Wednesday, May 03, 2006

Bunga (Sambungan)

Tepat jam 11 siang. Pelataran Kantor Polisi Resort Tegal terlihat ramai. Sepeda motor berjejer di tempat parkir dan beberapa orang duduk menunggu didepan kantor bagian pembuat SIM. Terlihat juga beberapa orang menunggu giliran menunggang sepeda motor untuk mengikuti test mengemudi. Seorang petugas dengan seragam memanggil seseorang sesuai dengan nomor urutnya. Seorang pria separuh baya mendapatkan giliran untuk mengemudi. Ia tampak grogi ketika harus menginjak kuat tuas mesin motornya. Berkali-kali ia lakukan, si sepeda motor tak urung juga menderumkan mesinnya. Ada diantara kawan-kawannya yang nylethuk, “Udah deh Pak, saya wakilin saja. Yang penting khan dapat SIM lah…”. Yang lain tertawa riang mendengar celethukan itu. Orang yang di atas motor semakin kikuk dibuatnya.

Fitri memarkir mobil Avanza birunya. Siang itu terik mentari terasa menyengat kulit. Baru saja Fitri turun dari mobil, seorang laki-laki menyapanya, “Ada yang bisa saya bantu Bu? Ibu mau ngurus SIM atau perpanjangan?”. Ternyata calo yang berkeliaran di kantor polisi bisik Fitri dalam hati. Sambil tersenyum Fitri berkilah, “Nggak Mas, saya Cuma mau nemuin suami saya yang lagi tugas di sini…”. Terlihat wajah laki-laki itu berubah merah, namun dihalaunya dengan seulas senyum, “Oooohhh, kalau begitu maaf yah Bu, permisi….”. Laki-laki itu pergi berlalu entah kemana, Fitri tak ambil pusing dengan hal itu. Yang terbersit dalam pikirannya adalah ia ingin bertemu dengan Hendri yang saat ini pasti sedang kalut akibat perbuatannya.

Fitri bergegas ke kantor reserse dan menanyakan kepada petugas yang sedang duduk-duduk di sana. “Permisi Pak, saya istri Hendri. Bisakah saya menemui suami saya Pak?”. Seorang petugas dengan pangkat barada mempersilahkannya duduk. Ia terlihat ramah namun tatapan matanya tajam. “Silahkan duduk dulu Bu yah, nanti saya antar ke suami ibu. Yang jelas saat ini dia sedang diproses”, kata petugas jaga itu sambil berdiri dan tangannya menunjuk ke sebuah bangku kayu panjang bercat cokelat. Fitri tersenyum, “Terima kasih Pak, namun bolehkan saya diantar sekarang saja, karena jam 12 nanti saya harus menjemput anak saya di sekolah?’. Petugas itu mengangguk, “Baiklah kalau begitu, mari ikut saya Bu.”

Hati Fitri dag-dig-dug tak karuan menyusuri lorong koridor di dalam perut bangunan utama. Bangunan kokoh peninggalan Belanda masih menyimpan aroma kemegahannya. Persis di ujung koridor sebelah kanan. Petugas berhenti dan memanggil nama Hendri. “Saudara Hendri, istri Anda ingin bertemu dengan Anda”, kata-katanya tegas dan keras. Fitri melihat suaminya duduk di pojok sel tahanan dengan muka kuyu dan mata merah karena semalaman dia tak bisa tidur di ruang pengap. Rambutnya acak-acakan dan baju kaos yang ia kenakan pun kelihatan kusut. Petugas membukakan pintu jeruji besi itu. Suara gembok yang dicabut dari cincin pintu begeletak sehingga menimbulkan gema di dalam koridor. Hendri memandang Fitri dengan tatapan penuh penyesalan sekaligus malu. Petugas menggamit tangan Hendri dan membawa mereka berdua ke ruang tunggu. Sesampai di sana si petugas berkata kepada Fitri, “Maaf Bu, Ibu hanya diberi waktu 20 menit.” Petugas tersebut berdiri mematung di pojok ruangan mengawasi Fitri dan Hendri.

Hendri tertunduk lesu memandangi meja kayu berselimut kain taplak kusam bergambar kupu-kupu. Ia menghela nafas panjang. Sejurus kemudian ia berkata lirih, “Maafkan aku Fit. Seharusnya aku dengar kata-katamu. Aku malu.. aku malu sekali..”, Hendri sesenggukan sambil menutup wajahnya. Fitri tak tega menatap pemandangan yang sama sekali tak pernah dilihatnya. Suaminya tiba-tiba menangis di hadapannya. Suaminya tiba-tiba menyesali perbuatannya. Suaminya merasa malu atas semua perbuatannya!!! “Mas, sudahlah tak usah mengungkit yang lalu…”, suara Fitri damai menyoba mengusir galau sang Suami sambil tangannya diusap-usapkan di pundak Hendri dengan lembut. “Mungkin ini pelajaran yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Ketika hamba melenceng dari jalurnya, maka Dia luruskan jalan hamba-Nya itu. Insya Allah, ini merupakan bukti cinta Dia kepada Mas agar Mas berjalan lagi di atas hamparan rahmat-Nya”. Hendri tertunduk lesu, “Astaghfirullaah ya Allah… aku memang sering berlaku dosa dan aniaya atas diriku”. “Aku janji Fit, untuk memperbaiki diriku “, Hendri berkata dengan parau.

Hendri hanya mampu memasrahkan nasibnya kepada Yang Kuasa. Ia mengaku salah. Istrinya yang setia tak pernah sekalipun menyakiti perasaannya. Bahkan ia sering menistakan semua nasihat-nasihatnya. Ia membayangkan betapa kelam hari-harinya dalam rumah tahanan. Dan lebih kelam lagi ketika dia bebas dari penjara. Pasti banyak orang yang akan mencibir dan mencemoohnya. Ia pun malu pada anak-anaknya yang masih polos andaikata mereka tahu bahwa ayahnya adalah narapidana.

Hendri mengangkat wajahnya dan ditatapnya Fitri dengan penuh haru, “Insya Allah Fit, aku akan mendekatkan diriku pada Allah. Aku ingin belajar untuk menyucikan batinku dan menaburinya dengan nasihat-Nya”. Fitri pun ikut haru mendengar kata-kata suaminya. Petugas yang sedari tadi berdiri di pojok ruangan, tiba-tiba memberi tahu bahwa waktu 20 menit sudah usai. Tak terasa mata Fitri membasah, air mata mengambang di pelupuk matanya. Ia tak kuasa untuk menahan suaminya berlama-lama dengannya. Memang ada yang hilang dari dirinya ketika Hendri tak lagi tinggal di rumah untuk sementara. “Ya Allah semoga pelajaran ini merupakan kuntum bunga sorgawi yang engkau tanamkan di hati Mas Hendri”, bisik hati Fitri memenuhi relung jiwanya.

No comments: