Thursday, January 24, 2008

Pancing



Pancing, pancingan, dan memancing adalah kata yang berkaitan dengan kegiatan mencari ikan. Namun, aku tak ingin bercerita hobiku yang paling kusenangi ini; hobi yang pernah menyita waktuku berjam-jam hingga shubuh menjelang. Aku ingin bercerita mengenai ikan kakap merah yang membuatku senewen.

Suatu hari aku ingin pergi ke pantai hanya untuk menikmati semilir angin pantai yang berdesir halus dan berjalan di atas taburan karpet pasir berwarna putih bersih. Aku ingin melihat anak-anak kecil berlarian menendang dan mengejar bola atau sekedar membangun menara pasir dan membiarkannya dilumat ombak yang tanpa henti mengelus bibir pantai. Aku pun ingin melihat burung-burung camar berkumpul sekedar berharap belas kasih manusia yang membuagn remah-remah makanan.

Perjalanan siang memang terik. Mentari seolah berhenti tepat di atas ubun-ubunku. Lupa, aku tak membawa topi penutup kepala. Tak ambil pusing aku pun berjalan menyusuri bibir pantai yang dingin. Pasir yang kuinjak meninggalkan bekas telapak kakiku. Tapi itu tak lama, karena bekas telapak kaki itu langsung disapa belai ombak yang menghapus jejakku. Aku hanya membayangkan anda pasir yang kuinjak akan ditanya Tuhan, pastilah mereka tak akan berbohong bahwa aku pernah melewatinya dan menginjaknya. Mungkin itulah cara alam memanja manusia untuk menghapus jejak masa lalunya.

Siang itu banyak orang yang sekedar bersantai di pantai. Langkahku kulanjutkan menyusuri lembutnya pasir pantai. Tiba di sebuah pier (jembatan panjang bagi pengunjung pantai), aku melihat banyak manusia berjejer untuk memancing. Mereka berharap seekor ikan melahap umpannya. Tiba-tiba kudengar teriakkan salah seorang tukang pancing. Ternyata seorang perempuan tua terkejut ketika menyadari tangkai pancingnya bergetar. Segera pria tua di sampingnya mencoba menggapai gagang pancing dan memutar reel-nya. Dengan cemas perempuan tua itu melihat arah benang pancing yang ujungnya tenggelam tak terlihat. Laki-laki tua itu terus memutar tuas reel dengan semangat. Kudengar laki-laki tua itu memaki-maki diringi derai tawa si perempuan tua itu. Kailnya nyangkut pada sebuah rumbai rumput laut. Ikan rumput laut! Masih kudengar suara terkekeh-kekeh mereka sehingga menarik perhatian para pemancing yang lain.

Kutelusuri jembatan pancing itu, kalau boleh aku menamakannya demikian. Kuberdiri mematung sambil tanganku aku sandarkan pada besi pembatas jembatan. Pandanganku menerawang mengagumi garis datar air di hadapanku. Debur ombak dan liukan air laut seolah tanpa henti sepanjang masa. Di saat aku melamun, tiba-tiba seekor ikan besar meloncat dari dalam air dan tepat tersungkur di samping kaki kananku. Aku terkaget-kaget dengan 'kenekatan' atau justru 'ketololan' sang ikan yang mau meloncat dan menjatuhkan diri di atas jembatan. Wah, seekor kakap merah rupanya. Orang-orang di sekitarku terheran-heran bukan kepalang melihat aku menangkap ikan tanpa bersusah payah dmenggunakan umpan apalagi melempar pancing. Untunglah aku membawa sebuah tas plastik. Ikan nekat itu langsung aku masukkan ke dalam tas plastik hitam. Aku membawa pulang ikan 'geblek' ini dan menjadi santapan lezat di malam hari.

Aku pun terus bertanya tentang mengapa ada seekor ikan yang tanpa dipancing, namun mau meloncat dan menggelepar di pinggir kakiku. Ah, mungkin Tuhan memang terlalu Kasih untuk memberiku seekor ikan. Aku jinjing tas plastik berisi ikan merah itu menuju rumah sambil terus kepalaku dijejali keheranan yang tak berujung. Peristiwa aneh terjadi, ikan merah itu kembali hidup ketika akan aku kuliti. Ikan itu meloncat dan jatuh ke tempat sampah. Mata ikan itu melotot tajam, "Semua ini gara-gara kamu!!!". Aku terperanjat, mendengar suara geram dari mulut ikan yang kupikir sudah sekarat. Dalam kebingunganku, aku balas kata-katanya, "Gara-gara apa yang kau maksud?". Sambil memelotot benci, ikan kakap merah berteriak, "Semua itu karena ulahmu, aku menggelepar di luar alamku karena kau!!. Kau memancingku manusia!!". Aku tak bisa terima tuduhan dia kalau akulah yang memancingnya.

"Dengar yah, aku tidak pernah memancingmu. Kau sendiri yang tiba-tiba meloncat dari air dan menggelepar di samping kakiku. Aku bisa bawa saksi kalau aku tak pernah memancingmu!!", kata-kataku semakin berhamburan menatap tajam ikan yang sudah tersudut dalam tong sampah. "Hai manusia, mana mungkin ikan meloncat sendiri dan meninggalkan alam hidupnya. Ikan gila namanya!", ikan merah mulai merepet lagi. Aku menjadi jengkel dan muak mendengarnya. Aku ambil sampah-sampah yang menumpuk di atas meja dapur dan kutumpahkan semua sampah ke dalam tong sampah. Kujejalkan sampah manapun ke dalam tong sampah untuk menyumpal mulut kakap yang mulai bungkam. Diam...

Melbourne, 25 Januari 2008

bersambung

1 comment:

Anonymous said...

Teganya teganya 10x