Friday, February 22, 2008

Balik kampung













Jum'at, 15 Februari lalu, aku harus meninggalkan kota Melbourne yang sudah kuanggap sebagai kampung halamanku kedua. Aku pulang ke tanah airku Indonesia menunggang maskapai penerbangan nasional Garuda GA 719 dari lapangan terbangan internasional Tullamarine Melbourne. Tepat jam 10.55am, pesawat mulai terbang mengangkasa menembus pekatnya gumpal awan putih yang menggantung bagai hamparan kapas bersih yang lagi dijemur di bawah terik matahari.

Malam Jum'at sebelum keberangkatanku, banyak kawan-kawan yang datang ke rumah kostku. Ada Bu Nunung, Pak Wiwi, Teh Euis, Nurul, Mutamimah, Pak Siyam, Mas Arif Majid, dan kemudian Pak Prof Greg Barton. Tentu saja Bapak dan ibu kostku juga ada, yakni Pak Marjuki dan Bu Tri. Mutamimah dan Nurul mampir malam itu sambil membawakan gorengan pisang yang yummy. Bu Tri membuatkan teh panas yang asli Yogyakarta. Kami ngobrol hingga tak terasa jarum jam menunjuk angka 11.30 malam. Obrolan semakin gayeng ketika Pak Barton mengulas tentang Gus Dur dan watak NU di Indonesia. Menurutnya Islam di Indonesia bermain sangat cantik dan indah. Bahkan dia melihat Indonesia bisa menjadi negara hebat dimana Islam bisa menjadi kekuatan yang membumi. Dia menyatakan bahwa demokratisiasi di Indonesia sudah berjalan dengan sangat bagus. Indonesia bisa menjadi contoh negara Islam yang hebat. Kesan dia tentang Gus Dur pun dia ulas dengan baik. Menurutnya, "Gus Dur itu orang yang 'nyentrik'." Hebat juga nih Pak Prof menggunakan istilah nyentrik. Pak Prof Barton berharap aku bisa balik lagi ke Melbourne dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan bidang riset dan akademik. Ah, jalan makin panjang rasanya. Obrolan pun berakhir. Semua tamu mohon pamit seiring dengan hawa Melbourne yang semakin dingin di malam itu.

Wuah, aku baru inget bahwa ada banyak item yang belum aku 'packing' di kamar. Ada beberapa titipan yang harus dibawa serta. Walhasil, semalaman aku harus menata barang bawaanku dan memastikan agar tidak 'overwight' di Tullamarine. Untunglah ada Teh Euis yang mau membantu kalau misal kelebihan barang (excess bagage). Gludak-gluduk sendirian aku mengepak barangku. Biasanya sih kalau mau bepergian, istriku ikut sibuk menata barang-barang mana yang harus dimasukkan ke koper atau tidak. Uh, tidak adil rasanya kalau ingat istri hanya ketika repot begini. Jam 4am, 'packing' telah selesai dan berat bawaan tak melebihi 30 kg. Alhamdulillaah... Tak terasa mataku berat untuk bisa terjaga. Kupikir satu jam tidur cukuplah untuk persiapan besok pagi ke Tullamarine. Rencananya aku akan berangkat dari rumah jam 7.30am. Perjalanan biasanya macet sehingga harus pagi-pagi benar. Perjalanan dari Clayton menuju Tullamarine biasanya sekitar 40 menitan.

Pagi pun menjelang. Jam 5am aku terbangun. Mandi dan shalat Shubuh serta shalat sunnah Safar aku lakukan. Ada keengganan untuk melakukan perjalanan pulang. Kalau tak ingat vusa hampir kadaluwarsa, pengin rasanya menunda barang semalam. Tentang siapa yang akan mengantarku ke Tullamarine, ternyata banyak yang mau ngantar. Jam 6.20 pagi hari datanglah rombongan yang mengantarku. Diantara mereka adalah Pak Siyam dan Bu Hanny, Pak Pur, Pak Jhon (Haji Junaidi), Mas Imam, Mas Waskitho, dan Pak Marjuki. O lala... ternyata orang baik ada dimana-mana. Tuhan, terima kasih atas rahmat-Mu ini. Mei dan Pak Dede menyusul belakangan karena harus mengantar anak ke sekolahan dulu. Beberapa kawan yang lain meneleponku tidak bisa mengantar karena harus kerja. Kebetulan jadwal penerbanganku adalah hari Jum'at. Biasanya sih aku pulang ke Indonesia pas 'weekend', namun karena aku tak ingin kehilangan moment penting pengajian Ahad, aku harus milih hari Jum'at.

Sesampai di Tullamarine aku bertemu dengan Mas Wawan yang saat itu juga mau pulang. Oh iya Mas Wawan bilang kalau dia harus pulang karena istrinya baru saja melahirkan anak pertamanya. Dia senang banget karena menerima anugerah dari Allah berupa bayi laki-laki yang insya Allah akan diberi nama "Thariq". Konon nama ini diilhami ketika dia dan istri berjalan-jalan ke Spanyol dan melewati semenanjung perbukitan karang di selat Gibraltar. Situs bersejarah yang menyimpan heroisme Thariq bin Ziyad yang berhasil menaklukan Andalusia atau Spanyol pada tahun 97 H (Juli 711 M). Senang juga punya teman ngobrol yang satu tujuan, Jakarta.

Sebelum pulang, kami, termasuk Mas Wawan, Mei dan Pak Dede, minum kopi di sebuah kafe di Tullamarine. Akun pesan kope Latte. Pak Jhon dengan gembira mau menraktir kopi untuk beberapa orang. Sambil menunggu kopi siap, kami mencari tempat duduk yang enak. Kami ngobrol macam-macam, dari mulai pekerjaan, isu perempuan, poligami, humor Maduraan, hingga rencana kehidupan masing-masing. Obrolan mengalir bak air sungai yang memantulkan kerling mentari pagi. Bulir keemasan serasa memancar dari wajah orang-orang baik yang aku temui ini. Tuhan, Engkaulah penguasa waktu. Tak terasa jam menunjukkan angka 10am. Saatnyalah aku harus pamit dengan kawan-kawan pengantarku ini. Aku peluk satu persatu (tentunya yang cowok saja). Sedih, sudah pasti menyelip dalam ruang kalbuku yang paling dalam. Namun, ada cercah indah yang menggurat bahwa suatu saat aku akan berjumpa dengan mereka lagi. Ntah, kapan dan di mana. Yang jelas aku hanya pasrahkan kepada Sang Penguasa atas segala kuasa.


Ciputat, 26 Februari 2008










No comments: