Ahad kemarin adalah Ahad terakhir (10 Februari 2008) di Melbourne sebelum aku terbang balik ke Jakarta pada Jum'at 15 februari 2008. Prograpm post-doktoralku di Monash University sudah selesai. Seperti biasanya aku datang ke masjid Westall pada jam 3.30 pagi untuk melanggengkan tradisi bagus shalat Lail dan Shubuh bersama dan diskusi Islam yang sudah lama berlangsung semenjak tahun 2004. Aku tak menyangka jamaah pagi itu begitu banyak, aku hitung sekitar 40 orang hadir di pagi dingin itu. Subhanallah, Maha Suci Allah. Aku terharu dan sedih melihat semakin bertambahnya jamaah Shubuh pagi di hari Ahad itu. Wajah-wajah baru bermunculan. Alhamdulillah ada tetes harapan yang masih mengalir bahwa pengajian Shubuh pagi tetap akan berlanjut. Aku lihat ada kawan-kawan baruku yang alumni IAIN, semisal Mas Yahya yang IAIN Surabaya, Mas Burhan yang IAIN Malang, Mas Arief yang IAIN Malang, dan Bang Zul yang IAIN Aceh. Alhamdulillah mereka berempat bersedia untuk meramaiakn masjid Westall dan pengajian Shubuhnya. Wajah-wajah baru yang lainpun aku lihat dan kusampaikan ungkapan selamat datang.
Jarum jam menunjuk angka empat pagi. Aku minta Mas Yahya untuk memimpin shalat Tahajjud dan Witir. Suana syahdu dan hening sebening hati manusia yang ikut bertakbir di pagi itu terasa membuncah. Aku sempat merasakan selimut spiritual membuat pagi yang dingin menjadi begitu hangat. Aku reguk nikmat pagi dengan cawan-cawan surgawi dalam lantunan ayat-ayat merdu yang dilantunkan oleh Mas Yahya. Selepas shalat, kami berdo'a bersama dengan khusyuk dan syahdu. Memohon agar Sang Kuasa membuat jalan hidup kami semakin mudah dan semoga Sang Kasih selalu menghujani kasih-Nya kepada kami. Sebenarnya pelupuk mataku sudah basah mengenang betapa kotornya jiwaku di hadapan Sang Suci. Aku tengadahkan kedua tangan mengemis di hadapan Rabbku. Pagi itu memang syahdu dan nikmat.
Jarum jam menunjuk angka 5 pagi. Aku minta Pak Johana, si pemilik cafe "Constantinopel" di Jalan Brunswijk, untuk melantunkan azan Shubuh. Suaranya merdu nian. Terasa getar semangatnya untuk memanggil shalat orang yang lalai. Meski kami sudah terjaga, Pak Johana menyerukan, "Ash shalaaatu khairum minan nawm..." Shalat lebih baik daripada tidur. Aku terjemahkan dalam diriku bahwa shalat lebih baik daripada tidurnya hati. Shalatlah yang membuat tubuh dan hati terjaga. Betul-betul suasana mirip di Indonesia, bahkan jauh lebih khusyuk ketika shalat di tanah rantau di sebuah sudut di bumi kanguru.
Selepas shalat Shubuh, seperti biasa aku ungkapkan terima kasih kepada semua yang hadir dan kepada semua yang rela menyumbangkan makanan kecil dan sarapan pagi. Sungguh nikmat bertemu dengan banyak orang yang bersemangat meluangkan waktunya untuk sekedar membuat hidangan bagi orang lain. Jiwa sedekah mereka luar biasa! Aku dikasih tahu ibu kostku, Bu Tri, bahwa pagi hari ini hidangan di Westall bakalan istimewa karena aku mau pulang ke Indonesia. Aku lebih terharu lagi atas penghormatan ini. Demi Allah aku tak berharap apa-apa dengan semua ini. Namun penghormatan jamaah Shubuh begitu menyentuh ceruk kalbuku yang paling dalam.
Bahasan pagi itu aku cuplik dari kitab Syaikh Abu Layts yang berjudul "Tanbih al-Ghafiliin" alias peringatan bagi yang lalai. Kebetulan paragraf yang aku buka adalah tentang ungkapan yang diucapkan oleh bumi untuk mengingat manusia yang hidup di atasnya. Diantara kata bumi yang diungkap adalah, "Wahai manusia, saat ini engkau bisa tertawa, namun di saat lain engkau akan menangis di dalam perutku..." Sungguh bijak sang Syaikh dalam mengingatkan kehidupan kita yang begitu cepat akan berakhir dalam sebuah lubang yang bernama kuburan. Sering kali aku berfikir bahwa hidup ini begitu singkat dan terlalu cepat untuk dinikmati. Tanpa sadar kita adalah pejalan kaki menuju alam kubur yang entah berada dimana. Suasana pengajian sangat hangat dan interaktif meski diselingi humor segar agar kantuk bisa ditepis.
Surprise!!! Selepas pengajian kitab, beberapa orang jamaah yang notabene perempuan berinisiatif memberikan aku sebuah kenang-kenangan. Aku diminta menerima kado tersebut. Bertambah haru dan pilu lah perasaan ini. Yah, kenang-kenangan adalah sesuatu yang selalu membuat pilu dada ini. Betapa tidak? Ketika aku tak lagi berpijak di masjid ini, maka ketika benda itu aku pegang, maka yakinlah alam khayalku akan membawaku kepada saat-saat manis berjamaah di masjid dan kemanisan hubungan pertemanan di Melbourne. Bu Nunung, mewakili jamaah maju ke depan dan memberikan sebuah tas bertuliskan angka 3. Aku diminta membuka bungkusan dalam tas itu. Kudapati sebuah telepon genggam diberikan untukku sebagai kenang-kenangan dan sebuah kartu ucapan selamat jalan yang ditoreh oleh banyak kawan. Subhanallaah dan alhamdulillaah atas karuniamu dipertemukan dengan begitu banyak orang baik dalam hidupku. Ya Allah, kalaulah bukan karena Engkau, tak mungkin aku menikmati rahmat-Mu ini. Aku tak bisa menolak meskipun aku tak pernah meminta dan membayangkan hadiah ini.
Aku hanya bisa menyatakan terima kasihku kepada mereka. Aku sampaikan, "Ibu-ibu dan bapak-bapak, terima kasih tak terhingga atas kenang-kenangan ini. Saya menerjemahkan kenangan-kenangan ini sebagai simbol bahwa saya tak boleh memutuskan silaturahim dengan jamaah di sini. Saya akan ingat terus persahabatan kita. Saya akan pastikan bahwa kenangan ini tak akan pupus di telan usia. Akan saya bawa terus kenangan indah ini." Aku tak bisa berkata-kata lagi karena rasa haru yang sebenarnya bergemuruh dalam dadaku. Aku hanya mampu berbisik dalam diriku, "Ya Allah terima kasih ya Allah atas karunia-Mu. Aku tak menyangka..."
Melbourne, 13 Februari 2008
Melbourne,
Jarum jam menunjuk angka empat pagi. Aku minta Mas Yahya untuk memimpin shalat Tahajjud dan Witir. Suana syahdu dan hening sebening hati manusia yang ikut bertakbir di pagi itu terasa membuncah. Aku sempat merasakan selimut spiritual membuat pagi yang dingin menjadi begitu hangat. Aku reguk nikmat pagi dengan cawan-cawan surgawi dalam lantunan ayat-ayat merdu yang dilantunkan oleh Mas Yahya. Selepas shalat, kami berdo'a bersama dengan khusyuk dan syahdu. Memohon agar Sang Kuasa membuat jalan hidup kami semakin mudah dan semoga Sang Kasih selalu menghujani kasih-Nya kepada kami. Sebenarnya pelupuk mataku sudah basah mengenang betapa kotornya jiwaku di hadapan Sang Suci. Aku tengadahkan kedua tangan mengemis di hadapan Rabbku. Pagi itu memang syahdu dan nikmat.
Jarum jam menunjuk angka 5 pagi. Aku minta Pak Johana, si pemilik cafe "Constantinopel" di Jalan Brunswijk, untuk melantunkan azan Shubuh. Suaranya merdu nian. Terasa getar semangatnya untuk memanggil shalat orang yang lalai. Meski kami sudah terjaga, Pak Johana menyerukan, "Ash shalaaatu khairum minan nawm..." Shalat lebih baik daripada tidur. Aku terjemahkan dalam diriku bahwa shalat lebih baik daripada tidurnya hati. Shalatlah yang membuat tubuh dan hati terjaga. Betul-betul suasana mirip di Indonesia, bahkan jauh lebih khusyuk ketika shalat di tanah rantau di sebuah sudut di bumi kanguru.
Selepas shalat Shubuh, seperti biasa aku ungkapkan terima kasih kepada semua yang hadir dan kepada semua yang rela menyumbangkan makanan kecil dan sarapan pagi. Sungguh nikmat bertemu dengan banyak orang yang bersemangat meluangkan waktunya untuk sekedar membuat hidangan bagi orang lain. Jiwa sedekah mereka luar biasa! Aku dikasih tahu ibu kostku, Bu Tri, bahwa pagi hari ini hidangan di Westall bakalan istimewa karena aku mau pulang ke Indonesia. Aku lebih terharu lagi atas penghormatan ini. Demi Allah aku tak berharap apa-apa dengan semua ini. Namun penghormatan jamaah Shubuh begitu menyentuh ceruk kalbuku yang paling dalam.
Bahasan pagi itu aku cuplik dari kitab Syaikh Abu Layts yang berjudul "Tanbih al-Ghafiliin" alias peringatan bagi yang lalai. Kebetulan paragraf yang aku buka adalah tentang ungkapan yang diucapkan oleh bumi untuk mengingat manusia yang hidup di atasnya. Diantara kata bumi yang diungkap adalah, "Wahai manusia, saat ini engkau bisa tertawa, namun di saat lain engkau akan menangis di dalam perutku..." Sungguh bijak sang Syaikh dalam mengingatkan kehidupan kita yang begitu cepat akan berakhir dalam sebuah lubang yang bernama kuburan. Sering kali aku berfikir bahwa hidup ini begitu singkat dan terlalu cepat untuk dinikmati. Tanpa sadar kita adalah pejalan kaki menuju alam kubur yang entah berada dimana. Suasana pengajian sangat hangat dan interaktif meski diselingi humor segar agar kantuk bisa ditepis.
Surprise!!! Selepas pengajian kitab, beberapa orang jamaah yang notabene perempuan berinisiatif memberikan aku sebuah kenang-kenangan. Aku diminta menerima kado tersebut. Bertambah haru dan pilu lah perasaan ini. Yah, kenang-kenangan adalah sesuatu yang selalu membuat pilu dada ini. Betapa tidak? Ketika aku tak lagi berpijak di masjid ini, maka ketika benda itu aku pegang, maka yakinlah alam khayalku akan membawaku kepada saat-saat manis berjamaah di masjid dan kemanisan hubungan pertemanan di Melbourne. Bu Nunung, mewakili jamaah maju ke depan dan memberikan sebuah tas bertuliskan angka 3. Aku diminta membuka bungkusan dalam tas itu. Kudapati sebuah telepon genggam diberikan untukku sebagai kenang-kenangan dan sebuah kartu ucapan selamat jalan yang ditoreh oleh banyak kawan. Subhanallaah dan alhamdulillaah atas karuniamu dipertemukan dengan begitu banyak orang baik dalam hidupku. Ya Allah, kalaulah bukan karena Engkau, tak mungkin aku menikmati rahmat-Mu ini. Aku tak bisa menolak meskipun aku tak pernah meminta dan membayangkan hadiah ini.
Aku hanya bisa menyatakan terima kasihku kepada mereka. Aku sampaikan, "Ibu-ibu dan bapak-bapak, terima kasih tak terhingga atas kenang-kenangan ini. Saya menerjemahkan kenangan-kenangan ini sebagai simbol bahwa saya tak boleh memutuskan silaturahim dengan jamaah di sini. Saya akan ingat terus persahabatan kita. Saya akan pastikan bahwa kenangan ini tak akan pupus di telan usia. Akan saya bawa terus kenangan indah ini." Aku tak bisa berkata-kata lagi karena rasa haru yang sebenarnya bergemuruh dalam dadaku. Aku hanya mampu berbisik dalam diriku, "Ya Allah terima kasih ya Allah atas karunia-Mu. Aku tak menyangka..."
Melbourne, 13 Februari 2008
Melbourne,
No comments:
Post a Comment