Thursday, February 28, 2008
Suatu Sore
Seperti biasa, aku mencoba untuk mengulangi hidup rutinku di Jakarta. Aku putuskan untuk ke kampus setelah dua hari lamanya aku istirahat menikmati jetlag di rumah. Jenuh juga menjadi pengangguran. Bisa dibayangkan bagi para pensiunan yang tak memiliki kreativitas hidup, masa pensiun adalah masa penantian menuju alam kematian. Aku putuskan ke kampus. Aku bilang pada istriku, "Yul, aku hari ini ingin ke kampus. Mau naik angkot dan metromini lagi." Istriku menimpali, "Bareng saja ke kampusnya. Aku juga mau ke kampus Depok." Terpaksa deh aku berangkat tak naik mikrolet M-36 yang biasa aku tumpangi menuju jalan Buncit Raya depan kantor Republika.
Jam 8 pagi, aku diantar istriku sampai di jalan Buncit yang melewati perempatan Mangga Besar. Di situ aku turun dan kubiarkan istriku pergi menuju Depok. Aku berdiri saja di pinggir jalan menunggu bus yang kutunggu. Barang lima menit, P-20 terlihat melaju kencang dari arah kanan. Ngebut gaya supir umum Jakarta agaknya sudah menjadi budaya. Yah, sebuah pengalaman hidup yang menarik melihat perilaku supir dan kondektur moda angkutan kota di Jakarta. Jarang mereka mau bersabar dan berhati-hati ketika melaju di jalan raya. Mereka kadang tak berfikir bahwa yang dibawanya adalah manusia, bukan sayur mayur atau batu kali. Mungkin di dalam mindset mereka yang ada adalah rupiah dan rupiah saja. Ngejar setoran adalah daya dorong yang membuat mereka kalap di jalan raya. Angkutan kota diperlakukan ibarat mobil balap formula satu. Sungguh ngeri sebenarnya. Sayang, busway menuju Lebak Bulus belum terealisir.
Meski demikian, aku tetap naik P-20 menuju Lebak Bulus. Bus ukuran sedang dengan kapasitas cuma 30 orang seringkali dijejali melebihi kapasitas. Gaya zig-zag dalam memandu kendaraan sudah menjadi adat supir dalam mengejar setoran. Belum lagi suasana jalan yang dipadati oleh 'nyamuk-nyamuk', sebuah istilah bagi para pengendara motor karena ramai dan bising suaranya, seolah menguasai seluruh ruas jalan. Betul-betul dinamis ibu kota negeriku ini. Dinamika hidup sebagai penanda bahwa denyut kota masih menyampaikan sinyal kehidupan. Waktu adalah uang dan waktu adalah sebuah perjalanan hidup di atas jalan. Jangan heran, mungkin separuh umur manusia di Jakarta sudah biasa dihabiskan di jalan raya. Alhamdulillah, aku kebagian kursi di belakang. Hanya dengan dua lembar uang ribuan, aku bisa menikmati angkutan masal kota Jakarta. Dalam pengamatanku, disiplin di jalan raya masyarakat kita memang parah. Sikap amburradul tidak hanya dipertontonkan oleh supir metromini, mikrolet, bajaj, atau kopaja, tapi juga dipertontonkan oleb beberapa gelintir mobil-mobil mewah. Aku heran saja ketika kulihat sebuah mobil mulus dikendarai model manuver bajaj. Yang jelas si supir tidak mengejar setoran. Entah apa yang dia kejar? Waktu? sampai kapanpun waktu tak akan bisa dikejar.
Jam 8.30am, aku sampai kampus. Pelataran kampus lengang. Kicau burung pagi masih bersiul. Namun sulit buatku untuk melihat jenis burung yang masih mau menyapa pagi di kota penuh polusi. Ciputat macet... Yah, karakteristik kota penuh dinamika adalah kemacetan. Jangan sering mengeluh, karena jalan yang ada bukan milik nenek moyang kita atau encang-encing kita. Yang jelas kita harus sharing dengan yang lain. Kuputuskan untuk mampir ke beberapa pusat di kampusku untuk bertemu banyak kawan dan sahabat. Alhamdulillah, mereka tak lupa aku. Mereka bilang aku tambah gemuk saja. Mungkin, karena hidup santai di negeri orang dan dimanja oleh banyak keakraban (baca: sering ditraktir makan :-)). Tak lupa aku juga mampir ke fakultasku. Oh iya, aku bawa oleh-oleh yang mereka senangi, cokelat dan suvenir. Ada juga yang pesan buah zaitun yang konon dipercaya untuk menyembuhkan sakit jantung. Puas aku bertemu dengan mereka. Minimal aku mencoba untuk mencangkok kembali akar sosial yang pernah stagnan selama sekian waktu.
Di hari pertama itu aku mendengar ada isu yang membuat bulu kudukku berdiri. Konon, sebuah media massa nasional melansir berita yang mengejutkan bahwa pada tanggal 15 Februari lalu ada 16 mahasiswa digrebek polisi ketika mereka menikmati pesta miras! Bahkan ada lagi issu yang tak kalah hebohnya, yakni disinyalir adanya ayam kampus yang berkeliaran dan pedagang asongan obat terlarang yang merambah dunia kampus. Waduh, Gusti. Alamat apa ini? Kiamatkah atau memang zaman sudah mulai mendekati saat kehancurannya? Ataukah saat ini sedang terjadi perang dunia ketiga? Sebuah perang yang tak lagi memanggul senjata; tapi sebuah peperangan ideologis dan budaya yang berusaha merusak generasi muda kita. Pihak kampus sedang menelaah issu ini dan meminta pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas para oknum yang mencoreng nama baik almamater. Aku mendukung satu trilyun persen adanya gerakan etis yang akan diusung oleh pihak kampus demi memberantas penyakit sosial yang saat ini menggerogoti dunia pendidikan kita.
Ciputat, 28 Februari 2008
Friday, February 22, 2008
Balik kampung
Tuesday, February 12, 2008
Kenangan
Tubuh ini dipaksa untuk beranjak
meninggalkan lingkaran rindu
sedangkan jiwaku masih terpaku di tempatnya
waktu mencabut jasadku
namun tak mampu menghela jiwaku bergeser
dari tempat kuberdiri
Jiwaku terbelenggu dalam monumen waktu
terkurung enggan beranjak
meski tubuh jauh melesat tinggalkan goresan
terkurung oleh cinta, kasih, dan sayang
meski bertebar benci, caci, dan duka
di atas hampar tikar kehidupan
Kenang itu membungkus jiwaku
di saat mentari berpendar
dan lintang-gemintang mengerlip di awang
Biarkan tubuh beranjak
selama sejumput kenang masih memagut
selama untai asa masih meronce nafas yang tersisa
Melbourne, 13 -02-2008
Monday, February 11, 2008
Kisah Dua Kawanku
Persahabatan yang tak mungkin musnah meski aku tahu lilitan masalah begitu besar mereka derita saat itu. Dimana ada mereka, maka aku pun ada bersama mereka. Ayman sering saja mengajak jalan-jalan kemana-mana. Bahkan sempat kami ke melancong ke Sydney mengendarai mobil barunya. Aku memang tak pandai mengemudi mobil, makanya bisa kebayang betapa lelahnya dia mengemudi selama hampir 9 jam! Saat itu kebetulan ada undangan pernikahan di Dewey, Sydney . Aku diminta menjadi penghulu bagi pernikahan pasangan keturunan Arab Indonesia. Amboi, kampung Arab di Sydney! Satu hal yang selalu aku ingat pada pribadi Ayman ini adalah manja dan sensitif. Sungguh bertolak belakang dengan kebanyakan orang Medan yang tak mudah cengeng. Mungkin karena dia anak bungsu dan kurang kasih sayang.
Wisnu sudah agak lama tak menampakkan dirinya. Hampir setengah tahun aku tak pernah mendengar kabarnya dan tak diketahui dimana rimbanya. Tahun lalu di bulan Desember 2006, aku bertemu dia di Jakarta selepas menunaikan haji. Setelah itu, aku tak lagi mendengar kabarnya. Terakhir aku mendengar kalau dia lagi berada di Indonesia. Tapi, alhamdulillah aku dipertemukan kembali dengan Wisnu di Westall saat iktikaf sebulan yang lalu. Dia nampak lebih tenang dibanding dulu. Mungkin derajat keimanannya semakin kuat. Banyak orang senang dengan sahabatku ini karena kepandaiannya dalam ilmu pijat. Sudah tak terhitung berapa banyak yang sembuh di tangannya. Alhamdulillah. Kepergiannya ke Perth agak menyentakku. Aku hanya bisa berdo'a kepada Allah agar selalu dimudahkan dan diberikan limpahan rejeki di tanah baru. Sambil bercanda aku bilang, "Wisnu, mudah-mudahan kau dapat jodoh yang sholihah di Perth!"
Melbourne, 13 Februari 2008
Melbourne,
Pisah
Jarum jam menunjuk angka empat pagi. Aku minta Mas Yahya untuk memimpin shalat Tahajjud dan Witir. Suana syahdu dan hening sebening hati manusia yang ikut bertakbir di pagi itu terasa membuncah. Aku sempat merasakan selimut spiritual membuat pagi yang dingin menjadi begitu hangat. Aku reguk nikmat pagi dengan cawan-cawan surgawi dalam lantunan ayat-ayat merdu yang dilantunkan oleh Mas Yahya. Selepas shalat, kami berdo'a bersama dengan khusyuk dan syahdu. Memohon agar Sang Kuasa membuat jalan hidup kami semakin mudah dan semoga Sang Kasih selalu menghujani kasih-Nya kepada kami. Sebenarnya pelupuk mataku sudah basah mengenang betapa kotornya jiwaku di hadapan Sang Suci. Aku tengadahkan kedua tangan mengemis di hadapan Rabbku. Pagi itu memang syahdu dan nikmat.
Jarum jam menunjuk angka 5 pagi. Aku minta Pak Johana, si pemilik cafe "Constantinopel" di Jalan Brunswijk, untuk melantunkan azan Shubuh. Suaranya merdu nian. Terasa getar semangatnya untuk memanggil shalat orang yang lalai. Meski kami sudah terjaga, Pak Johana menyerukan, "Ash shalaaatu khairum minan nawm..." Shalat lebih baik daripada tidur. Aku terjemahkan dalam diriku bahwa shalat lebih baik daripada tidurnya hati. Shalatlah yang membuat tubuh dan hati terjaga. Betul-betul suasana mirip di Indonesia, bahkan jauh lebih khusyuk ketika shalat di tanah rantau di sebuah sudut di bumi kanguru.
Selepas shalat Shubuh, seperti biasa aku ungkapkan terima kasih kepada semua yang hadir dan kepada semua yang rela menyumbangkan makanan kecil dan sarapan pagi. Sungguh nikmat bertemu dengan banyak orang yang bersemangat meluangkan waktunya untuk sekedar membuat hidangan bagi orang lain. Jiwa sedekah mereka luar biasa! Aku dikasih tahu ibu kostku, Bu Tri, bahwa pagi hari ini hidangan di Westall bakalan istimewa karena aku mau pulang ke Indonesia. Aku lebih terharu lagi atas penghormatan ini. Demi Allah aku tak berharap apa-apa dengan semua ini. Namun penghormatan jamaah Shubuh begitu menyentuh ceruk kalbuku yang paling dalam.
Bahasan pagi itu aku cuplik dari kitab Syaikh Abu Layts yang berjudul "Tanbih al-Ghafiliin" alias peringatan bagi yang lalai. Kebetulan paragraf yang aku buka adalah tentang ungkapan yang diucapkan oleh bumi untuk mengingat manusia yang hidup di atasnya. Diantara kata bumi yang diungkap adalah, "Wahai manusia, saat ini engkau bisa tertawa, namun di saat lain engkau akan menangis di dalam perutku..." Sungguh bijak sang Syaikh dalam mengingatkan kehidupan kita yang begitu cepat akan berakhir dalam sebuah lubang yang bernama kuburan. Sering kali aku berfikir bahwa hidup ini begitu singkat dan terlalu cepat untuk dinikmati. Tanpa sadar kita adalah pejalan kaki menuju alam kubur yang entah berada dimana. Suasana pengajian sangat hangat dan interaktif meski diselingi humor segar agar kantuk bisa ditepis.
Surprise!!! Selepas pengajian kitab, beberapa orang jamaah yang notabene perempuan berinisiatif memberikan aku sebuah kenang-kenangan. Aku diminta menerima kado tersebut. Bertambah haru dan pilu lah perasaan ini. Yah, kenang-kenangan adalah sesuatu yang selalu membuat pilu dada ini. Betapa tidak? Ketika aku tak lagi berpijak di masjid ini, maka ketika benda itu aku pegang, maka yakinlah alam khayalku akan membawaku kepada saat-saat manis berjamaah di masjid dan kemanisan hubungan pertemanan di Melbourne. Bu Nunung, mewakili jamaah maju ke depan dan memberikan sebuah tas bertuliskan angka 3. Aku diminta membuka bungkusan dalam tas itu. Kudapati sebuah telepon genggam diberikan untukku sebagai kenang-kenangan dan sebuah kartu ucapan selamat jalan yang ditoreh oleh banyak kawan. Subhanallaah dan alhamdulillaah atas karuniamu dipertemukan dengan begitu banyak orang baik dalam hidupku. Ya Allah, kalaulah bukan karena Engkau, tak mungkin aku menikmati rahmat-Mu ini. Aku tak bisa menolak meskipun aku tak pernah meminta dan membayangkan hadiah ini.
Aku hanya bisa menyatakan terima kasihku kepada mereka. Aku sampaikan, "Ibu-ibu dan bapak-bapak, terima kasih tak terhingga atas kenang-kenangan ini. Saya menerjemahkan kenangan-kenangan ini sebagai simbol bahwa saya tak boleh memutuskan silaturahim dengan jamaah di sini. Saya akan ingat terus persahabatan kita. Saya akan pastikan bahwa kenangan ini tak akan pupus di telan usia. Akan saya bawa terus kenangan indah ini." Aku tak bisa berkata-kata lagi karena rasa haru yang sebenarnya bergemuruh dalam dadaku. Aku hanya mampu berbisik dalam diriku, "Ya Allah terima kasih ya Allah atas karunia-Mu. Aku tak menyangka..."
Melbourne, 13 Februari 2008
Melbourne,
Bangkrut
Petang sehabis Maghrib sekitar jam 10pm selepas orang-orang belajar membaca al-Qur'an dan mendengarkan tafsir sedikit dari ayat-ayat pilihan, acara yang biasa diisi dengan ceramah dirubah menjadi acara 'silaturahim istimewa'. Pak Ade mengawali pertemuan tersebut dengan mengatakan, "Masjid ini dibangun untuk kepentingan bersama dan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Bagi pihak-pihak yang terkait dalam hal yang tak mengenakkan bagi kepentingan masjid ini, maka saatnyalah untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Kita harus melihat kenyataan bahwa umat Islam itu bermacam ragam. Untuk itulah masjid ini ada." "Bibit perpecahan harus disingkirkan. Ada orang yang tak saling menyapa, maka hal itu harus dihentikan. Marilah kita bersama-sama lagi seperti dahulu," demikian Pak Ade berkata pelan namun tegas. Selanjutnya Pak Ade menjelaskan apa fungsi masjid dan apa yang dibutuhkan oleh masjid dengan sokongan penuh dari masyarakat Muslim Indonesia di Melbourne. Setelah selesai bicara, Pak Ade mengajak para jamaah semua berdiri dan saling bersalaman dan meminta maaf. Alhamdulillah pada malam itu seolah malaikat rahmat mengerubuti para hamba yang hatinya betul-betul disirami cahaya ikhlash untuk saling memaafkan. Kalau ada ganjalan dan perasaan tak ridlo, maka hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang hadir. Bagi Pak Ade, yang terpenting adalah budayakan saling maaf memaafkan antar sesama.
Bagiku , sebagai seorang Muslim, meminta maaf dan saling memaafkan adalah sebuah kemutlakan. Secara hakikat kita sudah saling memaafkan, namun secara syari'at lafaz meminta maaf dan memaafkan sangat mutlak diperlukan. Hal ini merupakan bentuk pendidikan diri atas kelemahan kita. Hal ini merupakan pengakuan diri bahwa kita adalah makhluk yang selalu ditumbuhi oleh borok kesalahan dan dosa. Tak ada satupun diantara kita yang tak ternoda oleh kesalahan dan dosa. Bahkan nabi Muhammad sendiri mengatakan, "Semua manusia adalah bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertobat." Dosa kita kepada Allah, maka cukuplah kita meminta ampun kepada-Nya lewat istighfar dan penyesalan. Namun, salah kita kepada sesama cucu Adam, maka tak cukup hanya berujar istighfar. Selama seorang hamba masih menuntut keadilan atas kesalahan kita, maka di akhirat kelak kebaikan kita akan diberikan kepadanya dan dosa dia akan ditimpakan kepada kita. Hal ini pernah disinggung oleh rasulullah SAW sebagai orang yang bangkrut.
Hadits berikut mengisahkan nasib tragis seseorang yang memanggul banyak sekali amal ibadah, namun ketika di hari Hisab dia harus kehilangan semua pundi tabungan amalnya karena tak menyelesaikan hak-hak anak Adam di muka bumi ini. Kezaliman yang diperbuat yang membuat sesama Muslim tersakiti membuatnya kehilangan seluruh bekal amaliahnya. Silahkan simak hadits ini:
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab: “Orang yang bangkrut di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang.” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim no. 6522).
Jika kita tak sempat meminta maaf pada saudara kita yang pernah kita zalimi baik sengaja maupun tidak, maka kita pun harus bersiap untuk merelakan lonceng kebangkrutan berdentang mengiringi kematian kita. Andai kita tak sempat meminta maaf pada mereka yang kita rendahkan kehormatannya, maka kita harus rela andai besok di akhirat kelak, kita menjadi manusia papa dan hina karena tak memiliki amalan apapun yang bisa dipertanggungjawabkan. Semua manusia yang kita sakiti sama-sama melempar kotoran dosa dan menyorongkan kita ke dalam lubang neraka...a'udzu billah min dzalik!. Simak hadits berikut ini tentang perlunya meminta maaf kepada sesama:
Di dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAWbersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كاَنَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Siapa yang pernah berbuat kedzaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatan saudaranya atau perkara-perkara lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari saudaranya tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang suatu hari di mana di sana) tidak ada lagi dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang dilakukan, yakni pada hari kiamat). Bila ia memiliki amal shalih diambillah amal tersebut darinya sesuai kadar kedzalimannya (untuk diberikan kepada orang yang didzaliminya sebagai tebusan/pengganti kedzaliman yang pernah dilakukannya). Namun bila ia tidak memiliki kebaikan maka diambillah kejelekan orang yang pernah didzaliminya lalu dipikulkan kepadanya.” (HR Al-Bukhari no. 2449).
Melbourne, 12 Februari 2008
Thursday, February 07, 2008
Detik
Sayang,
Jarum waktu terus berputar dan meninggalkan bayang-bayang
Detik merambat namun melesat pasti
Kita arungi waktu
dalam ruang hangat kebersamaan
Tawa, tangis, dan canda menghias
setiap denting waktu yang berlalu
Kasih,
Ku tak kuasa menahan jarum waktu yang mencipta detik
Jiwaku rontok ketika kesepuluh jariku memapah
mimpi yang dilindas oleh kuasa waktu
Hanya bayang-bayang yang masih bertengger
di pucuk waktu
Cinta,
Apa yang kita miliki tak pernah kekal selamanya
Apa yang pernah mampir di sudut ruang hampa
akan kembali diterjang waktu
terkapar dalam bayang-bayang abadi
Kekekalan tak akan pernah kita miliki
ia milik-Nya
bukan milik kita
Kau,
biarlah berbaring dalam terali memori
terpajang di atas dinding hidup yang retak
Tergantung di atas hampar kefanaan
Bergumulah
Cumbulah kebersamaan itu
Nikmati satu detik dalam kefanaan
Terbang bersamaku dalam kefanaan
Reguk madu rindu dalam kefanaan
Biarkan bayang-bayang tampakkan ke-bakaan
Kekal terbungkus kenang
Sementara semua yang kita miliki hanyut dalam arus kefanaan
Sayang....
Kasih....
Cinta....
Kau....
ada dalam kekal bayang-bayang
Melbourne, 8 Februari 2008
Menyatu
Alih-alih ingin membawa semangat dan idealisme yang bisa diharapkan sebagai rahmat, justru yang ada adalah kita menciptakan bumerang kehidupan. Kita berputar tanpa tahu pasti dimana tujuan kita. Kita terjebak oleh simbolisasi kultural tempatan yang membuahkan mitologisasi simbol. Alih-alih islamisasi, yang ada adalah arabisasi. Semua yang memiliki ekspresi simbol Timur-Tengah diklaim sebagai islami. Kita harus sadar bahwa Islam dan Arab adalah dua hal yang berbeda. Kalau toh Islam dipengaruhi tradisi Arab memang harus kita akui. Hal ini dikarenakan Islam lahir di tanah Arab. Namun proses pendewasaan dan ekspresi keislaman berwatak lokal. Islam adalah jiwa, sedangkan ekspresi keislaman adalah lokal. Islam lebih tinggi dari peradaban manapun, demikian kata nabi, al-islaam ya'luu wa laa yu'laa 'alayh. Maknanya, kita harus menelaah jiwa dan semangat Islam itu agar tak terjebak oleh simbolisasi semu yang mengancam kemesraan umat.
Tentang jebakan simbol ini, saya punya cerita. Suatu hari, saya sengaja memakai blankon (tutup kepala khas budaya Jawa) ke masjid. Di sana, seperti biasa, saya harus menjadi imam salah satu shalat fardlu. Dengan penuh percaya diri saya imami jamaah saya. Sehabis salam, salah seorang jamaah saya protes bahwa shalat dia merasa terganggu karena tutup kepala yang saya pakai. "Pak, saya merasa tidak enak kalau bapak mengimami saya dengan memakai blankon. Lebih baik bapak memakai peci atau topi haji Pak," kata jamaah saya saat itu. Kebetulan jamaah saya mengenakan tutup kepala warna putih dan memakai gamis. Terus saya jawab, "Kenapa Anda lebih suka saya pakai peci daripada pakai blankon ketika jadi imam shalat? Apakah Anda tidak tahu bahwa peci pun bukan penutup kepala yang dipakai Rasul?". Kemudian saya jelaskan bahwa simbolisasi adalah sesuatu yang bisa berubah sesuai ekspresi tempatan. Saya hanya ingin memperlihatkan bahwa penutup kepala pun bisa bermacam ragam tanpa harus terjebak pada standar sosial dan kultural yang arbiter. Blankon dan peci adalah sama-sama penutup kepala dan tempatnya di kepala bukan di kaki. Dia bisa dipakai kapanpun suka.
Jebakan simbolisasi menjadikan sebagian dari kita sangat eksklusif dan cenderung menyisihkan golongan lain yang tak memakai simbol yang sama. Mistifikasi simbol dipandang lebih penting dibanding menemukan jiwa dan nilai Islam itu sendiri. Simbol kemudian menjadi kemudi bagi proses 'kaplingisasi' kelompok-kelompok Islam. Seseorang akan sangat Islami ketika menempelkan stiker "Islam is my way of life" di kaca depan mobilnya. Namun dia tak menyadari ketika dia lebih suka menerabas perempatan lampu merah dan membuang puntung rokok sembarangan. Seseorang akan merasa sangat Islami ketika memakai jubah sunnah kemanapun dia pergi, namun tak sadar ketika dia meludah sembarangan dan berjalan congkak di atas bumi Allah. Seseorang dengan jilbab lebar mungkin akan merasa sangat islami, namun tak pernah menyadari ketika dia lebih suka bergunjing dan menebar fitnah. Islam tidak akan pernah terjerat oleh mistifikasi simbol. Islam akan selamanya tinggi dan membubung ke langit tujuh sebagai titian menuju surga na'im. Saya tak menolak simbol, karena simbol itu penting sebagai media kontestasi identitas dan kreativitas kultural. Namun, saya lebih mendukung andai simbol pun dijiwai oleh jiwa dan nilai Islam yang membumi.
Kotak-kotak simbol yang menambah nuansa keragaman umat adalah keindahan yang membuat umat semakin menarik. Mozaik simbol ibarat noktah-noktah pelangi di lembar kanvas kehidupan yang menambah nafas hidup lebih segar dan kreatif. Namun ketika warna simbol tertentu mencoba mendominasi warna lainnya, maka potret kehidupan umat Islam semakin buram dan lusuh. Umat tergiring dalam perang tanpa agenda. Umat tergiring untuk menciptakan musuh-musuh dalam tubuhnya sendiri. Saya mengibaratkan fenomena ini sebagai 'bunuh diri' umat. Mengapa umat tak bergeser untuk lebih berjuang untuk merekatkan tali silaturahim yang sudah semakin lebar terkoyak? Mengapa umat tak tertarik untuk lebih berjuang melawan penindasan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebangkrutan kolektif? Kita lebih suka berdebat untuk memperebutkan pepesan kosong. Ingatlah dalam hal ini Allah berfirman, “Jika tuhan-mu menghendaki niscaya Dia akan menjadikan manusia itu umat yang satu tetapi mereka itu sentiasa berselisih” (Hud : 118). Berselisih membuat kita terpuruk. Perpecahan adalah gerbang kehancuran dan azab bagi umat Islam, demikian Al-Tahawi menyatakan. Kita jadi curiga, apakah saat ini adalah hari dimana manusia semakin merasa bahwa Islam adalah bara yang tergenggam di tangan kita?. Panas dan tak satupun yang mampu menjamah jiwa dan nilainya.
Biarlah simbol-simbol kehidupan semakin semarak asalkan hati kita sama-samat terpaut oleh tali agama Allah yang kuat. Selama seseorang beriman, bersyahadat, dan melakukan rukun-rukun teologis secara baik, maka dia adalah saudara kita bagian dari tubuh umat yang satu. Seorang kawan menasihati saya, "Pak, terlalu banyak sahabat-sahabat kita menjadikan dirinya lebih besar dari Allah SWT. Bahkan terlalu banyak yang bisa menciptakan keputusan kapan seseorang harus mati dan dimana tempat terbaiknya besok di akhirat." Saya semakin takut andai saya pun justru terjebak dalam perang tak berujung. Saya menjadi kawatir kalau justru hawa nafsu saya membisikkan bahwa saya bisa menjadi Tuhan. A'udzu billah min dzalik!.
Saya kemudian berfikir apakah layak sesama Muslim bermusuh-musuhan? Bukankah watak permusuhan adalah watak yang dianut umat jahiliyah sebelum Sang Rasul memperkenalkan Islam yang menebar pesona kebersamaan? Saya merenungi kata-kata Allah yang berbunyi: “ Bersatulah kamu semua dalam simpul tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah yang dicurahkan kepadamu ketika kamu bermusuh-musuhan di masa jahiliyah dulu, kemudian Allah menyatukan hati kamu, maka karena nikmat Allah lah kalian menjadi saudara." (Ali-Imran : 102-3). Dus, andai terus saja kita menebar perpecahan dalam tubuh ini, maka hal ini bermakna bahwa kita belum mampu beranjak dari era jahiliyah. Semoga hati kita semakin luas untuk menerima perbedaan dan semoga Islam menjadi jiwa dan nilai kebersamaan.
Melbourne, 8 Februari 2008
Tuesday, February 05, 2008
Soeharto's unsung legacy
Indonesia's former president has been unjustly maligned. We should be grateful for the security on our doorstep - for which we have him to thank.
THE death of Soeharto, former president of Indonesia, gives all Australians a chance to assess the value of his life and the relationship between Indonesia and Australia. Of any figure in the post-World War II period, including any American president, Soeharto, by his judgement, goodwill and good sense, had the greatest positive impact on Australia's strategic environment and, hence, on its history.
In the 40 years since he came to power in 1965, Indonesia has been the ballast in South-East Asian stability and the foundation stone upon which ASEAN was built.
Soeharto took a nation of 120 million people, racked by political turmoil and poverty, from near disintegration to the orderly, ordered and prosperous state that it is today.
In 1965, countries such as Nigeria and Zimbabwe were in the same position as Indonesia then. Today, those countries are economic and social wrecks. By contrast, Indonesia is a model of harmony, cohesion and progress. And the principal reason for that is Soeharto.
We can only imagine what Australia's strategic position would be like if Indonesia's now 230 million people degenerated into a fractured, lawless state reminiscent of Nigeria or Zimbabwe.
For the past 40 years, we have been spending roughly 2% of GDP on defence — about $20 billion a year in today's dollars. That figure would be more like seven to eight times that, about $150 billion today, if Indonesia had become a fractured, politically stricken state.
Had General Soeharto's New Order government not displaced the Soekarno government and the massive PKI Communist Party, the postwar history of Australia would have been completely different. A communist-dominated Indonesia would have destabilised Australia and all of South-East Asia.
So why have Australians regarded Indonesia so suspiciously, especially over the past quarter-century, when it is evident that Indonesia has been at the fulcrum of our strategic stability.
Unfortunately, I think the answer is Timor and the wilful reporting of Indonesian affairs in Australia by the Australian media, in the main the Fairfax press and the ABC. Most particularly and especially The Sydney Morning Herald and to a lesser extent The Age.
This rancour and the misrepresentation of the true state of Indonesian social and economic life can be attributed to the "get square" policy of the media in Australia for the deaths of the Balibo Five — the five Australian journalists who were encouraged to report from a war zone by their irresponsible proprietors and who were shot and killed by the Indonesian military in Timor.
This event was sheeted back to Soeharto by journalists of the broadsheet press. From that moment, in their eyes, Soeharto became a cruel and intolerant repressor whose life's work in saving Indonesia from destruction was to be viewed, and only viewed, through the prism of Timor.
Rarely did journalists ever mention that Soeharto was president for 10 years before he did anything about Timor. He was happy to leave the poverty-stricken and neglected enclave in his archipelago to Portugal, with its 300-year history of hopeless colonisation. Soeharto had enough trouble dragging Indonesia from poverty without needing to tack on another backward province.
But in mid-1975, communist-allied military officers took control in Portugal and its colonies abroad were taken over by avowedly Marxist regimes. In Timor, a leftist group calling itself the Revolutionary Front for the Liberation of East Timor, or Fretilin, staged a coup igniting a civil war.
When Fretilin overran the colony by force, Soeharto's government became alarmed. This happened at the height of the Cold War. Saigon had fallen in April of that year. Fretilin then appealed to China and Vietnam for help. Fearing a "Cuba on his doorstep", Soeharto reluctantly decided on military intervention.
In his 33 years as president, he embarked upon no other "foreign" exploit. And he would not have bothered with Timor had Fretilin not made the going too rough. Indeed, Jose Ramos Horta told The Sydney Morning Herald in 1996 that "the immaturity, irresponsibility and bad judgement of the East Timorese provoked Indonesia into doing what it did". Xanano Gusmao also told anyone who would listen that it had been a "bad mistake" for Fretilin to present itself as a "Marxist" outfit in 1975.
But none of this stopped a phalanx of Australian journalists, mostly from the Fairfax stable and the ABC's Four Corners program, from reporting Indonesian affairs from that time such that Australians could only view the great economic transformation of Indonesia and the alleviation of its poverty and its tolerance primarily through the warped and shattered prism of Timor.
The Sydney Morning Herald even editorialised in favour of an Australian invasion of Timor, then Indonesian territory. That is, right up front about it, The Sydney Morning Herald urged the Australian Government to invade Indonesia. So rabid has Fairfax been about Indonesia and so recreant of Australia's national interest has it been.
Even as late as this week, The Herald claimed that the achievements of Soeharto's New Order government "were built on sand", nominating Indonesia reeling from crisis to crisis after 1998 when it knows that Soeharto did precisely the right thing in calling the IMF in to help and that the IMF, operating under US Treasury prescriptions, kicked the country and Soeharto to pieces.
The decline in Indonesia after 30 years of 7% compound growth under Soeharto, had little to do with Soeharto and everything to do with the Asian financial crisis and the short-sighted and ill-informed IMF.
But more than that, these journalists knew, but failed to effectively communicate, that not only did Soeharto hold his country together, he insisted that Indonesia be a secular state; that is, a Muslim country but not a fundamentalist one. In other words, not an Iran.
Wouldn't you imagine that such an issue would be matter of high and primary importance to communicate to the Australian community? That on our doorstep, there is a secular Indonesian state and not a religious one, run by sharia law. And wouldn't you, in all reasonableness, give Soeharto full marks for keeping that vast archipelago as a civil society unrepressed by fundamentalism?
Look what happened to us in Bali at the hands of a handful of Islamic fundamentalists. Imagine the turmoil for Australia if the whole 230 million people of Indonesia had a fundamentalist objection to us. But this jaded bunch of Australian journalists could only report how Soeharto was corrupt because his son Tommy might have elbowed his way into some carried equity with an American telephone company or his daughter something with a road builder. True as those generalisations might have been, in terms of the weight of Australia's interests, the deeds of Soeharto's public life massively outweigh anything in his private affairs.
I got to know Soeharto quite well. He was clever and utterly decisive and had a kind view of Australia. The peace and order of his country, its religious and ethnic tolerance and the peace and order of South-East Asia came from his goodwill towards neighbouring states and from his wisdom. He was self-effacing and shy to a fault. One had to tease him out of himself to get him going, but once he got going, his intellectualism took over. Soeharto lived in what we would call in Australia a rather old and shabby McMansion in Jakarta. He lived as simply as anyone of his high standing could live.
But Time magazine claimed that Soeharto stashed away $30 billion-odd, as if those ning-nongs would know, presumably so he could race off to live it up in Miami or in the Bahamas. Errant nonsense. Soeharto was an Indonesian who was always going to remain an Indonesian. He lived a simple life and could never have changed that.
I do not doubt that his rapacious family had the better of him and got away with lumps of capital that they had not earned. Soeharto was a disciplined leader, but not a disciplined father. But to compare him to the likes of Marcos is nothing short of dastardly.
The descriptions of Soeharto as a brutal dictator living a corrupt high life at the expense of his people and running an expansionist military regime are untrue. Even Soeharto's annexation of Timor was not expansionist. It had everything to do with national security and nothing to do with territory.
Like all leaders, Soeharto had his failings. His greatest failing was to underestimate the nature of the society he had nurtured. As his economic stewardship had led to food sufficiency, education, health and declines in infant mortality, so too those changes had given rise to a middle class as incomes rose. Soeharto should have let political representation grow as incomes grew. But he distrusted the political classes. He believed that they would not put the national interest first, had no administrative ability and were utterly indecisive, if not corrupt. He told me this on a number of occasions. He would not let the reins go. Partly because he did not want to lose them, partly because he really had no one to give them to.
Soeharto's problem was he had too little faith in his own people, the very people he cared for most.
Whatever political transition he may have wished to have had, it all blew up on him with the Asian financial crisis of 1997-98. He had no democratic transition in place and in the economic chaos, political forces wanted him to go.
In January 1998, nearly two years after I had left the prime ministership of Australia, at my own initiative and expense I flew to Jakarta to see him the day he signed the IMF agreement with IMF managing director Michel Camdessus.
The IMF had tragically overplayed its hand the previous November and Soeharto was giving it a chance to dig itself out of a hole. He had a small window of opportunity. I thought that as a former head of government who was on friendly terms with him, I at least owed him advice of a kind I knew he would never get inside Indonesia: to take the opportunity of the IMF interregnum to say that he, Soeharto, would contest the next election but would not complete the term. That he would stay long enough to see the IMF reforms into place and then hand the presidency to his vice-president.
Had he taken this advice, the process of political transformation would have been completely orderly. And a new administration could set up the organs of democracy.
I discussed this issue with Lee Kuan Yew in Singapore and then prime minister Goh Chok Tong, both of whom had Soeharto's and Indonesia's best interests at heart. Both gentlemen believed that I was in a better position to broach this subject with Soeharto than either of them. For two hours I had Soeharto in his house with his state secretary Moerdiano and his interpreter Widodo. Fifteen minutes into the conversation, when I was making the case why he should step down, he stopped Widodo's translation and took my advice in English directly. Moerdiano said to me in an aside at the door, "I think you have got him."
Soeharto followed me to the door, put his arms around my shoulders and said "God bless you" as I left. As it turned out, I didn't quite have him, and he hung on thinking he could slip through one more time.
But the crisis and the behaviour of the IMF with the American Treasury had marooned him. Completely determined to act constitutionally, he turned over his singular power, at his own initiative, to his vice-president to avoid any upheaval of the kind Indonesia had experienced during earlier transitions. The new president, Habibe, then by all due process picked up the reins of government to deal with the ongoing financial reconstruction and the long process of democratisation.
When Attorney-General Robert McClelland and I arrived in Indonesia for Soeharto's funeral last Monday, we drove the 30-odd kilometres from the airport at Solo to the mausoleum where he would be buried alongside his wife. For not one metre of those 30-odd kilometres, was there no person present. In some places they would be six and eight deep, all holding their baskets of petals to throw at his courtage. They all knew they were burying the builder of their society and all felt the moment.
How many Australian leaders would have a million or so people to grieve for them beside the roadway? Soeharto's funeral was a tribute to what his life truly meant. I felt honoured to have been there but more than that, to have known him.
Paul Keating was prime minister from December 1991 to March 1996.
http://www.theage.com.au/news/opinion/soehartos-unsung-legacy/2008/02/01/1201801032980.html?page=fullpage#contentSwap2
Monday, February 04, 2008
Membuka
Dunia itu gelap bagi mereka yang tak memegang nur Ilahi. Mereka menerjang apa saja yang berada di hadapan mereka. Menerjang segala hal yang tak jelas aturan dan hukumnya. Bagi mereka dunia adalah kehidupan; dunia bukanlah ladang akhirat untuk menabur amal.
Ketika mata mereka terbuka mengawali pagi yang berhias sorot sinar mentari, namun hati mereka terpejam ditutup oleh jelaga dosa dan salah. Mereka tak memiliki nurani untuk mengawali hidup dengan sebuah makna. Makna hidup bagi mereka adalah kehormatan materi dan pujian banyak manusia. Semua yang terserak di atas muka bumi ini ingin dilahap dan dijejalkan ke dalam perut nerakanya. Kerakusan menjadi penyakit manusia-manusia modern sekarang ini.
Tak ingatkah bahwa Allah telah menggaungkan sebuah surat pembuka. Yah, al-Fatihah, sebuah surat pembuka karena ia ibarat kunci yang bisa membuka simpul makna Qur'ani yang maha dalam. Ia juga merupakan surat pembuka bagi kehidupan yang lebih baik dan suci. Surat ini menjadi wajib bagi bacaan shalat manapun karena ia adalah kunci yang membuka dialog seorang makhluk dengan Khaliknya. Lihatlah di sana ada sebuah kalimat yang menuntun kita agar hidup selalu ada di atas jalan lurus-Nya; jalan orang-orang yang Dia cinta; bukan jalan orang-orang yang Dia benci dan Dia maki.
Al-Fatihah membuka mata batinku bahwa hakikat hidup adalah ketundukan kepada Sang Penguasa alam. Aku ingin bahwa ibadah, ilmu, jiwa, raga, dan sebagainya yang kumiliki hanya kupasrahkan kepada-Nya. Aku ingin leburkan semua penyakit yang menyumbat nurani kemanusiaanku. Syetan tak perlu disalahkan andai dia menggodaku. Aku lebih suka menyalahkan diri sendiri yang terlalu lemah berhadapan dengan sang syetan yang telah dilaknat Allah.Biarlah syetan menuduhku bahwa ibadahku hanyalah untuk mencari laba dunia. Biarlah syetan terus memakiku bahwa ibadahkan hanya dipenuhi wajah kepura-puraan sang munafik. Biarlah syetan menyebar warta bahwa ibadahku hanyalah untuk menjaring pengikut yang tersesat ke jalan sesat. Aku tak ingin mendengar 'cerocosan' syetan, karena mendengarnya berarti kita menjadi pendengar yang setia.
Tak terhitung betapa banyaknya kawanku yang setia menjadi pendengar syetan berakhir dengan keluh-kesah dan kegelisahan batin. Dia hanya ingin berjalan di atas papan rapuh keangkuhan dan egoisme. Mungkin dia tak sadar bahwa syetan beserta anak cucunya sedang bernyanyi riang ketika angkuh dan egois menjadi watak kita.
Aku ingin membuka hidup dengan al-Fatihah. Kehidupan dibuka dengan basmalah dan pujian namanya. Kemudian kehidupan dibuka dengan pengakuan bahwa kita hanya menyembah dan meminta pertolongan-Nya. Sampai akhirnya kehidupan harus diletakkan di atas jalan lurus yang bertabur rahmat. Genggam kunci kehidupan ini agar kau tak tergelincir dalam lembah kebinasaan. Masihkah kita menjadi pendengar setia syetan ataukah kita ingin menjadi pengikutnya? Ku terpekur seorang diri sambil melantunkan sebaris demi sebaris bait al-Fatihah.
Melbourne, 5 Februari 2008
Friday, February 01, 2008
One Moment in Time
Yang bisa kita lakukan adalah gunakan waktu sebagai hadiah yang tak terkira harganya yang Tuhan telah berikan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Jangan biarkan kita dipenjara oleh penyesalan diri karena membiarkan sang waktu melesat meninggalkan kita dalam kubangan keterbangkrutan. Ukir setiap detik kita dengan cinta.
One Moment In Time Lyrics
Artist(Band):Whitney Houston
Print the Lyrics |
I want to be a day to give the best of me
I'm only one, but not alone
My finest day is yet unknown
I broke my heart for every gain
To taste the sweet, I faced the pain
I rise and fall,
Yet through it all this much remains
I want one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams
Are a heart beat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will feel, I will feel eternity
I've lived to be the very best
I want it all, no time for less
I've laid the plans
Now lay the chance here in my hands
Give me one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams
Are a heart beat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will feel, I will feel eternity
You're a winner for a lifetime
If you seize that one moment in time
Make it shine
Give me one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams
Are a heart beat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will be, I will be, I will be free, I will be,
I will be free
Melbourne, 1 Februari 2008