Thursday, February 28, 2008

Suatu Sore

Jam 4pm di Ciputat. Hari pertama aku ngantor setelah tujuh bulan aku absen serasa agak aneh. Aku merasa bahwa aku 'agak' tercabut dari akarku. Suana kampus padahal masih nampak sama tak ada yang berubah semenjak aku tinggal. Dinamika internal agaknya adem-ayem saja. Suasana fisik boleh berubah, namun tak bisa dipungkiri bahwa dalam tujuh bulan lepas, banyak sekali peristiwa yang berlalu-lalang luput dari pendengaran dan penglihatanku.

Seperti biasa, aku mencoba untuk mengulangi hidup rutinku di Jakarta. Aku putuskan untuk ke kampus setelah dua hari lamanya aku istirahat menikmati jetlag di rumah. Jenuh juga menjadi pengangguran. Bisa dibayangkan bagi para pensiunan yang tak memiliki kreativitas hidup, masa pensiun adalah masa penantian menuju alam kematian. Aku putuskan ke kampus. Aku bilang pada istriku, "Yul, aku hari ini ingin ke kampus. Mau naik angkot dan metromini lagi." Istriku menimpali, "Bareng saja ke kampusnya. Aku juga mau ke kampus Depok." Terpaksa deh aku berangkat tak naik mikrolet M-36 yang biasa aku tumpangi menuju jalan Buncit Raya depan kantor Republika.

Jam 8 pagi, aku diantar istriku sampai di jalan Buncit yang melewati perempatan Mangga Besar. Di situ aku turun dan kubiarkan istriku pergi menuju Depok. Aku berdiri saja di pinggir jalan menunggu bus yang kutunggu. Barang lima menit, P-20 terlihat melaju kencang dari arah kanan. Ngebut gaya supir umum Jakarta agaknya sudah menjadi budaya. Yah, sebuah pengalaman hidup yang menarik melihat perilaku supir dan kondektur moda angkutan kota di Jakarta. Jarang mereka mau bersabar dan berhati-hati ketika melaju di jalan raya. Mereka kadang tak berfikir bahwa yang dibawanya adalah manusia, bukan sayur mayur atau batu kali. Mungkin di dalam mindset mereka yang ada adalah rupiah dan rupiah saja. Ngejar setoran adalah daya dorong yang membuat mereka kalap di jalan raya. Angkutan kota diperlakukan ibarat mobil balap formula satu. Sungguh ngeri sebenarnya. Sayang, busway menuju Lebak Bulus belum terealisir.

Meski demikian, aku tetap naik P-20 menuju Lebak Bulus. Bus ukuran sedang dengan kapasitas cuma 30 orang seringkali dijejali melebihi kapasitas. Gaya zig-zag dalam memandu kendaraan sudah menjadi adat supir dalam mengejar setoran. Belum lagi suasana jalan yang dipadati oleh 'nyamuk-nyamuk', sebuah istilah bagi para pengendara motor karena ramai dan bising suaranya, seolah menguasai seluruh ruas jalan. Betul-betul dinamis ibu kota negeriku ini. Dinamika hidup sebagai penanda bahwa denyut kota masih menyampaikan sinyal kehidupan. Waktu adalah uang dan waktu adalah sebuah perjalanan hidup di atas jalan. Jangan heran, mungkin separuh umur manusia di Jakarta sudah biasa dihabiskan di jalan raya. Alhamdulillah, aku kebagian kursi di belakang. Hanya dengan dua lembar uang ribuan, aku bisa menikmati angkutan masal kota Jakarta. Dalam pengamatanku, disiplin di jalan raya masyarakat kita memang parah. Sikap amburradul tidak hanya dipertontonkan oleh supir metromini, mikrolet, bajaj, atau kopaja, tapi juga dipertontonkan oleb beberapa gelintir mobil-mobil mewah. Aku heran saja ketika kulihat sebuah mobil mulus dikendarai model manuver bajaj. Yang jelas si supir tidak mengejar setoran. Entah apa yang dia kejar? Waktu? sampai kapanpun waktu tak akan bisa dikejar.

Jam 8.30am, aku sampai kampus. Pelataran kampus lengang. Kicau burung pagi masih bersiul. Namun sulit buatku untuk melihat jenis burung yang masih mau menyapa pagi di kota penuh polusi. Ciputat macet... Yah, karakteristik kota penuh dinamika adalah kemacetan. Jangan sering mengeluh, karena jalan yang ada bukan milik nenek moyang kita atau encang-encing kita. Yang jelas kita harus sharing dengan yang lain. Kuputuskan untuk mampir ke beberapa pusat di kampusku untuk bertemu banyak kawan dan sahabat. Alhamdulillah, mereka tak lupa aku. Mereka bilang aku tambah gemuk saja. Mungkin, karena hidup santai di negeri orang dan dimanja oleh banyak keakraban (baca: sering ditraktir makan :-)). Tak lupa aku juga mampir ke fakultasku. Oh iya, aku bawa oleh-oleh yang mereka senangi, cokelat dan suvenir. Ada juga yang pesan buah zaitun yang konon dipercaya untuk menyembuhkan sakit jantung. Puas aku bertemu dengan mereka. Minimal aku mencoba untuk mencangkok kembali akar sosial yang pernah stagnan selama sekian waktu.

Di hari pertama itu aku mendengar ada isu yang membuat bulu kudukku berdiri. Konon, sebuah media massa nasional melansir berita yang mengejutkan bahwa pada tanggal 15 Februari lalu ada 16 mahasiswa digrebek polisi ketika mereka menikmati pesta miras! Bahkan ada lagi issu yang tak kalah hebohnya, yakni disinyalir adanya ayam kampus yang berkeliaran dan pedagang asongan obat terlarang yang merambah dunia kampus. Waduh, Gusti. Alamat apa ini? Kiamatkah atau memang zaman sudah mulai mendekati saat kehancurannya? Ataukah saat ini sedang terjadi perang dunia ketiga? Sebuah perang yang tak lagi memanggul senjata; tapi sebuah peperangan ideologis dan budaya yang berusaha merusak generasi muda kita. Pihak kampus sedang menelaah issu ini dan meminta pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas para oknum yang mencoreng nama baik almamater. Aku mendukung satu trilyun persen adanya gerakan etis yang akan diusung oleh pihak kampus demi memberantas penyakit sosial yang saat ini menggerogoti dunia pendidikan kita.

Ciputat, 28 Februari 2008

No comments: