Aku kenal Jazz Cooper semenjak pertengahan tahun 2005. Saat itu selepas shalat Isya di Westall di pertengahan musim semi, aku tak sengaja bertemu seorang laki-laki bule dengan seorang anak laki-laki kecil yang saat itu berada dalam gendongannya dan perempuan Indonesia berkerudung. Aku menebak bahwa perempuan berkerudung itu adalah istrinya, dan anak yang digendongnya adalah anak mereka. Saat aku melihat mereka, mereka hanya berdiri mematung saja di halaman luar masjid. Memang masjid Westall tidak akan nampak seperti masjid karena eksterior bangunannya bila dilihat dari luar lebih menyerupai rumah biasa. Jangan bayangkan sebuah masjid dengan menara tinggi dan kubah nan megah sebagaimana biasa kita lihat di tanah air. Melihat mereka berdiri mematung semacam itu, aku sapa mereka. "Ada yang bisa saya bantu?" Si perempuan itu menjawab, "Saya dengar bahwa di sini sering diadakan pengajian yah Pak?" "Betul Bu," jawabku sambil menatap sang bule yang sedang menggendong anak lelakinya yang aku taksir baru berusia 2 tahun.
Aku jabat tangan si bule itu, "Welcome brother, yes we have a regular Islamic course here every Friday night, just feel free to come." Aku bertanya siapa nama si bule itu. Dia memperkenalkan namanya sebagai Jazz Cooper, istrinya bernama Eti, dan anak laki-lakinya bernama Tasharif. Mereka senang ketika aku undang mereka untuk datang saja tanpa ragu. Masjid itu rumah terbuka bagi siapa saja yang ingin mendatanginya. Kebetulan pengajian Jum'at malam memang selalu ramai didatangi oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di sekitar Melbourne. Sejak saat itu Jazz selalu datang ditemani istri dan anaknya. Dia awali belajar membaca al-Qur'an dengan buku Iqra'. Aku masih ingat kali pertama dia mengeja huruf-huruf hijaiyah yang terpisah. Aku masih ingat ketika aku jelaskan sistem fonetik huruf-huruf hijaiyah. Dia nampak antusias dan bersemangat. Setiap kali aku menyuruhnya membaca satu lembar Iqra, tak pernah sekalipun dia patah arang saat melakukan kesalahan baca. Bahkan hanya dalam waktu empat bulan saja dia sudah bisa membaca seluruh huruf hijaiyah dan khatam buku Iqra! Dalam waktu delapan bulan, Jazz sudah sedemikian mahir membaca al-Qur'an dengan melodi OZ-style-nya yang khas dan unik.
****
Dalam benakku, "Hebat juga bule yang satu ini dalam usahanya mengarungi lorong agama." Kehausan dan semangatnya untuk belajar Islam sangat memikat. Jazz orang yang sederhana dan gaya bicaranya sangat santun. Dia sering bercerita tentang betapa beratnya memeluk Islam untuk kali pertama di akhir tahun 2002. Belajar shalat lima waktu dan puasa adalah hal yang menantang baginya. Merasakan dirinya hidup sebagai seorang Muslim 'baru' dan harus memimpin sebuah keluarga Muslim memiliki tantangan yang tidak sedikit. Utamanya ketika harus bergaul dengan kawan-kawan lamanya. Jazz masih mencoba untuk menjaga hubungan baik dengan kawan-kawannya dulu. Banyak yang heran atas perubahan perilaku Jazz. Jazz yang dulu masih meminum alkohol dan bir, setiap kali diundang pesta, dia tak pernah menyentuh lagi minuman itu. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah setiap kali dia diundang barbecue oleh kawan-kawan bulenya, dia dan keluarganya membawa daging yang dibeli dari toko jagal halal.
Dia ingin hidup secara Islami dan tak ingin malu menampakkan identitas keislamannya. Bahkan dia bercerita kalau sekarang ini dia tak malu lagi untuk melakukan shalat saat memenuhi undangan di rumah kawannya. Suatu hari saat shalat Dluhur tiba, Jazz minta izin kepada kawannya yang punya rumah itu untuk shalat di ruang tamu. Awalnya Jazz agak canggung untuk melakukan shalat di hadapan kawannya, karena pasti akan dilihat oleh mereka. Namun, perasaan itu sudah terkikis habis. Dia merasa nyaman kalau bisa melakukan shalat meski dilihat oleh banyak orang. Dia ingin memperlihatkan betapa indahnya Islam itu. Dia sudah terbiasa shalat sementara kawan-kawannya yang lain sedang asyik menikmati daging panggang barbecue. Asal tahu saja bahwa acara panggang-memanggang daging adalah tradisi tak terpisahkan bagi kebanyakan orang Australia. Terkadang satu family yang terdiri dari berbagai generasi mengisi saat akhir pekan mereka dengan mengadakan berbecue di taman atau di rumah salah seorang keluarga.
Senin, 14 Januari 2008, Jazz datang bertandang ke rumah. Dia ingin sekali belajar mengaji murottal al-Qur'an. Dia bilang tidak nyaman dengan bacaan ala OZ yang tak memiliki melodi yang luwes. Baginya lagu bacaannya terlalu kaku dan terlalu lurus tanpa melodi yang renyah. Bahkan hebatnya lagi dia ingin belajar melantunkan suara azan. Malam itu jam menunjukkan pukul 9.30 malam. Aku minta Jazz melantunkan suara azan. Dia bilang bahwa dia sudah belajar untuk melantunkannya, namun masih malu kalau harus melantunkannya di masjid di kala banyak orang. Dia bilang bahwa dia berusaha selalu azan saat shalat berjamaah di rumah bersama Eti, Tasharif, Nela (adik Tasha yang lahir pada bulan Juli 2007), dan Susi (adik iparnya). Aku mengatakan bahwa tradisi azan di rumah sangat bagus sekaligus berlatih menghaluskan bacaan azan. Saat itu aku suruh Jazz melantunkan azan meski bukan waktu shalat. Awalnya sih malu-malu, namun sejurus kemudian Jazz sambil duduk di ruang tamu melantunkan azan lengkap dari Allahu Akbar hingga Laa ilaaha illal laah. Suara dia memang unik dan lagu yang dia lantunkan sudah memiliki variasi dan melodi yang lumayan. Sekali lagi aku menjadi semakin kagum dengan si bule ini yang semangat juangnya luar biasa.
Aku persilahkan dia untuk pindah ke ruang tengah untuk belajar ngaji karena di sana ada meja lebar yang diterangi oleh pendar lampu yang terang. Sebelum mulai dia berpendapat bahwa sudah selayaknya seorang Muslim menambah pengetahuannya. Bahkan dia sering minta konfirmasi tentang hadits dan makna beberapa ayat kepadaku. Dia bilang sudah banyak membaca buku-buku Islam dan sejarah Muhammad SAW. Dia ingin bahwa pemahaman dia tentang Islam adalah pemahaman yang didasarkan pada proses mencari bukan proses menerima. Dia ingin belajar dari siapa dan dari sumber manapun. Aku terus bilang, "bagus... bagus... bagus..." karena memang tak ada lagi kata-kata yang harus aku ucapkan untuk mengapresiasi apa yang sedang dia lakukan. Dalam batinku aku berkata, "Ah, alangkah banyak orang Muslim yang enggan untuk belajar. Alangkah banyaknya orang Muslim yang baru belajar satu buku merasa dirinya pintar dan pandai melebihi kepandaian Tuhan." Mereka yang lahir dalam 'brand' Islam lebih banyak tak mahu tahu tentang agamanya. Aku menangkap kerendahan hati seorang Jazz. Ironis dengan bayanganku tentang orang yang dilahirkan dalam kondisi 'Islam'.
****
bersambung
Melbourne, 21-Januari-2008
Aku jabat tangan si bule itu, "Welcome brother, yes we have a regular Islamic course here every Friday night, just feel free to come." Aku bertanya siapa nama si bule itu. Dia memperkenalkan namanya sebagai Jazz Cooper, istrinya bernama Eti, dan anak laki-lakinya bernama Tasharif. Mereka senang ketika aku undang mereka untuk datang saja tanpa ragu. Masjid itu rumah terbuka bagi siapa saja yang ingin mendatanginya. Kebetulan pengajian Jum'at malam memang selalu ramai didatangi oleh orang-orang Indonesia yang tinggal di sekitar Melbourne. Sejak saat itu Jazz selalu datang ditemani istri dan anaknya. Dia awali belajar membaca al-Qur'an dengan buku Iqra'. Aku masih ingat kali pertama dia mengeja huruf-huruf hijaiyah yang terpisah. Aku masih ingat ketika aku jelaskan sistem fonetik huruf-huruf hijaiyah. Dia nampak antusias dan bersemangat. Setiap kali aku menyuruhnya membaca satu lembar Iqra, tak pernah sekalipun dia patah arang saat melakukan kesalahan baca. Bahkan hanya dalam waktu empat bulan saja dia sudah bisa membaca seluruh huruf hijaiyah dan khatam buku Iqra! Dalam waktu delapan bulan, Jazz sudah sedemikian mahir membaca al-Qur'an dengan melodi OZ-style-nya yang khas dan unik.
****
Dalam benakku, "Hebat juga bule yang satu ini dalam usahanya mengarungi lorong agama." Kehausan dan semangatnya untuk belajar Islam sangat memikat. Jazz orang yang sederhana dan gaya bicaranya sangat santun. Dia sering bercerita tentang betapa beratnya memeluk Islam untuk kali pertama di akhir tahun 2002. Belajar shalat lima waktu dan puasa adalah hal yang menantang baginya. Merasakan dirinya hidup sebagai seorang Muslim 'baru' dan harus memimpin sebuah keluarga Muslim memiliki tantangan yang tidak sedikit. Utamanya ketika harus bergaul dengan kawan-kawan lamanya. Jazz masih mencoba untuk menjaga hubungan baik dengan kawan-kawannya dulu. Banyak yang heran atas perubahan perilaku Jazz. Jazz yang dulu masih meminum alkohol dan bir, setiap kali diundang pesta, dia tak pernah menyentuh lagi minuman itu. Bahkan yang lebih mencengangkan adalah setiap kali dia diundang barbecue oleh kawan-kawan bulenya, dia dan keluarganya membawa daging yang dibeli dari toko jagal halal.
Dia ingin hidup secara Islami dan tak ingin malu menampakkan identitas keislamannya. Bahkan dia bercerita kalau sekarang ini dia tak malu lagi untuk melakukan shalat saat memenuhi undangan di rumah kawannya. Suatu hari saat shalat Dluhur tiba, Jazz minta izin kepada kawannya yang punya rumah itu untuk shalat di ruang tamu. Awalnya Jazz agak canggung untuk melakukan shalat di hadapan kawannya, karena pasti akan dilihat oleh mereka. Namun, perasaan itu sudah terkikis habis. Dia merasa nyaman kalau bisa melakukan shalat meski dilihat oleh banyak orang. Dia ingin memperlihatkan betapa indahnya Islam itu. Dia sudah terbiasa shalat sementara kawan-kawannya yang lain sedang asyik menikmati daging panggang barbecue. Asal tahu saja bahwa acara panggang-memanggang daging adalah tradisi tak terpisahkan bagi kebanyakan orang Australia. Terkadang satu family yang terdiri dari berbagai generasi mengisi saat akhir pekan mereka dengan mengadakan berbecue di taman atau di rumah salah seorang keluarga.
Senin, 14 Januari 2008, Jazz datang bertandang ke rumah. Dia ingin sekali belajar mengaji murottal al-Qur'an. Dia bilang tidak nyaman dengan bacaan ala OZ yang tak memiliki melodi yang luwes. Baginya lagu bacaannya terlalu kaku dan terlalu lurus tanpa melodi yang renyah. Bahkan hebatnya lagi dia ingin belajar melantunkan suara azan. Malam itu jam menunjukkan pukul 9.30 malam. Aku minta Jazz melantunkan suara azan. Dia bilang bahwa dia sudah belajar untuk melantunkannya, namun masih malu kalau harus melantunkannya di masjid di kala banyak orang. Dia bilang bahwa dia berusaha selalu azan saat shalat berjamaah di rumah bersama Eti, Tasharif, Nela (adik Tasha yang lahir pada bulan Juli 2007), dan Susi (adik iparnya). Aku mengatakan bahwa tradisi azan di rumah sangat bagus sekaligus berlatih menghaluskan bacaan azan. Saat itu aku suruh Jazz melantunkan azan meski bukan waktu shalat. Awalnya sih malu-malu, namun sejurus kemudian Jazz sambil duduk di ruang tamu melantunkan azan lengkap dari Allahu Akbar hingga Laa ilaaha illal laah. Suara dia memang unik dan lagu yang dia lantunkan sudah memiliki variasi dan melodi yang lumayan. Sekali lagi aku menjadi semakin kagum dengan si bule ini yang semangat juangnya luar biasa.
Aku persilahkan dia untuk pindah ke ruang tengah untuk belajar ngaji karena di sana ada meja lebar yang diterangi oleh pendar lampu yang terang. Sebelum mulai dia berpendapat bahwa sudah selayaknya seorang Muslim menambah pengetahuannya. Bahkan dia sering minta konfirmasi tentang hadits dan makna beberapa ayat kepadaku. Dia bilang sudah banyak membaca buku-buku Islam dan sejarah Muhammad SAW. Dia ingin bahwa pemahaman dia tentang Islam adalah pemahaman yang didasarkan pada proses mencari bukan proses menerima. Dia ingin belajar dari siapa dan dari sumber manapun. Aku terus bilang, "bagus... bagus... bagus..." karena memang tak ada lagi kata-kata yang harus aku ucapkan untuk mengapresiasi apa yang sedang dia lakukan. Dalam batinku aku berkata, "Ah, alangkah banyak orang Muslim yang enggan untuk belajar. Alangkah banyaknya orang Muslim yang baru belajar satu buku merasa dirinya pintar dan pandai melebihi kepandaian Tuhan." Mereka yang lahir dalam 'brand' Islam lebih banyak tak mahu tahu tentang agamanya. Aku menangkap kerendahan hati seorang Jazz. Ironis dengan bayanganku tentang orang yang dilahirkan dalam kondisi 'Islam'.
****
bersambung
Melbourne, 21-Januari-2008
No comments:
Post a Comment