Tanggal 2 Januari, hari Rabu di awal tahun 2008. Jam 9 pagi aku janjian dengan sahabat baikku, Imam, seorang Cak dari Jember, untuk bareng pergi ke kampus. Aku nebeng minta tumpangan kepada sahabatku ini. Libur hampir 10 hari bagiku sangat menyiksa karena praktis aktivitasku lebih banyak di rumah dan jalan-jalan dengan kawan-kawan. Demikian pula dengan Cak Imam yang lebih suka menikmati batuknya di rumah dengan 'kelonan' sang istri tercinta. Libur memang bisa menjadi sesuatu yang dinanti, dan bisa menjadi dilema bagi mereka yang jenuh. Mungkin karena aku belum mampu menggores kuas hidup yang kreatif di atas kanvas waktu.
Beberapa hari menjelang pergeseran tahun, aku banyak menjumpai manusia yang berkerumun di berbagai pusat perbelanjaan menikmati hari berkah yang dijenuhi oleh iklan dagangan murah. Tutup tahun menjadi ikon bagi manusia-manusia yang masih memiliki duit untuk berkeliling memuaskan dahaga mata dan kantong. Pasar memang menjadi bukti bahwa hidup ini memang sejatinya berasaskan transaksi. Ibadah kita kepada sang Khalik adalah transaksi seumur hidup yang dibuhul oleh dua kalimat syahadat. Jika kita bisa mengukir kehidupan yang baik, maka kebaikan itulah yang akan kita nikmati. Pernikahan pun adalah transaksi yang mengikat dua manusia beda jenis untuk membangun sebuah kontinuitas kehidupan. Bagi mereka yang menghamba pada pagan kapitalisme, maka pertemanan dan persahabatan adalah transaksi yang bermuara pada kalkulasi untung dan rugi.
Cak Imam menikmati malam pergantian tahun di remang pantai Brighton. Menghirup udara pantai yang bersemilir hangat di puncak musim panas agaknya memang pas bagi Cak Imam sembari menikmati nuansa romantis. Menerawang kerlip lampu yang berkedip riang di seberang pantai yang ditumbuhi gedung-gedung indah sembari mengerling istri tercinta yang duduk manis di sampingnya. Mereka berdua menatap kota Melbourne yang terhampar di seberang yang sebentar lagi akan dihujani sinar pelangi dan sentak letupan penanda pagi baru mulai menjelang. Saat itupun tiba, cahaya warna-warni kembang api seolah menebar harapan baru bagi yang memandangnya. Kota cantik semakin terlihat ceria ketika pendar warna menciptakan bias pelangi di malam hari. Di saat bersamaan, aku dan beberapa kawan mancingku, melepas malam pergantian di rumah Pak Pur. Kami menikmati santap malam sambil menunggu pukul 00.00 tengah malam. Tak kalah dengan Cak Imam, kami menikmati gebyar kembang api sambil duduk di depan layar kaca teve. Di sana aku jumpa beberapa kawan lamaku, seperti Pak Wiwi, Mas Rizal, Kang Didin, Pak Iwan, dan Pak Marjuki beserta keluarga masing-masing. Ketika saat pergantian tahun itu tiba, kami berkumpul di belakang rumah duduk melingkar di atas kursi. Kami duduk di bawah pohon parsimon yang sudah mulai memamerkan buah-buah hijaunya. Satu atau dua bulan lagi buah parsimon oranye mungkin sudah bisa dinikmati. Dalam diam dan tunduk, kami mencoba untuk merenung dan berdoa agar Allah selalu memberi berkah dalam hidup kami.
Suasana kampus lengang. Area parkir yang biasa dihiasi dengan ribuan mobil berjejer, hari ini nampak sepi. Tak perlu berputar-putar memburu lahan sepetak untuk parkir, Cak Imam pun begitu mudah menemukan sudut parkir bagi mobil warna merah kesayangannya. Selama perjalananku ke kempus, anganku sering saja terbang menuju lapisan-lapisan waktu yang sudah aku lalui. Lapisan warna-warni dengan berbagai goresan cerita yang berbeda-beda. Ada lapisan elegi dan duka, ada lapisan cinta dan suka, dan ada lapisan damai dalam diam yang sunyi. Kemudian aku berusaha untuk membawa anganku menembus lapisan waktu yang baru saja aku injak sekarang ini. Yah, Januari 2008; sebuah bulan pembuka bagi sebuah kehidupan baru. Aku tak kuasa memaksa anganku menyibak lapisan waktu yang teronggok di esok hari . Hanya ada satu penggal tanya yang selalu menggelayut dalam benakku, "Apa yang ingin kucapai?". Gusti, mohon lempangkan dan mudahkan jalanku serta jalan orang-orang yang kucinta dan kurindu.
Melbourne, 2 Januari 2008
No comments:
Post a Comment