Pagi ini Cak Imam aku sms, "Cak, kapan mangkat nyang kampus? aku melu." Sejurus kemudian HP-ku bergetar penanda sebuah pesan baru telah nangkring dalam ponselku. Oh ternyata sebuah sms dari Cak Imam yang mengabari, "Lagi bikin teks buat besok Pak, ntar saya kabari ya!". Satu jam, dua jam, dan hampir tiga jam tak ada berita. Akhirnya ponselku bergetar lagi. Kali ini getarnya semakin panjang. Getar panjang berarti ada seseorang yang sedang memanggilku. Oh, ternyata Cak Imam yang mengabarkan kalau dia akan mandi dulu sebelum bisa berangkat ke kampus bersama-sama. Cak Imam bilang kalau dia baru saja selesai menulis naskah khutbah untuk shalat Jum'at besok. Dia meminta aku untuk membacanya dan berdiskusi tentang isi yang ingin dia sampaikan besok. Aku bilang, "Luar biasa Cak. Jadi khathib di masjid Indonesia!". Yang dipuji cuma ngakak tak jelas apa maksudnya. "OK, kalau begitu kita langsung ke kantor saja yah. Aku mau baca bagaimana isi khutbahnya."
Jam 11.30 pagi, Cak Imam sampai ke rumah kostku. Suasana pagi itu masih dihiasi siraman air hujan dan awan kelam yang menyelimuti Melbourne. Suasana musim panas yang aneh yang menyalahi kebiasaan summer. Summer biasanya dihiasi terik matahari dan dengungan lalat yang selalu berusaha nampak akrab dengan manusia. Aku pernah berseloroh bahwa lalat di Australia memiliki watak dan karakter yang berbeda dengan lalat di Indonesia. Kalau lalat Australia seringkali nekat untuk memasuki area privat semisal lubang hidung, lubang telinga, dan mulut yang terbuka. Setiap kali kita mengusirnya, mereka langsung terbang menjauh. dan begitu tangan kita kembali pada posisi normal, maka lalat pun kembali usil menerjang wajah kita dengan penuh keriangan tanpa perasaan bersalah sekalipun. Kalau lalat Indonesia, menurut perasaanku, masih menampakkan adat ketimuran dan unggah-ungguh hewan di tanah timur. Mereka tak pernah nakal masuk ke telinga, hidung, atau mulut (kecuali mungkin di Bantar Gebang. Itupun karena kita memasuki kerajaan lalat). Lalat Indonesia lebih sopan karena sekali diusir akan tahu diri dan menjauh. Tak kembali untuk menyapa muka kita.
Namun, aku merasakan hikmah yang luar biasa ketika lalat begitu senang merubungiku. Bukan aku merasa bak superstar atau selebritis yang dirubung wartawan infotainment. Tapi aku lebih bisa merenung bahwa lalat yang merubungku seolah berbicara kepadaku dengan mengatakan, "Manusia, aku sengaja menyapamu agar kau ingat bahwa sesungguhnya tubuhmu adalah calon bangkai yang busuk. Aku mengingatkanmu bahwa sesungguhnya secantik dan segagah apapun kau, kau adalah wadah najis yang berjalan. Tak perlulah kau tampakkan kecongkakan di muka bumi ini." Darahku tersirap demi menghayal tranlasi bahasa lalat yang berdengung semakin mendekat. Alangkah bijaknya Allah menciptakan makhluk-Nya. semua penuh hikmah dan semua penuh makna.
****
Kami menyusuri jalan North Rd yang basah diguyur hujan. Lalu lintas pagi itu agak ramai dengan berbagai macam kendaraan. Keramaian di sini jangan dibandingkan dengan kesemrawutan lalu lintas di Jakarta. Semua patuh terhadap rambu dan patuh terhadap aturan. Hukum bagai palu godam yang siap memukul dan menghajar siapa saja yang melanggar. Cak Imam bercerita kalau kemarin dia mendapatkan 'surat cinta' dari Council gara-gara dia lupa menggeser mobilnya dari area parkir yang hanya dibatasi waktu dua jam parkir. Cak Imam terlambat memindah mobil sekitar satu jam. Tak ayal, maka surat cinta yang berisi denda sekitar $50 tertempel di kaca depan mobil merahnya itu. Ah, coba deh Cak andai duit itu bisa digunakan untuk ikut trip ke danau Eildon kemarin, pasti tak harus disumbangkan ke City Council. Kayaknya lebih marak deh andai ikutan. Itu respon nakalku. Tapi aku tahu Cak Imam sedang menunggu sang jabang bayi sebentar lagi yang akan due di bulan Maret, sehingga dia memutuskan untuk tak ikut. Takut kalau sang istri harus menderita mual dan pusing selama perjalanan yang menempuh jarak 150km ke arah Barat Laut dari kota Melbourne. Sepanjang perjalananku dengan Cak Imam, kami banyak bercerita tentang Pak Harto yang terlalu banyak dihujat oleh orang banyak. Tak sedikit pula orang yang mencintainya. Begitulah kehidupan yang selalu menampilkan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Ada cinta dan benci, ada bahagia dan susah, ada suka dan duka, ada senyum dan tangis, dan sebagainya. Fenomena hidup yang harus kita hadapi. Kami sepakat agar Pak Harto ditempatkan di tempat yang sebaik-baiknya di sisi Ilahi Rabb.
Sesampai di kampus, Cak Imam langsung menemukan titik parkir yang bagus. Tak lupa diliriknya papan aturan waktu parkir. Di sana terpampang simbol "2P" yang artinya dua jam parkir. Nah, harus diingat kalau dua jam lagi harus memindah mobil dari area itu. Saat itu jam menunjukkan pukul 12.00. Cak Imam harus menggeser mobil pada pukul 14.00. Kami berjalan menuju kantorku yang berada di gedung H lantai lima kampus Caulfield. Kupersilahkan Cak Imam menggunakan komputer yang terletak dalam kantorku itu. Komputer di on-kan, kemudian tongkat memori dipasang untuk merambah file yang akan dilihat. Tak lama kemudian, di layar monitor terpampang naskah khutbah yang bercerita tentang syahadat yang ditulis oleh Cak Imam. Wuah, Cak Imam mau jadi khathib rupanya. Ini kali adalah kali pertama Cak Imam mau manggung di masjid Westall. Tema syahadat menjadi relevan sebagai tema yang ingin disampaikannya. Baginya syahadat bukan saja pengakuan verbal, namun lebih dari itu adalah perilaku dan watak keseharian kita yang mencerminkan ketundukkan dan kepatuhan kita kepada Allah. dia meminta saranku tentang isi khutbahnya itu. Aku jawab, "Cak, naskahnya sudah bagus. Bagus sekali untuk disampaikan besok. Cuma perlu diberi tambahan tentang dua pilar deklarasi syahadat itu. Yakni syahadat tauhid sebagai nilai yang harus tertanam dan menghujam dalam sanubari kita. Tauhid menjadi "the driving force" yang mengatur semua motif kehidupan. Sedangkan syahadat Rasul adalah refleksi dari ketauhidan kita. Ia diejawantahkan melalui perilaku yang meniru jiwa dan nilai yang terkandung dalam sunnah Rasul-Nya, Muhammad sang mushthofa."
Ketika aku menengok kotak emailku, sebuah email pemberitahuan tentang khutbah telah tersebar di milis MIIS (Monash Indonesian Islamic Society) yang mengabarkan:
Wassalamu'alaikum,
Urai Salam
Selamat Cak, sekali manggung Sampean langsung menjadi ustadz. Jangan surut untuk berdakwah. Senyum bahagia menghias sore yang berhias mendung pekat ini. Aku yakin bahwa Islam tak akan mati manakala kita memiliki gairah menyampaikan Islam dengan keindahan. Islam ibarat oase di tengah gurun yang sesiapapun boleh menikmati segarnya air Ilahi untuk menghilangkan segala dahaga jiwa.
Melbourne, 31 Januari, 2008.