mukenanya yang sudah pudar warna putihnya membalut semua tubuh tuanya. Tangannya ditengadahkan ke langit-langit rumahnya. Air matanya meleleh membasahi pipinya yang bergurat menunjukkan pahit-getirnya hidup yang telah ia lalui. Dia bermunajat kepada Tuhannya, “Duh Gusti Allah, andaikata pancen Diran adalah yang terbaik buat Minah, maka berilah kemuliaan dan kebahagiaan ya Allah. Jangan bebani Minah dengan beban di luar kemampuannya…”. Mbok Kasmi mengadukan perasaannya kepada Sang Khaliq atas pilihan hidup anak semata wayangnya.
Glossary:
Kuwalat (jw): akibat buruk; cengengesan (jw): tersenyum-senyum; nek (jw): kalau; ngombe (jw): minum; ngendon (jw): menginap; wis awan (jw); sudah siang; ati-ati (jw): hati-hati; omah-omah (berumah tangga); nggih nopo mboten (jw): ya apa tidak; pancen (jw): harus.
No comments:
Post a Comment