Sunday, January 20, 2008

Jazman Karim (2)

Aku suruh Jazz membaca satu halaman dari surat al-Baqarah. Bacaanya bagus, bahkan dia membawa sebuah cassette player yang dia setel berulang-ulang. Setiap kali dia mendengarkannya dia mengikuti ritme dan melodi bacaan yang mengalun dari kaset tersebut. Sering dia mendengarkan suara salah seorang ustadznya yang pernah mengajar dia membaca al-Qur'an. Dia bilang bahwa suara yang terngiang dari pita kaset tersebut adalah suara Pak Urai Salam. Lagi-lagi, aku harus berkata, "bagus...bagus...bagus". Malam itu adalah pertemuan kali kedua dengan Jazz di rumah kostku. Pertemuan pertama aku suruh dia membaca surat al-Fatihah dan enam ayat dari surat al-Baqarah. Dibandingkan dengan bacaan di minggu lalu, bacaan Jazz pada pertemuan malam itu lebih bagus dan melodi bacanya lebih variatif, meskipun dia masih belum bisa lepas dari model OZ style-nya. Warna lagunya sudah menampakkan melodi naik-turun, meski belum serasi benar. Bentuk lagunya sudah terasa. Jazz senang sekali dengan komentarku bahwa dia sudah melakukan bacaan yang bagus dan telah mencapai 'such a good progress'. Saat membaca ayat-ayat tersebut, sekali-kali Jazz bertanya tentang makhraj dan panjang serta melodi bacaan al-Qur’an. Daya kuriositasnya memang patut diacungi jempol.


Di sela program pengajian 'dua-an' ini, aku tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang perjalanan spiritual Jazz yang mengantarnya menuju pangkuan Islam. Jazz pun berkisah. Saat itu seingat dia awal tahun 2001-an, dia berkunjung ke Hongkong untuk liburan beberapa minggu sembari menyambangi ayahnya yang kebetulan sedang bertugas di Hongkong. Jazz sering mengunjungi ayahnya yang pernah ditugaskan di Amerika dan Singapura. Nah, saat dia berkunjung ke Hongkong inilah dia bertemu Eti. Awal pertemuan di sebuah kafe internet di sebuah pojok kota Hongkong adalah momen yang tak terlupakan. Ceritanya, di pagi yang cerah di sebuah hari Minggu, Jazz bertandang ke sebuah Communication Café. Di sanalah dia bertemu dengan Eti. Perkenalan pertama dengan dara lajang asli Indonesia yang bekerja di Hongkong. Saat itu, Jazz mengenal Eti sebagai seorang pramuswisma di sebuah keluarga Cina. Hampir setiap Minggu Jazz pasti bertemu dengan Eti yang kebetulan sedang berinternet-ria di Cafe itu. Sebuah kebetulan ataukah sebuah skenario Tuhan untuk mempertemukan mereka tak ada orang yang tahu. Agaknya Jazz dan Eti memang sengaja untuk selalu menyempatkan waktunya bersua di internet cafe. Di sanalah cinta mereka mulai berkerlip terang. Mungkin inilah yang dinamakan cinta pada pandangan dan senyuman pertama. Cinta pun bersemi melalui sapaan dan senyuman. In Hongkong with Love!

Liburan di Hongkong sangat berkesan bagi Jazz karena dia bertemu dengan seorang gadis Indonesia yang lugu. Hubungan mereka tidak berhenti di situ. Jazz masih berusaha untuk mengontak Eti melalui telepon atau email. Jazz janji bahwa dia ingin berkunjung ke Indonesia dan mampir ke rumah Eti di daerah Nganjuk. Di tahun 2002, Jazz bersama seorang kawannya berkunjung ke Bali untuk memuaskan hobi berselancarnya. Mereka menyewa sebuah rumah di dekat pantai Kuta. Hal yang tak terlupakan bagi Jazz adalah suara azan yang selalu dia dengar dari corong pengeras suara di sebuah Musholla yang terletak dekat dengan rumah sewaan yang dia tempati. Hampir setiap isya dan Shubuh, telinganya menangkap suara azan. Dia menceritakan betapa kawannya itu merasa terganggu dan sulit tidur gara-gara suara alunan itu. Namun bagi Jazz, suara itu memiliki kesan dan goresan tersendiri. Ada daya tarik yang tak terlupakan. Di situlah dia ingin memahami Islam lebih jauh lagi.

****

Beberapa hari berlibur di Bali, kemudian Jazz memutuskan untuk melanjutkan kunjungannya ke Nganjuk untuk menemui keluarga Eti. Lagi-lagi ada hal yang membuatnya tertarik tentang Islam. Masyarakat di desa tersebut begitu bersahaja. Bahkan dia melihat tradisi sinkretis yang anggun dan eksotik dalam jiwa masyarakat Jawa. Meski keislaman mereka tidaklah bagus bagi golongan tertentu, namun moralitas dan akhlak masyarakat pedesaan begitu berkesan. Tokoh sentral ulama menjadi ikon tersendiri dalam memori Jazz. Sebuah hal yang pernah dia ingat adalah ketika paman Eti akan membuat kandang sapi. Paman Eti harus pergi ke seorang ulama tarekat hanya untuk menanyakan dimana letak terbaik untuk membangun kandang sapi. Hal lainnya yang masih berkesan adalah adanya budaya gotong-royong yang sangat tinggi, misalnya, anak-anak dari keluarga miskin disokong sekolahnya oleh anggota masyarakat lain yang mampu. Dia melihat ketika ada hajatan perkawinan salah seorang tetangga Eti, orang-orang miskin, pengemis, dan orang buta diberi santunan dan makanan. Sungguh kehidupan yang sangat kental nilai sosialnya. Ada lagi yang membuatnya terinspirasi dengan model Islam ini adalah tradisi ziarah kubur tahunan di makam-makam para wali. Dia menemukan bahwa tradisi tersebut sangat elegan untuk membangun keimanan dan keikhlasan seseorang. Jazz kenal salah seorang paman Eti yang biasa melakukan ziarah tahunan tersebut. Konon dulunya, sang paman adalah orang yang tak mau beribadah dan berhati keras, namun karena mengikuti tradisi ziarah ini, dia menjadi orang yang taat dan berhati lembut. Jazz berkesimpulan bahwa hidayah bagi seseorang ada di mana-mana. Baginya, inilah Islam! Dia mengutarakan keingannya untuk melamar Eti. Namun keluarga Eti mengajukan satu syarat yang harus dilaluinya, yakni dia mau menjadi seorang Muslim. Bukannya dia surut, bahkan hal ini semakin memacu Jazz untuk memahami Islam lebih dalam sebelum memutuskan untuk memeluk Islam sebagai agamanya.

****

Pulang lagi ke Australia membawa semangat baru bagi Jazz untuk lebih mempelajari Islam. Suatu pagi dia menyetop sebuah taksi untuk mengantarnya berangkat kerja di kota Melbourne. Entah bagaimana sebabnya, ketika dia hendak turun dari taksi, sang supir taksi memberinya sebuah al-Qur’an terjemah bahasa Inggris kepadanya. Si supir taksi yang seingatnya berpenampilan seperti orang India atau Pakistan menyuruhnya untuk membaca dan mempelajarinya. Yang lebih mengherankan dia adalah, selama perjalanan tidak ada satupun percakapan yang menyinggung masalah Islam bahkan lebih banyak diam dalam perjalanan dibanding ngobrol dengan si supir taksi. Jazz masih menyimpan kenang-kenangan al-Qur’an itu di rumah. Mungkin Allah telah mengirim banyak malaikat pembawa pintu hidayah. Sejak saat itu Jazz berusaha membaca dan menonton banyak informasi tentang Islam. Dia pun selalu tertarik bila ada film dokumenter tentang Islam. Kebetulan saat itu Islam sedang digambarkan negatif oleh berbagai media Barat. Jazz bilang bahwa dia sering menonton film dokumenter Islam di chanel SBS. Jazz mengakui bahwa dia sudah banyak belajar tentang Hindu dan Budha sebelum dia tertarik memahami Islam. Di keluarga Eti, paman Etilah yang sangat berperan dalam meyakinkan keislaman Jazz, namanya Pak Mansur.


Desember 2002, akhirnya Jazz memutuskan untuk mengikrarkan keimanannya sebelum akad nikah. Sejak saat itu Jazz menjadi seorang Muslim. Belajar baginya adalah proses seumur hidup. Jazz yakin bahwa, ”Islam is behaviours, the way we behave to others. It is not only based on knowledge. Piety must be reflected through our daily lives.” Dia bahkan berkesimpulan bahwa keimanan baginya adalah proses. Tradisi manapun yang bisa menggenjot derajat iman adalah sah, meski itu berbentuk ziarah, tahlilan, dan berbagai tradisi lokal. Islam adalah jiwa. Demikian penggal pengalaman yang diceritakan oleh Jazz Cooper yang bernama Muslim Jazman Karim. Semoga Allah selalu memberkahi hidupnya dan keluarganya.


Melblourne, 21-Januari-2008

1 comment:

Anonymous said...

Jazz is an amazing person. Melihat semangatnya, saya kadang malu akan diri saya yang Islam sejak lahir.