Thursday, February 07, 2008

Menyatu

Umat Islam itu bagai satu bangunan yang dibangun dengan menggunakan batu bata yang sangat kokoh. tak ada satu penggal batu bata atau serpihan pasir yang merasa lebih penting dari yang lainnya. Semuanya menyatu saling memperkuat dan saling mengisi karena kesadaran yang kuat bahwa Islam tidak akan kokoh ditegakkan tanpa jamaah. Sebagian umat Islam yang menghadapi tantangan perpecahan, kemudian memimpikan masa lalu sebagai prototipe masyarakat ideal. Mereka merasa bahwa masa lalu adalah masa yang dijumbuhi oleh harmonisasi umat karena model kepemimpinan Nabi Muhammad. Rindu masa lalu kemudian memunculkan gerakan romantisisme yang ingin melakukan semacam copy-paste zaman nabi dengan template zaman sekarang. Romantisisme semacam ini kemudian menafikan adanya kenyataan lokal dan kondisi global yang semakin kompleks dan heterogen.

Alih-alih ingin membawa semangat dan idealisme yang bisa diharapkan sebagai rahmat, justru yang ada adalah kita menciptakan bumerang kehidupan. Kita berputar tanpa tahu pasti dimana tujuan kita. Kita terjebak oleh simbolisasi kultural tempatan yang membuahkan mitologisasi simbol. Alih-alih islamisasi, yang ada adalah arabisasi. Semua yang memiliki ekspresi simbol Timur-Tengah diklaim sebagai islami. Kita harus sadar bahwa Islam dan Arab adalah dua hal yang berbeda. Kalau toh Islam dipengaruhi tradisi Arab memang harus kita akui. Hal ini dikarenakan Islam lahir di tanah Arab. Namun proses pendewasaan dan ekspresi keislaman berwatak lokal. Islam adalah jiwa, sedangkan ekspresi keislaman adalah lokal. Islam lebih tinggi dari peradaban manapun, demikian kata nabi, al-islaam ya'luu wa laa yu'laa 'alayh. Maknanya, kita harus menelaah jiwa dan semangat Islam itu agar tak terjebak oleh simbolisasi semu yang mengancam kemesraan umat.

Tentang jebakan simbol ini, saya punya cerita. Suatu hari, saya sengaja memakai blankon (tutup kepala khas budaya Jawa) ke masjid. Di sana, seperti biasa, saya harus menjadi imam salah satu shalat fardlu. Dengan penuh percaya diri saya imami jamaah saya. Sehabis salam, salah seorang jamaah saya protes bahwa shalat dia merasa terganggu karena tutup kepala yang saya pakai. "Pak, saya merasa tidak enak kalau bapak mengimami saya dengan memakai blankon. Lebih baik bapak memakai peci atau topi haji Pak," kata jamaah saya saat itu. Kebetulan jamaah saya mengenakan tutup kepala warna putih dan memakai gamis. Terus saya jawab, "Kenapa Anda lebih suka saya pakai peci daripada pakai blankon ketika jadi imam shalat? Apakah Anda tidak tahu bahwa peci pun bukan penutup kepala yang dipakai Rasul?". Kemudian saya jelaskan bahwa simbolisasi adalah sesuatu yang bisa berubah sesuai ekspresi tempatan. Saya hanya ingin memperlihatkan bahwa penutup kepala pun bisa bermacam ragam tanpa harus terjebak pada standar sosial dan kultural yang arbiter. Blankon dan peci adalah sama-sama penutup kepala dan tempatnya di kepala bukan di kaki. Dia bisa dipakai kapanpun suka.

Jebakan simbolisasi menjadikan sebagian dari kita sangat eksklusif dan cenderung menyisihkan golongan lain yang tak memakai simbol yang sama. Mistifikasi simbol dipandang lebih penting dibanding menemukan jiwa dan nilai Islam itu sendiri. Simbol kemudian menjadi kemudi bagi proses 'kaplingisasi' kelompok-kelompok Islam. Seseorang akan sangat Islami ketika menempelkan stiker "Islam is my way of life" di kaca depan mobilnya. Namun dia tak menyadari ketika dia lebih suka menerabas perempatan lampu merah dan membuang puntung rokok sembarangan. Seseorang akan merasa sangat Islami ketika memakai jubah sunnah kemanapun dia pergi, namun tak sadar ketika dia meludah sembarangan dan berjalan congkak di atas bumi Allah. Seseorang dengan jilbab lebar mungkin akan merasa sangat islami, namun tak pernah menyadari ketika dia lebih suka bergunjing dan menebar fitnah. Islam tidak akan pernah terjerat oleh mistifikasi simbol. Islam akan selamanya tinggi dan membubung ke langit tujuh sebagai titian menuju surga na'im. Saya tak menolak simbol, karena simbol itu penting sebagai media kontestasi identitas dan kreativitas kultural. Namun, saya lebih mendukung andai simbol pun dijiwai oleh jiwa dan nilai Islam yang membumi.

Kotak-kotak simbol yang menambah nuansa keragaman umat adalah keindahan yang membuat umat semakin menarik. Mozaik simbol ibarat noktah-noktah pelangi di lembar kanvas kehidupan yang menambah nafas hidup lebih segar dan kreatif. Namun ketika warna simbol tertentu mencoba mendominasi warna lainnya, maka potret kehidupan umat Islam semakin buram dan lusuh. Umat tergiring dalam perang tanpa agenda. Umat tergiring untuk menciptakan musuh-musuh dalam tubuhnya sendiri. Saya mengibaratkan fenomena ini sebagai 'bunuh diri' umat. Mengapa umat tak bergeser untuk lebih berjuang untuk merekatkan tali silaturahim yang sudah semakin lebar terkoyak? Mengapa umat tak tertarik untuk lebih berjuang melawan penindasan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebangkrutan kolektif? Kita lebih suka berdebat untuk memperebutkan pepesan kosong. Ingatlah dalam hal ini Allah berfirman, “Jika tuhan-mu menghendaki niscaya Dia akan menjadikan manusia itu umat yang satu tetapi mereka itu sentiasa berselisih” (Hud : 118). Berselisih membuat kita terpuruk. Perpecahan adalah gerbang kehancuran dan azab bagi umat Islam, demikian Al-Tahawi menyatakan. Kita jadi curiga, apakah saat ini adalah hari dimana manusia semakin merasa bahwa Islam adalah bara yang tergenggam di tangan kita?. Panas dan tak satupun yang mampu menjamah jiwa dan nilainya.

Biarlah simbol-simbol kehidupan semakin semarak asalkan hati kita sama-samat terpaut oleh tali agama Allah yang kuat. Selama seseorang beriman, bersyahadat, dan melakukan rukun-rukun teologis secara baik, maka dia adalah saudara kita bagian dari tubuh umat yang satu. Seorang kawan menasihati saya, "Pak, terlalu banyak sahabat-sahabat kita menjadikan dirinya lebih besar dari Allah SWT. Bahkan terlalu banyak yang bisa menciptakan keputusan kapan seseorang harus mati dan dimana tempat terbaiknya besok di akhirat." Saya semakin takut andai saya pun justru terjebak dalam perang tak berujung. Saya menjadi kawatir kalau justru hawa nafsu saya membisikkan bahwa saya bisa menjadi Tuhan. A'udzu billah min dzalik!.

Saya kemudian berfikir apakah layak sesama Muslim bermusuh-musuhan? Bukankah watak permusuhan adalah watak yang dianut umat jahiliyah sebelum Sang Rasul memperkenalkan Islam yang menebar pesona kebersamaan? Saya merenungi kata-kata Allah yang berbunyi: “ Bersatulah kamu semua dalam simpul tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah yang dicurahkan kepadamu ketika kamu bermusuh-musuhan di masa jahiliyah dulu, kemudian Allah menyatukan hati kamu, maka karena nikmat Allah lah kalian menjadi saudara." (Ali-Imran : 102-3). Dus, andai terus saja kita menebar perpecahan dalam tubuh ini, maka hal ini bermakna bahwa kita belum mampu beranjak dari era jahiliyah. Semoga hati kita semakin luas untuk menerima perbedaan dan semoga Islam menjadi jiwa dan nilai kebersamaan.

Melbourne, 8 Februari 2008

No comments: