MINGGU, 27 Januari 2008, Jenderal Besar (Hor) H Muhammad Soeharto wafat dalam usia 87 tahun 8 bulan. Upaya terbaik puluhan dokter ahli dari tim dokter kepresidenan dengan peralatan kedokteran mutakhir, akhirnya menyerah. Pria kelahiran 8 Juni 1921 itu kembali ke haribaan Tuhan setelah berulang kali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan.
Sejak lengser dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998, kondisi kesehatan Soeharto memang semakin memburuk. Tercatat ia telah berulang kali kali bolak-balik masuk RSPP untuk menjalani perawatan. Pertama pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan, kedua pada 14 Agustus 1999 setelah mengalami pendarahan di usus. Mantan penguasa Orde Baru itu kembali dirawat di RSPP guna menjalani operasi usus buntu pada 24 Februari 2001.
Pada 13 Juni 2001 Soeharto menjalani operasi pemasangan alat pacu jantung permanen di RSPP. Setengah tahun kemudian (17 Desember 2001) Soeharto kembali dibawa ke RSPP karena tensi darahnya hanya 180/70 dan suhu tubuhnya 38-39 derajat Celsius. Setelah itu kondisi Soeharto terbilang sehat.
Namun, pada 29 April 2003 ia kembali harus menjalani perawatan di RSPP karena mengalami pendarahan saluran pencernaan yang sudah merembet ke jantung. Hal ini terulang pada 29 April 2003.
Soeharto kembali masuk RSPP pada 5 Mei 2005 karena mengalami pendarahan serius yang mengganggu fungsi otak, jantung dan paru sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal serupa juga terjadi pada 5 November 2005.
Pada 4 Mei 2006 untuk kesepuluh kalinya Soeharto harus dirawat di RSPP. Kali ini ia harus menjalani operasi usus. Saat itu kondisi Soeharto juga sempat dikabarkan kritis. Dua bulan berikutnya (Juli 2006) ia masuk lagi ke RSPP untuk pengambilan selang di lambung.
Januari 2008 kondisi kesehatan Soeharto kembali memburuk. Setelah selama seminggu dirawat di rumah, Jumat, 4 Januari 2008 Soeharto dibawa ke RSPP karena mengalami gangguan jantung, paru-paru, dan ginjal, serta penumpukan cairan dalam tubuh. Dalam perawatan kali ini sang jenderal besar itu harus rela tubuhnya dipasangi ventilator untuk membatu fungsi pernafasan, alat pacu jantung untuk membantu fungsi jantung, dan alat cuci darah untuk membantu fungsi ginjal.
Sayang, takdir berkata lain. Soeharto mengembuskan nafas 27 Januari 2008, pukul 13.10, setelah 24 hari menjalani perawatan.
Ya, kini kita tak lagi mempunyai Pak Harto. Sang jenderal besar itu telah pergi. Tiada lagi Bapak Pembangunan, tiada lagi The Smiling General. Anak petani yang pernah menjadi presiden itu telah berpulang. Rakyat Indonesia kehilangan. Kini yang tertinggal hanya kenangan tentang dirinya.
Soeharto mungkin tak pernah menyangka dirinya akan menjadi orang nomor satu Indonesia. Pria kelahiran Dusun Kemusuk Desa Argomulyo Kecamatan Godean Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini bukan berasal dari keluarga berada.
Ayahnya, Kertosudiro hanyalah seorang petugas ulu-ulu atau pembantu kepala desa yang bertugas mengatur pengairan persawahan di desa itu, sementara ibunya Sukirah hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Pendidikan umum yang dienyamnya hanya sampai jenjang SMA (C) yang diselesaikan di Semarang (1956). Sebelumnya ia menuntaskan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (Ongko Loro) di Kemusuk (1929-1931), Sekolah Rakyat di Wuryantoro (1931-1935), dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta 1935-1939.
Setamat sekolah di SMP Muhammadiyah, Soeharto bekerja beberapa saat sebagai klerk bank desa di Wuryantoro (1940). Ia lalu pindah menjadi anggota kepolisian di Yogyakarta pada 1942.
Pemuda Cerdas
Rasa cinta dan ingin menyaksikan bagian lain dari tanah air menjadi salah satu motivasi yang menggugah Soeharto untuk mendaftarkan diri menjadi prajurit Koninklijk Nederlans Indische Leger (KNIL). Atas penampilan fisik yang sehat dan tegap yang disertai kecerdasan otak, Soeharto belia, sejak 1 Juni 1940 diterima sebagai siswa militer di Gombong, Jawa Tengah. Enam bulan setelah menjalani latihan dasar, dia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan mendapat pangkat Kopral di usia 19 tahun.
Pos penempatan pertama Kopral Soeharto adalah Batalyon XIII, Rampal Malang. Kemudian Soeharto masuk sekolah lanjutan Bintara, juga berada di Gombong. Karena sikap keprajuritan dan disiplinnya yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat dia mendapat kenaikan pangkat. Ia berturut-turut menjabat menjadi komandan kompi, komendan batalyon, komandan brigade, hingga komandan WK (Wehr Kreise) di Yogyakarta.
Pada 26 Desember 1947 Soeharto menikah dengan putri wedana Surakarta bernama Siti Hartinah (24 tahun) di Surakarta. Pasangan tersebut dikaruniai enam anak yakni Siti Hardijanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harjadi (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hetami Endang Adiningsih (Mamiek).
Pada 1950, Soeharto menjabat Komandan Brigade Mataram yang pernah bertugas memadamkan pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Pada 1951-1953 ia menjabat Komandan Brigade Pragola, Surakarta dan Komandan Resimen 15 pada tahun 1953-1956.
Pada 1956 Soeharto menjabat Perwira Menengah yang diperbantukan kepala staf untuk mengikuti Planning SUAD sebelum ditunjuk sebagai Kepala Staf Teritorial IV, Semarang, pada tahun yang sama, dan menjadi Panglima Teritorial IV 1956-1959 merangkap Dewan Kurator Akademi Militer Nasional.
Soeharto menjabat Deputi I Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 1960-1961 merangkap Ketua Adhoc Retolong Depad, merangkap Panglima Korps Tentara I Tjaduad, merangkap Panglima Konud AD.
Pada 1962-1963, Soeharto menjadi Panglima Mandala merangkap Dejanid, Panglima Kostrad 1963-1965, Menteri Pangad/Kastaf KOTI tahun 1966.
Saat terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan 30 September 1965 berupa aksi penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, Soeharto tampil menumpas pemberontakan itu. PKI dibubarkan, pimpinan, pengurus, anggota dan simpatisan PKI banyak yang ditangkap dan dibunuh.
Melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, Soeharto ditunjuk sebagai pengambil segala tindakan untuk menjamin ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Pada 27 Maret 1966, Soeharto merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri ad interim Hankam, kemudian menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera, Menteri Utama Hankam. Ia juga menjadi Menteri Panglima AD pada 1 Juli 1966.
Pada 22 Juli 1966, Soeharto dipercaya MPRS sebagai Penjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soekarno sampai 28 Maret 1968. Ia tampil sebagai pemimpin Orde Baru yang mengoreksi total Orde Lama era Soekarno. Soeharto kemudian dipercaya menjadi Presiden RI periode 1968-1973, 1973-1978, 1978-1983, 1983-1988, 1988-1993, 1993-1998.
Dalam memimpin Soeharto menerapkan sistem sentralistik yang terpusat pada Soeharto sebagai pengendali utama stabilitas dan kesinambungan pembangunan dan demokrasi. Pemerintahannya berciri militeristik. Mereka yang bersuara berbeda dengan pemerintah dikebiri, dicap sebagai penghambat pembangunan, kekiri-kirian atau antek PKI dan anti Pancasila.
Hak-hak politik rakyat pun sangat dibatasi secara ketat. Partai politik dikurangi menjadi hanya dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedangkan Golongan Karya (Golkar) yang secara eksplisit dinyatakan bukan sebagai partai politik tetapi menjadi organisasi peserta pemilu bersama kedua partai politik itu.
Politikus Cerdik
Tokoh yang dijuluki sebagai The Smiling General oleh salah satu penulis biografinya ini ini memang diakui sebagai politikus cerdik. Soeharto membuat iklim politik sedemikian rupa sehingga masyarakat mau tidak mau harus menerima apa yang disebut "massa mengambang".
Banyak orang di luar negeri terheran-heran bagaimana rakyat Indonesia bisa menerima pandangan Golkar - selalu menang pemilu sejak awal 1970-an- bukanlah partai politik. Banyak orang asing juga tidak habis pikir bagaimana Soeharto mampu "mensterilkan" para aparat pemerintah dari peluang untuk memilih selain Golkar.
PPP dan PDI, dua partai yang dibentuk dari hasil fusi pada 1970-an, diperlakukan sedemikian rupa sehingga tidak pernah bisa tumbuh besar. Aparat pemerintah dari tingkat desa hingga pusat mendiskriminasi kedua partai itu dan para pendukungnya. Dan entah bagaimana caranya, sehingga menyebabkan para pemimpin kedua partai itu sering tidak akur.
Terakhir, Ketua Umum PDI hasil Munas 1993, Megawati Soekarnoputri, digusur dari kepemimpinannya, dan para pendukungnya disingkirkan dari markas besarnya di Jakarta pada 27 Juli 1996. Sebagai gantinya, Drs Soerjadi diakui sebagai pengganti Megawati melalui kongres yang direkayasa oleh pemerintah, upaya yang akhirnya terbukti sia-sia.
Melalui sistem demikian -ditambah iklim pers yang dibayang-bayangi ancaman breidel- Soeharto dapat selalu terpilih tanpa hambatan selama tujuh kali masa jabatan oleh MPR.
Pada April 1996, Soeharto menghadapi guncangan keluarga akibat meninggalnya sang istri, yang sangat setia dan dipandang banyak kalangan sebagai penasihat kepercayanya. Tetapi Soeharto kemudian kembali sibuk dengan tugas-tugas kenegaraan, dan tampak pulih dari penderitaan akibat kepergian istrinya itu. Apalagi Sidang Umum MPR pada Maret 1998 kembali memilihnya sebagai presiden periode 1998-2003.
Soeharto kembali menerima kepercayaan yang dimandatkan, meskipun sempat "miris" apakah rakyat memang benar-benar menginginkan dia untuk terus memimpin. Pun saat itu gelombang gerakan reformasi pascakrisis moneter sejak Juli 1997 kian deras mendera.
Selang dua bulan menjabat Presiden pada periode ketujuh kepemimpinan lima tahunannya, ia mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 lantaran didesak mundur bahkan oleh Ketua MPR Harmoko yang mantan Menteri Penerangan dan dikenal sebagai pendukung setia Soeharto, berbagai kerusuhan massa yang tak terkendali, dan kegagalan Soeharto dalam membentuk Komite Reformasi karena tidak mendapatkan tanggapan dari tokoh-tokoh lain. Wapres BJ Habibie kemudian menggantikan tugasnya sebagai presiden.
Pasca-Soeharto lengser keprabon, berbagai tuntutan hukum terhadap dirinya atas berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) gencar dilakukan. Ironisnya banyak orang yang sebelumnya sangat dekat dengannya, justru berbalik mengecam dan ikut menghakiminya.
Meski demikian pengadilan terhadap Soeharto tak pernah membawa Soeharto ke balik terali besi. Setidaknya hanya anaknya, Tommy Soeharto, yang pernah dijebloskan ke penjara karena kepemilikan senjata ilegal, selain kroninya, Bob Hasan, dan adiknya, Probosutedjo yang pernah pula dipenjarakan.
Faktor gangguan kesehatan menjadi alasan penyebab Soeharto tak bisa diadili bahkan pihak Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Pengusutan (SP3) atas Soeharto. Aparat penegak hukum dan pemerintahan pasca Soeharto cenderung pada aspek kemanusiaan mengingat jasa-jasa Soeharto pada negeri ini.
Jasa dan Cela
Sebagai seorang pemimpin, Soeharto memang manusia biasa yang tak luput dari kecaman dan pujian. Dari masa awal kepemimpinannya, Soeharto telah menghadapi kritik-kritik. Banyak orang, misalnya, menyesalkan perlakuan pemerintahnya terhadap Soekarno, "Bapak Bangsa" dan presiden pertama RI. Meskipun pada akhirnya nama Soekarno direhabilitasi dan makamnya pun dipugar, Soekarno meninggal dalam keadaan menyedihkan pada 1970 dalam tahanan rumah.
Pemerintahan Soeharto juga sering dituduh melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk di Timor Timur. Ini umumnya disuarakan negara-negara Barat tertentu, yang umumnya munafik dan memiliki kepentingan di wilayah tersebut.
Soeharto juga dikritik karena tidak mampu mengendalikan anak-anaknya dalam kaitan bisnis. Adalah hal ini pula yang kemudian melahirkan berbagai laporan atau tuduhan -terutama di media Barat- bahwa keluarganya adalah keluarga paling kaya nomor empat di dunia dengan kekayaan hampir 40 miliar dolar AS. Sebagian kekayaan itu kabarnya disimpan di bank-bank Swiss. Sebuah laporan Majalah Time edisi 24 Mei 1999 tentang kekayaan keluarga Soeharto mendapat hadiah jurnalistik Overseas Press Club Award. Tapi Soeharto membantah berbagai tuduhan itu tentang kekayaannya itu dan menyebutnya sebagai fitnah.
Terlepas dari segala fitnah dan hujatan yang mendera, pujian terhadap Soeharto pun tidak sedikit. Berbagai negara mengakui prestasi Soeharto selama 32 tahun kekuasaannya. Lembaga-lembaga internasional seperti FAO dan Bank Dunia memberikan pujian tinggi atas keberhasilan Soeharto mengentas kemiskinan dan meningkatkan tingkat melek huruf jutaan rakyat Indonesia. Tingkat GNP penduduk Indonesia yang hanya sekitar 60 dolar/tahun pada pertengahan 1960-an berhasil dipacu hingga lebih dari 1.000 dolar.
Soeharto juga dipuji dunia internasional karena berperan besar dalam menciptakan stabilitas keamanan di dalam negeri maupun di kawasan ASEAN. Hal ini merupakan faktor kunci pertumbuhan ekonomi di kawasan ini selama tiga dasawarsa terakhir. (Maratun Nashihah-77).
http://suaramerdeka.com/harian/0801/28/nas04.htm
Melbourne, 28 Januari 2008
1 comment:
Selamat jalan kek ....
Semoga perjuanganmu diterima oleh
seluruh bangsa ini ...
Post a Comment